FIFA dan Harga Diri Bangsa

Sabtu, 01 April 2023 - 14:31 WIB
Argumentasinya didasarkan pada pentingnya melestarikan ideologi Bung Karno. Penolakan itu semakin menguat ketika organisasi keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut serta menolak. Ketika dikonfirmasi, Dubes Palestina untuk Indonesia sendiri tidak mempermasalahkan kehadiran Israel di Indonesia.

Atas dasar polemik yang muncul di atas, pihak PSSI pada Minggu (26/03) membatalkan agenda drawing pertandingan Piala Dunia yang sedianya akan dilakukan akhir bulan Maret. Alasannya, karena pihak FIFA sudah membatalkan agenda yang merupakan bagian penyelenggaraan event besar tersebut. FIFA berdalih bahwa Pemerintah ingkar janji dalam pemberian garansi untuk Israel.

Kendati kegagalan sudah di depan mata, pada detik-detik terakhir (29 Maret 2023) Presiden Joko Widodo memerintahkan Erick Thohir menemui Presiden FIA di Doha, Qatar. Pertemuan itu tetap saja tidak membuahkan hasil karena FIFA tetap mencabut status tuan rumah dan bermaksud memberikan sanksi terhadap PSSI.

Banyak pihak menyayangkan kejadian ini. Logikanya, event ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk turut dalam kegiatan internasional. Lagi pula, meski tidak lolos di tingkat Asia, Indonesia tetap memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam perebutan Piala Dunia di Grup A. Atas dasar pemikiran itupula, publik pantas merasa kecewa karena kehilangan kesempatan dalam event langka itu.

Merendahkan diri

Kendati demikian, suka atau tidak, selama ini prestasi sepakbola Indonesia masih jauh dari harapan sekalipun kesempatan itu terbuka lebar. Terdapat empat fakta penting ini mengapa kekecewaan publik tidak perlu berlarut-larut.

Pertama, penolakan keputusan FIFA mestinya tidak mempengaruhi kedaulatan bangsa yang merdeka dan berdaulat. Idealnya, Erick Thohir tak harus menjalankan misi yang tidak mungkin untuk mengurangi kekecewaan masyarakat. Bangsa ini mewarisi kebesaran semangat para leluhurnya dalam membangun harga diri dan warisan budaya yang besar pada masanya.

Kedua, argumentasi untuk memisahkan olahraga dan politik menyisakan beragam kesulitan karena politik melingkupi setiap aktivitas kelompok maupun langkah tokoh publik. Penolakan oleh sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan dianggap sebagai bagian dari politik untuk menarik simpati publik. Mestinya penolakan itu tidak selalu dibaca secara politis alias ambisi kepentingan pribadi semata.

Ketiga, sepakbola adalah olahraga yang sangat populer. Dalam cabang olahraga lain, atlet Israel sempat turut bertanding di Indonesia tetapi tidak menuai kegaduhan seperti Piala Dunia. Karena popularitas itu, potensi gangguan secara ideologis dan politis akan selalu terbuka. Kasus radikalisme, terorisme, dan antisemit bukanlah wacana belaka. Inilah kasus kejahatan aktual yang dihadapi masyarakat pada masa sekarang ini.

Hal yang bisa dilakukan sekarang bukanlah menyesali dan melakukan diplomasi setegah mati terhadap organisasi dunia. Ada baiknya pemerintah Indonesia berbenah dengan kejadian ini. Adalah lebih penting melakukan evaluasi terhadap kemauan dan kemampuan di bidang olahraga sepakbola ketimbang mengemis-ngemis sesuatu yang tidak akan diberikan.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More