Hidup Roller Coaster Jenderal TNI Widodo, Disayang Lalu Dibuang Soeharto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Garis hidup Jenderal TNI Raden Widodo ibarat roller coaster. Pernah karier militernya berjalan sangat lambat, tetapi akhirnya malah melesat jadi Kepala Staf Angkatan Darat . Namun posisi puncak itu relatif sangat singkat, hanya sekitar dua tahun saja.
Widodo, jenderal ningrat asal Yogyakarta, tercatat sebagai KSAD ke-12. Berbeda dengan para pendahulunya yang memegang tongkat komando tertinggi matra Darat itu selama empat atau bahkan lima tahun, Widodo cuma dua tahun dari 1 Januari 1978-30 April 1980.
Bukan tanpa alasan Widodo tersingkir dari lingkaran dekat Istana. Sepak terjangnya mendirikan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD yang berisi para purnawirawan Angkatan Darat membuat Soeharto tak suka. Terlebih para pentolan Fosko mayoritas jenderal-jenderal yang berseberangan dengan Harto.
“Mengetahui bahwa kemudian Presiden Soeharto tidak lagi nyaman dengan langkah-langkah yang diambil Jenderal Widodo, maka begitu mempunyai alasan, langsung Jenderal Jusuf (Panglima ABRI) mengajukan usulan pergantian KSAD yang langsung disetujui Soeharto,” kata Atmaji Sumarkidjo dalam “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit” (hal 291), dikutip Rabu (22/3/2023).
Sebagai pengganti ditunjuk Wakil KSAD Letnan Jenderal TNI Poniman. Kepribadian Poniman jauh bertolak belakang dengan Widodo. Serdadu asal Sukoharjo, Jawa Tengah itu relatif low profile dan tidak outspoken. Kelak setelah pensiun dari KSAD, Poniman ditarik Soeharto masuk kabinet menjadi menteri pertahanan keamanan.
Trah Darah Biru Kraton Yogya
Jenderal TNI Widodo mendapat ucapan Selamat saat dilantik sebagai KSAD. Foto/Khastara Perpusnas
Tatkala fajar menyingsing pada 25 April 1926, tangis bayi pecah. Hari itu, lahir bocah laki-laki putra dari pasangan Raden Taruno Hartono dan Raden Ayu Rukmiati. Oleh sang ayah, jabang bayi itu diberi nama Widodo yang berarti selamat sejahtera.
Raden Taruno Hartono termasuk keluarga darah biru. Ia putra dari Raden Ronggo Mangun Winoto. Akan halnya Raden Ayu Rukmiati, juga masih terhitung ningrat. Bila ditelusuri, kakeknya masih kerabat Pangeran Diponegoro. Untuk diketahui, Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama dari Gusti Raden Mas Suraja-Raden Ayu Mangkarawati (istri selir). Kelak ayah Pangeran Diponegoro naik takhta bergelar Hamengku Buwono III.
Dengan silsilah demikian, Widodo termasuk priyayi Jawa. Tak mengherankan namanya kemudian dikenal sebagai Raden Widodo. Taruno Hartono dikenal taat beribadah. Kealimannya itu diajarkan kepada anak-anaknya. Selepas magrib, Widodo pun mengaji dan belajar ilmu agama.
Seiring perjalanan waktu, Widodo kecil menempuh sekolah menengah pertama. Ketika kelas III, salah satu gurunya bernama Iskandar selalu mengobarkan semangat melawan penjajah. Dia mendorong murid-muridnya untuk mendaftarkan diri masuk pendidikan Pembela Tanah Air (Peta). Widodo memutuskan untuk ikut serta.
“Sebenarnya Widodo tidak ingin ikut Peta, tapi karena dianjurkan dan semangatnya terbakar, akhirnya dia berangkat ke Bogor,” tulis Dinas Sejarah Angkatan Darat dalam buku biografi ‘Jenderal TNI R Widodo, Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa.
Dari sinilah karier militer Widodo bermula. Pada 5 April 1944 dia dilantik di Jakarta. Sebagai perwira dia mendapat jabatan Shodanco alias komandan peleton. Ketika Peta dibubarkan, Widodo sempat menganggur sebentar. Setelah Bung Karno-Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, dia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Dia diangkat menjadi komandan kompi.
“Peran R Widodo sangat penting diawali sebagai seorang Komandan Kompi di Batalyon 30 Resimen III Divisi III/Diponegoro,” tulis Disjarahad. Waktu terus bergulir, Widodo diterjunkan dalam berbagai tugas, termasuk terlibat dalam Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta. Widodo menjadi salah satu komandan dari pasukan yang menyerang Kotabaru di bawah pimpinan Mayor Soeharto.
Seiring itu, jabatannya pun perlahan meningkat. Namun, dibanding koleganya seangkatan, nasib Widodo terbilang tak moncer. Betapa tidak, selama 11 tahun dia menyandang pangkat kapten. Tepatnya dari 1945-1956. Pada 1957 setelah mengikuti pelatihan di SSKAD selama 18 bulan, Widodo diangkat sebagai instruktur di lembaga pendidikan tersebut.
“Posisi itu disandangnya 8 tahun dari 1957 sampai 1963. Di antara mereka yang dia ajar adalah bekas komandannya, Soeharto,” kata David Jenkins dalam ’Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’. Widodo kembali bekerja di bawah Harto saat ditunjuk sebagai kepala staf satuan pasukan terjun payung dalam operasi Komando Mandala di Irian Barat.
Dari berbagai interaksi ini, Widodo sesungguhnya belum termasuk sosok yang masuk radar Soeharto. Titik balik karier militernya terjadi ketika dia sukses menumpas PKI di Yogyakarta dan gerombolan DI/TII di Brebes. Widodo pecah bintang ketika menjabat Kasdam Diponegoro. Sekali lagi, dia agresif menghabisi sisa-sisa PKI di Jateng termasuk mengganyang kelompok Mbah Suro di Gunung Kendeng, Blora.
Kariernya semakin mencorong. Berdasarkan SK Panglima Angkatan Darat Nomor: Kep-770/7/1968 tertanggal 6 Juli 1968, dia dipromosikan sebagai Pangdam III/17 Agustus di Sumatera Barat. Anak kedua dari 13 bersaudara ini sukses menjalankan tugasnya. Tak mengherankan promosi kembali didapatkannya. Widodo kembali ke Jawa dengan didapuk sebagai Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973).
Berbagai tugas dan terobosan dilakukannya selama di Jateng. Kemampuan memimpin komando ini membawanya ke bintang 3. Mantan Danrem 072 / Pamungkas Kodam VII/ Diponegoro (1965) ini dipercaya menjabat Panglima Kowilhan I / Sumatera (1973-1974), menggantikan Letjen TNI Achmad Tahir. Setelah itu dia dipercaya sebagai Panglima Kowilhan II / Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada 1974-1977.
Fosko AD Berujung Didepak Soeharto
Perjalanan karier militer Widodo benar-benar seperti permainan roller coaster. Sempat pergerakan pangkatnya sangat lamban, kini dia justru meroket. Tak main-main, lulusan pendidikan infanteri di Fort Benning Amerika Serikat itu menembus posisi tertinggi Angkatan Darat.
Widodo resmi dilantik sebagai KSAD, menggantikan Jenderal TNI Makmun Murod. Upacara pelantikan di lapangan Parkir Timur Senayan dipimpin Menhankam/Pangab Jenderal TNI Maraden Panggabean, 28 Januari 1978. Dengan demikian, Widodo menjadi KSAD ke-12. Tugas-tugas regular memimpin matra Darat pun dilaksanakan dengan baik.
Di antara berbagai pekerjaan itu, ada satu yang menarik perhatian Istana. Tak lama diangkat menjadi KSAD, Widodo membentuk Fosko TNI AD. Forum komunikasi ini sesungguhnya dimaksudkan sebagai wadah bagi para purawiran TNI AD untuk memberik masukan dan menyampaikan unek-unek mereka.
Persoalannya, mereka yang tergabung dalam Fosko TNI AD adalah para purnawirawan jenderal yang selama ini sangat galak terhadap Soeharto. Jenkins menggambarkan, sejumlah perwira aktif senior berpangka tinggi menyatakan dukungannya terhadap Fosko. Keanggotaan fosko pun melibatkan sejumlah tokoh perwira terkemuka mantan pentinggi militer di antaranya terkenal suka bicara tajam.
“Presidium Fosko terdiri atas (pensiunan) Letjen GPH Djatikusumo, Letjen R sudirman dan Mayjen Achmad Sukendro. Sebagai sekretaris jenderal yaitu Letjen HR Dharsono,” kata Jenkins. Di bidang politik terdapat Letjen AJ Mokoginta dan Brigjen Daan Jahja. Tertera pula nama Letjen M Jasin di bidang ekonomi Fosko.
Deretan nama jenderal ini jelas bukan orang yang satu frekuensi dengan Soeharto. Para jenderal vokal itu dalam beberapa tahun telah dengan tajam mengkritik Orde Baru serta posisi ABRI yang digiring ke politik. Kesenjangan ekonomi masyarakat tak luput menjadi isu-isu yang sangat keras mereka suarakan. Muaranya satu: Soeharto dianggap tak becus memimpin negara.
“Pada intinya, Fosko menghendaki ‘perubahan sistim’ demi infrastruktur yang lebih baik, melalui berbagai pertemuan dan dialog dengan pimpinan TNI,” kata Sri Bintang Pamungkas dalam ‘Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara’ (hal 29).
Keberadaan Fosko jelas membuat Cendana—istilah lain untuk menyebut Soeharto—gusar. Imbasnya, jabatan Widodo tak berumur panjang. The Smiling General menyetujui usulan pergantian KSAD, hanya dua tahun setelah Widodo menjabat.
Lihat Juga: 8 Mayjen TNI Bersiap Pensiun usai Mutasi Akhir Oktober 2024, Nomor Terakhir Eks Pangdam XVIII/Kasuari
Widodo, jenderal ningrat asal Yogyakarta, tercatat sebagai KSAD ke-12. Berbeda dengan para pendahulunya yang memegang tongkat komando tertinggi matra Darat itu selama empat atau bahkan lima tahun, Widodo cuma dua tahun dari 1 Januari 1978-30 April 1980.
Bukan tanpa alasan Widodo tersingkir dari lingkaran dekat Istana. Sepak terjangnya mendirikan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD yang berisi para purnawirawan Angkatan Darat membuat Soeharto tak suka. Terlebih para pentolan Fosko mayoritas jenderal-jenderal yang berseberangan dengan Harto.
“Mengetahui bahwa kemudian Presiden Soeharto tidak lagi nyaman dengan langkah-langkah yang diambil Jenderal Widodo, maka begitu mempunyai alasan, langsung Jenderal Jusuf (Panglima ABRI) mengajukan usulan pergantian KSAD yang langsung disetujui Soeharto,” kata Atmaji Sumarkidjo dalam “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit” (hal 291), dikutip Rabu (22/3/2023).
Sebagai pengganti ditunjuk Wakil KSAD Letnan Jenderal TNI Poniman. Kepribadian Poniman jauh bertolak belakang dengan Widodo. Serdadu asal Sukoharjo, Jawa Tengah itu relatif low profile dan tidak outspoken. Kelak setelah pensiun dari KSAD, Poniman ditarik Soeharto masuk kabinet menjadi menteri pertahanan keamanan.
Trah Darah Biru Kraton Yogya
Jenderal TNI Widodo mendapat ucapan Selamat saat dilantik sebagai KSAD. Foto/Khastara Perpusnas
Tatkala fajar menyingsing pada 25 April 1926, tangis bayi pecah. Hari itu, lahir bocah laki-laki putra dari pasangan Raden Taruno Hartono dan Raden Ayu Rukmiati. Oleh sang ayah, jabang bayi itu diberi nama Widodo yang berarti selamat sejahtera.
Raden Taruno Hartono termasuk keluarga darah biru. Ia putra dari Raden Ronggo Mangun Winoto. Akan halnya Raden Ayu Rukmiati, juga masih terhitung ningrat. Bila ditelusuri, kakeknya masih kerabat Pangeran Diponegoro. Untuk diketahui, Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama dari Gusti Raden Mas Suraja-Raden Ayu Mangkarawati (istri selir). Kelak ayah Pangeran Diponegoro naik takhta bergelar Hamengku Buwono III.
Dengan silsilah demikian, Widodo termasuk priyayi Jawa. Tak mengherankan namanya kemudian dikenal sebagai Raden Widodo. Taruno Hartono dikenal taat beribadah. Kealimannya itu diajarkan kepada anak-anaknya. Selepas magrib, Widodo pun mengaji dan belajar ilmu agama.
Seiring perjalanan waktu, Widodo kecil menempuh sekolah menengah pertama. Ketika kelas III, salah satu gurunya bernama Iskandar selalu mengobarkan semangat melawan penjajah. Dia mendorong murid-muridnya untuk mendaftarkan diri masuk pendidikan Pembela Tanah Air (Peta). Widodo memutuskan untuk ikut serta.
“Sebenarnya Widodo tidak ingin ikut Peta, tapi karena dianjurkan dan semangatnya terbakar, akhirnya dia berangkat ke Bogor,” tulis Dinas Sejarah Angkatan Darat dalam buku biografi ‘Jenderal TNI R Widodo, Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa.
Dari sinilah karier militer Widodo bermula. Pada 5 April 1944 dia dilantik di Jakarta. Sebagai perwira dia mendapat jabatan Shodanco alias komandan peleton. Ketika Peta dibubarkan, Widodo sempat menganggur sebentar. Setelah Bung Karno-Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, dia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Dia diangkat menjadi komandan kompi.
“Peran R Widodo sangat penting diawali sebagai seorang Komandan Kompi di Batalyon 30 Resimen III Divisi III/Diponegoro,” tulis Disjarahad. Waktu terus bergulir, Widodo diterjunkan dalam berbagai tugas, termasuk terlibat dalam Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta. Widodo menjadi salah satu komandan dari pasukan yang menyerang Kotabaru di bawah pimpinan Mayor Soeharto.
Seiring itu, jabatannya pun perlahan meningkat. Namun, dibanding koleganya seangkatan, nasib Widodo terbilang tak moncer. Betapa tidak, selama 11 tahun dia menyandang pangkat kapten. Tepatnya dari 1945-1956. Pada 1957 setelah mengikuti pelatihan di SSKAD selama 18 bulan, Widodo diangkat sebagai instruktur di lembaga pendidikan tersebut.
“Posisi itu disandangnya 8 tahun dari 1957 sampai 1963. Di antara mereka yang dia ajar adalah bekas komandannya, Soeharto,” kata David Jenkins dalam ’Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’. Widodo kembali bekerja di bawah Harto saat ditunjuk sebagai kepala staf satuan pasukan terjun payung dalam operasi Komando Mandala di Irian Barat.
Dari berbagai interaksi ini, Widodo sesungguhnya belum termasuk sosok yang masuk radar Soeharto. Titik balik karier militernya terjadi ketika dia sukses menumpas PKI di Yogyakarta dan gerombolan DI/TII di Brebes. Widodo pecah bintang ketika menjabat Kasdam Diponegoro. Sekali lagi, dia agresif menghabisi sisa-sisa PKI di Jateng termasuk mengganyang kelompok Mbah Suro di Gunung Kendeng, Blora.
Kariernya semakin mencorong. Berdasarkan SK Panglima Angkatan Darat Nomor: Kep-770/7/1968 tertanggal 6 Juli 1968, dia dipromosikan sebagai Pangdam III/17 Agustus di Sumatera Barat. Anak kedua dari 13 bersaudara ini sukses menjalankan tugasnya. Tak mengherankan promosi kembali didapatkannya. Widodo kembali ke Jawa dengan didapuk sebagai Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973).
Berbagai tugas dan terobosan dilakukannya selama di Jateng. Kemampuan memimpin komando ini membawanya ke bintang 3. Mantan Danrem 072 / Pamungkas Kodam VII/ Diponegoro (1965) ini dipercaya menjabat Panglima Kowilhan I / Sumatera (1973-1974), menggantikan Letjen TNI Achmad Tahir. Setelah itu dia dipercaya sebagai Panglima Kowilhan II / Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada 1974-1977.
Fosko AD Berujung Didepak Soeharto
Perjalanan karier militer Widodo benar-benar seperti permainan roller coaster. Sempat pergerakan pangkatnya sangat lamban, kini dia justru meroket. Tak main-main, lulusan pendidikan infanteri di Fort Benning Amerika Serikat itu menembus posisi tertinggi Angkatan Darat.
Widodo resmi dilantik sebagai KSAD, menggantikan Jenderal TNI Makmun Murod. Upacara pelantikan di lapangan Parkir Timur Senayan dipimpin Menhankam/Pangab Jenderal TNI Maraden Panggabean, 28 Januari 1978. Dengan demikian, Widodo menjadi KSAD ke-12. Tugas-tugas regular memimpin matra Darat pun dilaksanakan dengan baik.
Di antara berbagai pekerjaan itu, ada satu yang menarik perhatian Istana. Tak lama diangkat menjadi KSAD, Widodo membentuk Fosko TNI AD. Forum komunikasi ini sesungguhnya dimaksudkan sebagai wadah bagi para purawiran TNI AD untuk memberik masukan dan menyampaikan unek-unek mereka.
Persoalannya, mereka yang tergabung dalam Fosko TNI AD adalah para purnawirawan jenderal yang selama ini sangat galak terhadap Soeharto. Jenkins menggambarkan, sejumlah perwira aktif senior berpangka tinggi menyatakan dukungannya terhadap Fosko. Keanggotaan fosko pun melibatkan sejumlah tokoh perwira terkemuka mantan pentinggi militer di antaranya terkenal suka bicara tajam.
“Presidium Fosko terdiri atas (pensiunan) Letjen GPH Djatikusumo, Letjen R sudirman dan Mayjen Achmad Sukendro. Sebagai sekretaris jenderal yaitu Letjen HR Dharsono,” kata Jenkins. Di bidang politik terdapat Letjen AJ Mokoginta dan Brigjen Daan Jahja. Tertera pula nama Letjen M Jasin di bidang ekonomi Fosko.
Deretan nama jenderal ini jelas bukan orang yang satu frekuensi dengan Soeharto. Para jenderal vokal itu dalam beberapa tahun telah dengan tajam mengkritik Orde Baru serta posisi ABRI yang digiring ke politik. Kesenjangan ekonomi masyarakat tak luput menjadi isu-isu yang sangat keras mereka suarakan. Muaranya satu: Soeharto dianggap tak becus memimpin negara.
“Pada intinya, Fosko menghendaki ‘perubahan sistim’ demi infrastruktur yang lebih baik, melalui berbagai pertemuan dan dialog dengan pimpinan TNI,” kata Sri Bintang Pamungkas dalam ‘Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara’ (hal 29).
Keberadaan Fosko jelas membuat Cendana—istilah lain untuk menyebut Soeharto—gusar. Imbasnya, jabatan Widodo tak berumur panjang. The Smiling General menyetujui usulan pergantian KSAD, hanya dua tahun setelah Widodo menjabat.
Lihat Juga: 8 Mayjen TNI Bersiap Pensiun usai Mutasi Akhir Oktober 2024, Nomor Terakhir Eks Pangdam XVIII/Kasuari
(mhd)