Istilah Berganti Wabah Tak Pergi
Selasa, 21 Juli 2020 - 06:13 WIB
JAKARTA - Berulangkali istilah-istilah terkait virus corona (Covid-19) berganti. Namun, di tengah masyarakat perubahan itu dianggap membingungkan dan tak banyak berarti.
Perubahan-perubahan istilah di tengah jalan tersebut mengindikasikan kekurangcermatan penanganan pandemi selama ini. Hal ini beralasan sebab perubahan istilah akan berdampak pada konversi data secara menyeluruh seperti kasus positif, kematian, ataupun kesembuhan.
Perubahan istilah ini juga membuat publik tak memiliki patokan jelas dalam komunikasi terkait Covid-19. Perubahan terminologi tersebut belum berkorelasi dengan efektivitas penanganan Covid-19 di Indonesia secara teknis.
Data dari Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, kasus corona di Indonesia masih kategori tinggi. Pada 20 Juli tercatat ada penambahan kasus baru sebanyak 1.693. Dengan demikian, total kasus positif akumulatif sejak pertama diumumkan pada 2 Maret mencapai 88.214 orang.
Kebingungan demi kebingungan atas perubahan istilah tak hanya dialami orang awam. Wali Kota Tangerang Arief R Wirmansyah pekan lalu juga risau dengan kebijakan pusat yang terbit pada Senin (13/7/2020) itu. Arief mengaku telah mengetahui ada delapan istilah baru yang telah diterbitkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto tersebut. (Baca: Lebih 14 Juta Terinfejsi Covid, Dokter Reisa: Siapapun Beresiko Tertular)
Namun, Arief kukuh tidak akan memakai istilah baru itu meski sudah dikuatkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tersebut. Alasannya, semakin istilah berubah-ubah, maka masyarakat kian tidak waspada. “Kalau menurut saya, masyarakat jangan sampai bingung dengan banyak istilah,” ujar Arief.
Di antara delapan istilah baru yang diterbitkan pemerintah adalah orang dalam pemantauan (ODP) menjadi kontak erat, pasien dalam pengawasan (PDP) menjadi suspect, orang tanpa gejala (OTG) menjadi kasus konfirmasi tanpa gejala, sembuh menjadi discarded, selesai isolasi, dan kematian.
Pola yang dipakai Indonesia ini berbeda dengan sejumlah negara lain. Di Amerika Serikat (AS) hanya dikenal istilah positif dan negatif setelah tes Covid-19. Jika seseorang dinyatakan positif, maka mereka harus menjalani proses perlindungan diri dan isolasi diri. Jika dinyatakan negatif, maka orang tersebut tetap diminta waspada karena bisa tetap memiliki kemungkinan untuk terinfeksi.
Sedangkan di Eropa, Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit Eropa (ECDPC) membagi tiga klasifikasi kasus untuk pasien virus corona. Pertama, kasus kemungkinan (possible case) yakni orang yang memiliki gejala klinis seperti penderita Covid-19. Kedua, kasus suspect (probable case) yakni orang yang memenuhi kriteria mengalami gejala klinis dan memiliki keterkaitan dengan pandemi karena pernah berhubungan dengan orang yang pernah terinfeksi. Ketiga, yakni kasus terkonfirmasi, yaitu orang yang sudah menjalani proses pemeriksaan laboratorium.
Perubahan-perubahan istilah di tengah jalan tersebut mengindikasikan kekurangcermatan penanganan pandemi selama ini. Hal ini beralasan sebab perubahan istilah akan berdampak pada konversi data secara menyeluruh seperti kasus positif, kematian, ataupun kesembuhan.
Perubahan istilah ini juga membuat publik tak memiliki patokan jelas dalam komunikasi terkait Covid-19. Perubahan terminologi tersebut belum berkorelasi dengan efektivitas penanganan Covid-19 di Indonesia secara teknis.
Data dari Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, kasus corona di Indonesia masih kategori tinggi. Pada 20 Juli tercatat ada penambahan kasus baru sebanyak 1.693. Dengan demikian, total kasus positif akumulatif sejak pertama diumumkan pada 2 Maret mencapai 88.214 orang.
Kebingungan demi kebingungan atas perubahan istilah tak hanya dialami orang awam. Wali Kota Tangerang Arief R Wirmansyah pekan lalu juga risau dengan kebijakan pusat yang terbit pada Senin (13/7/2020) itu. Arief mengaku telah mengetahui ada delapan istilah baru yang telah diterbitkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto tersebut. (Baca: Lebih 14 Juta Terinfejsi Covid, Dokter Reisa: Siapapun Beresiko Tertular)
Namun, Arief kukuh tidak akan memakai istilah baru itu meski sudah dikuatkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tersebut. Alasannya, semakin istilah berubah-ubah, maka masyarakat kian tidak waspada. “Kalau menurut saya, masyarakat jangan sampai bingung dengan banyak istilah,” ujar Arief.
Di antara delapan istilah baru yang diterbitkan pemerintah adalah orang dalam pemantauan (ODP) menjadi kontak erat, pasien dalam pengawasan (PDP) menjadi suspect, orang tanpa gejala (OTG) menjadi kasus konfirmasi tanpa gejala, sembuh menjadi discarded, selesai isolasi, dan kematian.
Pola yang dipakai Indonesia ini berbeda dengan sejumlah negara lain. Di Amerika Serikat (AS) hanya dikenal istilah positif dan negatif setelah tes Covid-19. Jika seseorang dinyatakan positif, maka mereka harus menjalani proses perlindungan diri dan isolasi diri. Jika dinyatakan negatif, maka orang tersebut tetap diminta waspada karena bisa tetap memiliki kemungkinan untuk terinfeksi.
Sedangkan di Eropa, Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit Eropa (ECDPC) membagi tiga klasifikasi kasus untuk pasien virus corona. Pertama, kasus kemungkinan (possible case) yakni orang yang memiliki gejala klinis seperti penderita Covid-19. Kedua, kasus suspect (probable case) yakni orang yang memenuhi kriteria mengalami gejala klinis dan memiliki keterkaitan dengan pandemi karena pernah berhubungan dengan orang yang pernah terinfeksi. Ketiga, yakni kasus terkonfirmasi, yaitu orang yang sudah menjalani proses pemeriksaan laboratorium.
Lihat Juga :
tulis komentar anda