Manifestasi Nilai Moderasi Beragama dalam Ibadah Puasa

Sabtu, 08 April 2023 - 15:42 WIB
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.

Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.

Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.

Kedua ;at-Tawassuth

Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalahat-Tawassuth(berperilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun.

Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikapat-Tawassuth(berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.



Ketiga;al-Tasamuh


Ajaranat-Tasamuhmengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa.

Misalnya, adanya perbedaan penetapan awal Ramadan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.

Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan menghormati. Nilaial-Tasamuh(bersikap toleran) bagi warga NU Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Keempat:al-I’tidal

Ajaranal-I’tidal(berpihak pada kebenaran) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar dan tepat. Nilaial-I’tidal(berpihak pada kebenaran) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa secara spiritual berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada olah kesucian rohani. Berpuasa merupakan ibadah ilahiyah yang tertuju khusus dan terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT.

Dalam ibadah puasa manusia konsisten mensucikan diri untuk mendekatkan ruhnya kepada yang Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu memuji Allah SWT (bertahmid) dan membesarkan nama Allah SWT (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari pujian-pujian yang pada hakekatnya pujian itu hanya milik Allah SWT.

Begitu juga dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Alloh SWT bukan ingin membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan materi duniawi yang tidak kekal abadi.

Bertitik tolak dari konsistensi nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal) tersebut maka pasti berdampak positif pada sikap yang adil dan konsisten terhadap diri manusia sendiri, keluarga dan masyarakat demi menjadikan pribadinya yang sholeh secara individual dan sekaligus sholeh secara sosial. Selain itu, berakibat baik juga dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negaranya yang berkeadilan sosial bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Wallahu a’lam bisshowab.....
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More