Antara Publikasi dan Privasi
Senin, 20 Maret 2023 - 11:59 WIB
Sekarang apa yang dimaksud dengan privasi? Sebagai sebuah hak, hal ini sudah lama menjadi bahan diskusi di dalam ruang-ruang sidang pengadilan di Inggris dan kemudian di Amerika Serikat. Hingga kemudian Samuel Warren dan Louis Brandeis menulis konsepsi hukum hak atas privasi dalam Harvard Law Review Vol. IV, 15 Desember 1890.
Tulisan dengan judul “The Right to Privacy” inilah yang pertama kali merumuskan hak atas privasi sebagai sebuah hak hukum. Tulisan ini muncul ketika koran‐koran mulai mencetak gambar orang untuk pertama kalinya. Menurut Jay Shanker, David E. Guinn, Harold Orenstein dalam Entertainment Law & Business, tulisan kedua orang itu sangat berpengaruh dalam sejarah hukum privasi.
Warren dan Brandeis mendefinisikan hak atas privasi sebagai “hak untuk dibiarkan sendiri” (the right to be let alone). Definisi mereka didasarkan pada kehormatan pribadi dan nilai‐nilai seperti martabat individu, otonomi, dan kemandirian pribadi. Gagasan ini kemudian mendapatkan pengakuan dengan adanya beberapa gugatan hukum yang kemudian memberikan pembenaran tentang perlunya perlindungan hak atas privasi, terutama dengan sandaran alasan moralitas.
Konon, gagasan dua orang pengacara Boston ini sebenarnya berangkat dari ide yang dicetuskan oleh hakim Thomas Cooley, yang menulis Treatise on the Law of Torts (1880), yang memperkenalkan pertama kali istilah “hak untuk dibiarkan sendiri” tadi.
Di Amerika Serikat, negara bagian pertama yang menghadapi sengketa adanya hak privasi adalah New York dalam kasus Robertson versus Rochester Folding-Box Co. Tetapi pengadilan saat itu menolak keberadaan hak semacam itu karena memang belum diatur dalam konstitusi.
Baru kemudian badan legislatif New York memberlakukan undang-undang yang menjadikannya sebagai pelanggaran ringan, misalnya dalam hal pelanggaran untuk menggunakan nama, potret, atau gambar seseorang untuk tujuan periklanan atau perdagangan tanpa izin tertulis sebelumnya.
Tiga tahun setelah pengadilan New York menolak keberadaan hak privasi itu, pengadilan Georgia dalam kasus Pavesich versus New England Life Ins. Co. menerima argumen yang ditulis Warren-Brandeis dan mengakui hak privasi. Ini menjadi kasus hak privasi terkemuka, dan sejak saat itu satu demi satu negara bagian di Amerika Serikat mulai mengakui perlunya perlindungan privasi seseorang.
Melanjutkan konsep yang sudah dibangun oleh Warren dan Brandeis, William L. Prosser mencoba memerinci cakupan hak privasi seseorang, dengan merujuk pada empat bentuk gangguan terhadap pribadi seseorang, yakni: (a) Gangguan terhadap tindakan seseorang yang mengasingkan diri atau menyendiri, atau gangguan terhadap relasi pribadinya; (b) Pengungkapan fakta‐fakta pribadi yang memalukan secara publik; (c) Publisitas yang menempatkan seseorang secara keliru di hadapan publik; dan (d) Penguasaan tanpa izin atas kemiripan seseorang untuk keuntungan orang lain.
Selanjutnya Julie Innes (1992) mendefinisikan privasi sebagai suatu kondisi ketika seseorang memiliki kontrol atas ranah keputusan privat mereka, yang mencakup keputusan atas akses privat, informasi privat, dan tindakan privat. Lalu Solove (2008) menjelaskan bahwa konteks privasi meliputi: keluarga, tubuh, jenis kelamin, rumah, komunikasi, dan informasi pribadi seseorang.
Intinya, saat ini privasi telah menjadi hak dasar manusia yang sangat penting karena menyangkut otonomi seseorang dan telah dilindungi oleh hak asasi manusia. Maka ia menjadi salah satu cara penting untuk melindungi seseorang dari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, dengan cara mengurangi apa saja yang boleh diketahui orang lain..
Tulisan dengan judul “The Right to Privacy” inilah yang pertama kali merumuskan hak atas privasi sebagai sebuah hak hukum. Tulisan ini muncul ketika koran‐koran mulai mencetak gambar orang untuk pertama kalinya. Menurut Jay Shanker, David E. Guinn, Harold Orenstein dalam Entertainment Law & Business, tulisan kedua orang itu sangat berpengaruh dalam sejarah hukum privasi.
Warren dan Brandeis mendefinisikan hak atas privasi sebagai “hak untuk dibiarkan sendiri” (the right to be let alone). Definisi mereka didasarkan pada kehormatan pribadi dan nilai‐nilai seperti martabat individu, otonomi, dan kemandirian pribadi. Gagasan ini kemudian mendapatkan pengakuan dengan adanya beberapa gugatan hukum yang kemudian memberikan pembenaran tentang perlunya perlindungan hak atas privasi, terutama dengan sandaran alasan moralitas.
Konon, gagasan dua orang pengacara Boston ini sebenarnya berangkat dari ide yang dicetuskan oleh hakim Thomas Cooley, yang menulis Treatise on the Law of Torts (1880), yang memperkenalkan pertama kali istilah “hak untuk dibiarkan sendiri” tadi.
Di Amerika Serikat, negara bagian pertama yang menghadapi sengketa adanya hak privasi adalah New York dalam kasus Robertson versus Rochester Folding-Box Co. Tetapi pengadilan saat itu menolak keberadaan hak semacam itu karena memang belum diatur dalam konstitusi.
Baru kemudian badan legislatif New York memberlakukan undang-undang yang menjadikannya sebagai pelanggaran ringan, misalnya dalam hal pelanggaran untuk menggunakan nama, potret, atau gambar seseorang untuk tujuan periklanan atau perdagangan tanpa izin tertulis sebelumnya.
Tiga tahun setelah pengadilan New York menolak keberadaan hak privasi itu, pengadilan Georgia dalam kasus Pavesich versus New England Life Ins. Co. menerima argumen yang ditulis Warren-Brandeis dan mengakui hak privasi. Ini menjadi kasus hak privasi terkemuka, dan sejak saat itu satu demi satu negara bagian di Amerika Serikat mulai mengakui perlunya perlindungan privasi seseorang.
Melanjutkan konsep yang sudah dibangun oleh Warren dan Brandeis, William L. Prosser mencoba memerinci cakupan hak privasi seseorang, dengan merujuk pada empat bentuk gangguan terhadap pribadi seseorang, yakni: (a) Gangguan terhadap tindakan seseorang yang mengasingkan diri atau menyendiri, atau gangguan terhadap relasi pribadinya; (b) Pengungkapan fakta‐fakta pribadi yang memalukan secara publik; (c) Publisitas yang menempatkan seseorang secara keliru di hadapan publik; dan (d) Penguasaan tanpa izin atas kemiripan seseorang untuk keuntungan orang lain.
Selanjutnya Julie Innes (1992) mendefinisikan privasi sebagai suatu kondisi ketika seseorang memiliki kontrol atas ranah keputusan privat mereka, yang mencakup keputusan atas akses privat, informasi privat, dan tindakan privat. Lalu Solove (2008) menjelaskan bahwa konteks privasi meliputi: keluarga, tubuh, jenis kelamin, rumah, komunikasi, dan informasi pribadi seseorang.
Intinya, saat ini privasi telah menjadi hak dasar manusia yang sangat penting karena menyangkut otonomi seseorang dan telah dilindungi oleh hak asasi manusia. Maka ia menjadi salah satu cara penting untuk melindungi seseorang dari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, dengan cara mengurangi apa saja yang boleh diketahui orang lain..
tulis komentar anda