Hidup Roller Coaster Jenderal TNI Widodo, Disayang Lalu Dibuang Soeharto
Rabu, 22 Maret 2023 - 06:18 WIB
Raden Taruno Hartono termasuk keluarga darah biru. Ia putra dari Raden Ronggo Mangun Winoto. Akan halnya Raden Ayu Rukmiati, juga masih terhitung ningrat. Bila ditelusuri, kakeknya masih kerabat Pangeran Diponegoro. Untuk diketahui, Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama dari Gusti Raden Mas Suraja-Raden Ayu Mangkarawati (istri selir). Kelak ayah Pangeran Diponegoro naik takhta bergelar Hamengku Buwono III.
Dengan silsilah demikian, Widodo termasuk priyayi Jawa. Tak mengherankan namanya kemudian dikenal sebagai Raden Widodo. Taruno Hartono dikenal taat beribadah. Kealimannya itu diajarkan kepada anak-anaknya. Selepas magrib, Widodo pun mengaji dan belajar ilmu agama.
Seiring perjalanan waktu, Widodo kecil menempuh sekolah menengah pertama. Ketika kelas III, salah satu gurunya bernama Iskandar selalu mengobarkan semangat melawan penjajah. Dia mendorong murid-muridnya untuk mendaftarkan diri masuk pendidikan Pembela Tanah Air (Peta). Widodo memutuskan untuk ikut serta.
“Sebenarnya Widodo tidak ingin ikut Peta, tapi karena dianjurkan dan semangatnya terbakar, akhirnya dia berangkat ke Bogor,” tulis Dinas Sejarah Angkatan Darat dalam buku biografi ‘Jenderal TNI R Widodo, Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa.
Dari sinilah karier militer Widodo bermula. Pada 5 April 1944 dia dilantik di Jakarta. Sebagai perwira dia mendapat jabatan Shodanco alias komandan peleton. Ketika Peta dibubarkan, Widodo sempat menganggur sebentar. Setelah Bung Karno-Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, dia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Dia diangkat menjadi komandan kompi.
“Peran R Widodo sangat penting diawali sebagai seorang Komandan Kompi di Batalyon 30 Resimen III Divisi III/Diponegoro,” tulis Disjarahad. Waktu terus bergulir, Widodo diterjunkan dalam berbagai tugas, termasuk terlibat dalam Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta. Widodo menjadi salah satu komandan dari pasukan yang menyerang Kotabaru di bawah pimpinan Mayor Soeharto.
Seiring itu, jabatannya pun perlahan meningkat. Namun, dibanding koleganya seangkatan, nasib Widodo terbilang tak moncer. Betapa tidak, selama 11 tahun dia menyandang pangkat kapten. Tepatnya dari 1945-1956. Pada 1957 setelah mengikuti pelatihan di SSKAD selama 18 bulan, Widodo diangkat sebagai instruktur di lembaga pendidikan tersebut.
“Posisi itu disandangnya 8 tahun dari 1957 sampai 1963. Di antara mereka yang dia ajar adalah bekas komandannya, Soeharto,” kata David Jenkins dalam ’Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’. Widodo kembali bekerja di bawah Harto saat ditunjuk sebagai kepala staf satuan pasukan terjun payung dalam operasi Komando Mandala di Irian Barat.
Dari berbagai interaksi ini, Widodo sesungguhnya belum termasuk sosok yang masuk radar Soeharto. Titik balik karier militernya terjadi ketika dia sukses menumpas PKI di Yogyakarta dan gerombolan DI/TII di Brebes. Widodo pecah bintang ketika menjabat Kasdam Diponegoro. Sekali lagi, dia agresif menghabisi sisa-sisa PKI di Jateng termasuk mengganyang kelompok Mbah Suro di Gunung Kendeng, Blora.
Kariernya semakin mencorong. Berdasarkan SK Panglima Angkatan Darat Nomor: Kep-770/7/1968 tertanggal 6 Juli 1968, dia dipromosikan sebagai Pangdam III/17 Agustus di Sumatera Barat. Anak kedua dari 13 bersaudara ini sukses menjalankan tugasnya. Tak mengherankan promosi kembali didapatkannya. Widodo kembali ke Jawa dengan didapuk sebagai Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973).
Dengan silsilah demikian, Widodo termasuk priyayi Jawa. Tak mengherankan namanya kemudian dikenal sebagai Raden Widodo. Taruno Hartono dikenal taat beribadah. Kealimannya itu diajarkan kepada anak-anaknya. Selepas magrib, Widodo pun mengaji dan belajar ilmu agama.
Seiring perjalanan waktu, Widodo kecil menempuh sekolah menengah pertama. Ketika kelas III, salah satu gurunya bernama Iskandar selalu mengobarkan semangat melawan penjajah. Dia mendorong murid-muridnya untuk mendaftarkan diri masuk pendidikan Pembela Tanah Air (Peta). Widodo memutuskan untuk ikut serta.
“Sebenarnya Widodo tidak ingin ikut Peta, tapi karena dianjurkan dan semangatnya terbakar, akhirnya dia berangkat ke Bogor,” tulis Dinas Sejarah Angkatan Darat dalam buku biografi ‘Jenderal TNI R Widodo, Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa.
Dari sinilah karier militer Widodo bermula. Pada 5 April 1944 dia dilantik di Jakarta. Sebagai perwira dia mendapat jabatan Shodanco alias komandan peleton. Ketika Peta dibubarkan, Widodo sempat menganggur sebentar. Setelah Bung Karno-Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, dia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Dia diangkat menjadi komandan kompi.
“Peran R Widodo sangat penting diawali sebagai seorang Komandan Kompi di Batalyon 30 Resimen III Divisi III/Diponegoro,” tulis Disjarahad. Waktu terus bergulir, Widodo diterjunkan dalam berbagai tugas, termasuk terlibat dalam Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta. Widodo menjadi salah satu komandan dari pasukan yang menyerang Kotabaru di bawah pimpinan Mayor Soeharto.
Seiring itu, jabatannya pun perlahan meningkat. Namun, dibanding koleganya seangkatan, nasib Widodo terbilang tak moncer. Betapa tidak, selama 11 tahun dia menyandang pangkat kapten. Tepatnya dari 1945-1956. Pada 1957 setelah mengikuti pelatihan di SSKAD selama 18 bulan, Widodo diangkat sebagai instruktur di lembaga pendidikan tersebut.
“Posisi itu disandangnya 8 tahun dari 1957 sampai 1963. Di antara mereka yang dia ajar adalah bekas komandannya, Soeharto,” kata David Jenkins dalam ’Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’. Widodo kembali bekerja di bawah Harto saat ditunjuk sebagai kepala staf satuan pasukan terjun payung dalam operasi Komando Mandala di Irian Barat.
Dari berbagai interaksi ini, Widodo sesungguhnya belum termasuk sosok yang masuk radar Soeharto. Titik balik karier militernya terjadi ketika dia sukses menumpas PKI di Yogyakarta dan gerombolan DI/TII di Brebes. Widodo pecah bintang ketika menjabat Kasdam Diponegoro. Sekali lagi, dia agresif menghabisi sisa-sisa PKI di Jateng termasuk mengganyang kelompok Mbah Suro di Gunung Kendeng, Blora.
Kariernya semakin mencorong. Berdasarkan SK Panglima Angkatan Darat Nomor: Kep-770/7/1968 tertanggal 6 Juli 1968, dia dipromosikan sebagai Pangdam III/17 Agustus di Sumatera Barat. Anak kedua dari 13 bersaudara ini sukses menjalankan tugasnya. Tak mengherankan promosi kembali didapatkannya. Widodo kembali ke Jawa dengan didapuk sebagai Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973).
tulis komentar anda