Antisipasi Konflik, Pemerintah Harus Benahi Tata Kelola Lahan Sawit

Selasa, 21 Juli 2020 - 07:20 WIB
Menyoroti pengelolaan sawit tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa konflik agraria masih menghantui pengelolaan lahan sawit di berbagai lokasi di Indonesia. Setidaknya, kata Hifdzil, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama tahun 2018 ada 410 konflik agraria. Konflik yang sering terjadi adalah benturan antara masyarakat dan perusahaan.

Ia mencontohkan, konflik yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang terjadi antara warga yang tergabung dalam Koperasi Sawit Mandiri Perkasa dengan PT Rajawali Jaya Perkasa terkait dengan lahan sawit seluas 105 hektar yang menjadi sengketa antara kedua belah pihak.

Selain itu, konflik antara masyarakat dengan perusahaan sawit (PT Permata Hijau) terjadi di Nagari Maligi, Kecamatan Pasaman, Kab Pasaman Barat, Sumatera Barat. Dalam konflik itu, PT Permata Hijau menguasai hampir 2.100 hektare tanah ulayat Maligi untuk dijadikan kebun plasma dan telah tertanam pohon sawit, sedangkan PT Permata Hijau mengklaim hanya mengelola 665 hektare kebun sawit.

Padahal Hifdzil menjelaskan, terjadinya konflik lahan sawit akan berdampak pada persepsi pasar Internasional. Pada Maret 2019 lalu misalnya, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan produk minyak sawit mentah (CPO) dari Indonesia dikeluarkan dari sumber energi terbarukan.

"Uni Eropa mengadopsi Delegated Act dan menganggap produk sawit Indonesia berasal dari kegiatan deforestasi kawasan hutan, pelanggaran HAM, serta pengerusakan lingkungan lain Keputusan tersebut tentu berdampak pada serapan hasil sawit Indonesia, mengingat sawit merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia dari sektor perkebunan," demikian ulasan Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga ini.

Merespons problematika pengelolan sawit itu, Hifdzil mendesak pemerintah segera mengimplementasikan regulasi yang dapat menyeimbangkan antara hak sosial budaya, ekonomi, lingkungan. Mengingat, saat ini ada 2,74 juta kepala keluarga menggantungkan mata pencahariannya dari sektor perkebunan sawit.

Salah satu isu krusial dalam pengelolaan sawit ialah kesenjangan produksi yang dikelola petani (3,1 ton per hektare/tahun), sawit dikelola negara (3,8 ton/hektare per tahun) dan juga swasta (3,9 ton per hektare per tahun).

"Perbandingkan itu bukti bahwa rakyat petani kelapa sawit tidak hanya menghadapi permasalahan sengketa lahan, tetapi juga legalitas usaha, serta produktivitas sawit cukup rendah. Belum lagi ketika hasil sawit berupa Tandan Buah Segar (TBS) dijual di pasaran, petani tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga. Kondisi diperparah dengan program subsidi biodiesel yang hanya menguntungkan pengusaha. Rakyat petani kelapa sawit semakin terjepit," demikian kondisi lapangan yang dihimpun Hifdzil.

Dalam mengelelola perkebunan sawit di Indonesia, Hifdzil menjadikan perangkat regulasi yang ada sebaai instrumen hukum dan kebijakan menyelesaikan masalah lahan sawit dalam kawasan hutan.

Dalam catatan HICON, beberapa perangkat regulasi itu di antaranya, Perpres Nomor 88/2017 tentang Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan; (ii) Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit; (ii) Inpres Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024; dan (iv) Perpres 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Perangkat regulasi inilah tambah Hifdzil, dapat diimplementasikan untuk menyelesaikan masalah lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan. Tujuannya, melindungi kepentingan rakyat yang berprofesi sebagai petani kelapa sawit.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More