Manifestasi Nilai Moderasi Beragama dalam Ibadah Puasa
Sabtu, 08 April 2023 - 15:42 WIB
Berpijak pada keempat prinsip itulah warga NU menjalankan ajaran Islam, berbangsa dan bernegara Indonesia, hidup berdampingan dengan umat beragama lain dan bersikap toleran baik antar umat beragama dan intern umat Islam. Dengan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja tersebut, para ulama NU menyatakan, “resolusi jihad melawan penjajah, Indonesia merdeka berkat rahmat Allah, NU menerima asas tunggal Pancasila, Hubungan Islam dan NKRI sudah final dan tidak perlu lagi membentuk negara Islam, NU kembali ke Khittah dan lain sebagainya.
Kembali pada manifestasi nilai-nilai Aswaja dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadan jika kita renungkan lebih mendalam, maka sangat terasa keempat nilai-nilai di atas terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan al-sha-imaat).
Pertama;al-Tawazun
Dalam ibadah puasa nilai-nilaial-Tawazun(bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya.
Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Alloh SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua ;at-Tawassuth
Kembali pada manifestasi nilai-nilai Aswaja dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadan jika kita renungkan lebih mendalam, maka sangat terasa keempat nilai-nilai di atas terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan al-sha-imaat).
Pertama;al-Tawazun
Dalam ibadah puasa nilai-nilaial-Tawazun(bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya.
Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Alloh SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua ;at-Tawassuth
tulis komentar anda