Manifestasi Nilai Moderasi Beragama dalam Ibadah Puasa

Sabtu, 08 April 2023 - 15:42 WIB
loading...
Manifestasi Nilai Moderasi Beragama dalam Ibadah Puasa
HM Ishom Yusqi. FOTO/DOK SINDO
A A A
H.M. Ishom Yusqi
Direktur KSKK Madrasah Kementerian Agama

Di bulan suci Ramadan seringkali kita mendengarkan kajian-kajian hikmah seputar ibadah puasa . Biasanya ibadah puasa dianalisis secara deduktif dari Alqur’an maupun Alhadist, sehingga memunculkan dan melahirkan beberapa aspek hukum yang terkait dengan puasa.

Namun tidak jarang juga para penceramah meninjau ibadah puasa dalam berbagai perspektif dan dianalisis secara induktif dari korelasi dan signifikansi puasa dengan kehidupan sehari-hari umat Islam saat menjalankannya. Ada yang mengkaji aspek-aspek kesehatan atau dair aspek spiritualitas, sosialitas, kesehatan jiwa umat manusia dan lain sebagainya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengelaborasi lebih jauh tentang manifestasi nilai-nilai Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam ibadah puasa. Hal ini dirasa penting karena kita sebagai kaum Nahdliyiin (warga NU) perlu menyadari bahwa nilai-nilai Aswaja harus benar-benar inheren dan terinternalisasi dalam setiap pribadi orang NU.

Sebagai warga NU, jika tanpa akidah Aswaja tentu ke-NU-annya hanya nama dan topeng belaka. Eksistensi NU, Aswaja dan Tanah Air Indonesia adalah tiga serangkai yang saling terkait dan berkelindan satu dengan lainnya.

NU merupakan ormas terbesar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berdasarkan pada akidah Aswaja. Dengan demikian, Mayoritas Islam Indonesia (Islam Nusantara) adalah Islam Aswaja, dan Islam Aswaja tercermin jelas pada Islam NU, Islam NU adalah Islamnya orang-orang Indonesia yang menganut paham Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang selalu berprinsip pada nilai-nilai dasarnya yaitu;al-Tawazun(bertindak seimbang), at-Tawassuth(berperilaku moderat), al-Tasamuh(bersikap toleran) danal-I’tidal(berpihak pada kebenaran).

Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja di atas merupakan empat pilar warga NU dalam ber-aswaja (ber-Islam), berbangsa dan bernegara. Empat pilaral-Tawazun(bertindak seimbang),at-Tawassuth(berperilaku moderat),al-Tasamuh(bersikap toleran) danal-I’tidal(berpihak pada kebenaran) sama sekali tidak bertentangan dengan empat pilar bangsa Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja;al-Tawazun,at-Tawassuth,al-Tasamuhdanal-I’tidalmerupakan metode berfikir yang paripurna bagi warga NU dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Berpijak pada keempat prinsip itulah warga NU menjalankan ajaran Islam, berbangsa dan bernegara Indonesia, hidup berdampingan dengan umat beragama lain dan bersikap toleran baik antar umat beragama dan intern umat Islam. Dengan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja tersebut, para ulama NU menyatakan, “resolusi jihad melawan penjajah, Indonesia merdeka berkat rahmat Allah, NU menerima asas tunggal Pancasila, Hubungan Islam dan NKRI sudah final dan tidak perlu lagi membentuk negara Islam, NU kembali ke Khittah dan lain sebagainya.

Kembali pada manifestasi nilai-nilai Aswaja dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadan jika kita renungkan lebih mendalam, maka sangat terasa keempat nilai-nilai di atas terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan al-sha-imaat).

Pertama;al-Tawazun
Dalam ibadah puasa nilai-nilaial-Tawazun(bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).

Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya.

Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Alloh SWT.

Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.

Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.

Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.

Kedua ;at-Tawassuth
Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalahat-Tawassuth(berperilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun.

Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikapat-Tawassuth(berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.

Ketiga;al-Tasamuh

Ajaranat-Tasamuhmengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa.

Misalnya, adanya perbedaan penetapan awal Ramadan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.

Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan menghormati. Nilaial-Tasamuh(bersikap toleran) bagi warga NU Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Keempat:al-I’tidal
Ajaranal-I’tidal(berpihak pada kebenaran) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar dan tepat. Nilaial-I’tidal(berpihak pada kebenaran) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa secara spiritual berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada olah kesucian rohani. Berpuasa merupakan ibadah ilahiyah yang tertuju khusus dan terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT.

Dalam ibadah puasa manusia konsisten mensucikan diri untuk mendekatkan ruhnya kepada yang Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu memuji Allah SWT (bertahmid) dan membesarkan nama Allah SWT (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari pujian-pujian yang pada hakekatnya pujian itu hanya milik Allah SWT.

Begitu juga dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Alloh SWT bukan ingin membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan materi duniawi yang tidak kekal abadi.

Bertitik tolak dari konsistensi nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal) tersebut maka pasti berdampak positif pada sikap yang adil dan konsisten terhadap diri manusia sendiri, keluarga dan masyarakat demi menjadikan pribadinya yang sholeh secara individual dan sekaligus sholeh secara sosial. Selain itu, berakibat baik juga dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negaranya yang berkeadilan sosial bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Wallahu a’lam bisshowab.....
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1778 seconds (0.1#10.140)