Antara Publikasi dan Privasi

Senin, 20 Maret 2023 - 11:59 WIB
loading...
Antara Publikasi dan Privasi
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok pribadi
A A A
JAKARTA - Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Di dunia hiburan, khususnya film, ada dua kata yang sering diucapkan “secara bersamaan”, yakni publikasi dan privasi. Di satu sisi, para pesohor memerlukan publikasi dalam arti pemberitaan agar namanya terus eksis, tapi di sisi lain privasi mereka ingin atau tetap harus dilindungi.

Untuk mempromosikan film barunya, seorang produser, misalnya, biasa mengadakan konferensi pers dengan mengundang sejumlah wartawan. Dari sana para jurnalis mendapat bahan untuk ditulis di medianya masing-masing, dan biasanya yang muncul adalah berita baik atau yang bersifat promosi. Tapi bukan publikasi atau promosi semacam itu yang hendak kita bicarakan di sini – meski ada hubungannya.

Kini, kata publicity dalam arti publisitas telah berkembang menjadi salah satu hak yang harus dilindungi, terutama ketika menyangkut kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi. Sekarang, jika Anda ingin menjual film melalui distributor asing, besar kemungkinan akan ditanya: “Apakah Anda punya publicity right dari artis utama film Anda?” Maka Anda harus menunjukkan surat tersebut dari si artis atau kontrak yang di dalamnya termaktub soal “hak publisitas” itu.

Jadi harus dibedakan antara publikasi sebagai eksposure di media massa yang selama ini kita kenal, dengan publisitas sebagai hak yang bernilai ekonomi. Sebagai hak, dalam arti tertentu, publisitas dapat digambarkan sebagai hak eksploitatif yang mirip dengan hak cipta dan merek dagang, di mana seorang individu mempertahankan hak untuk mengeksploitasi nilai ekonomi dari kepribadiannya.

Dengan kata lain, hak publisitas (right of publicity) merujuk pada hak hukum individu untuk mengendalikan penggunaan komersial dari namanya, gambar, wajah, suara, dan ciri-ciri lainnya yang mengidentifikasi dirinya. Hak ini memungkinkan individu untuk mencegah orang lain menggunakan identitas pribadinya untuk tujuan komersial tanpa izin mereka.

Hak publisitas biasanya dikaitkan dengan selebriti dan tokoh publik, tetapi juga dapat berlaku untuk individu biasa. Hak ini diakui oleh banyak negara mirip seperti kekayaan intelektual dan dilindungi oleh hukum dan peraturan.

Di Amerika Serikat, hak publisitas diakui secara bervariasi dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya. Beberapa negara bagian memiliki perlindungan yang kuat untuk hak ini, sedangkan yang lain memiliki perlindungan yang lebih lemah atau tidak ada undang-undang khusus. Hak publisitas sering digunakan dalam kasus yang melibatkan penggunaan tidak sah dari nama atau gambar seseorang dalam iklan, penggunaan merek dagang, atau aktivitas komersial lainnya tanpa izin mereka.

Sekarang apa yang dimaksud dengan privasi? Sebagai sebuah hak, hal ini sudah lama menjadi bahan diskusi di dalam ruang-ruang sidang pengadilan di Inggris dan kemudian di Amerika Serikat. Hingga kemudian Samuel Warren dan Louis Brandeis menulis konsepsi hukum hak atas privasi dalam Harvard Law Review Vol. IV, 15 Desember 1890.

Tulisan dengan judul “The Right to Privacy” inilah yang pertama kali merumuskan hak atas privasi sebagai sebuah hak hukum. Tulisan ini muncul ketika koran‐koran mulai mencetak gambar orang untuk pertama kalinya. Menurut Jay Shanker, David E. Guinn, Harold Orenstein dalam Entertainment Law & Business, tulisan kedua orang itu sangat berpengaruh dalam sejarah hukum privasi.

Warren dan Brandeis mendefinisikan hak atas privasi sebagai “hak untuk dibiarkan sendiri” (the right to be let alone). Definisi mereka didasarkan pada kehormatan pribadi dan nilai‐nilai seperti martabat individu, otonomi, dan kemandirian pribadi. Gagasan ini kemudian mendapatkan pengakuan dengan adanya beberapa gugatan hukum yang kemudian memberikan pembenaran tentang perlunya perlindungan hak atas privasi, terutama dengan sandaran alasan moralitas.

Konon, gagasan dua orang pengacara Boston ini sebenarnya berangkat dari ide yang dicetuskan oleh hakim Thomas Cooley, yang menulis Treatise on the Law of Torts (1880), yang memperkenalkan pertama kali istilah “hak untuk dibiarkan sendiri” tadi.

Di Amerika Serikat, negara bagian pertama yang menghadapi sengketa adanya hak privasi adalah New York dalam kasus Robertson versus Rochester Folding-Box Co. Tetapi pengadilan saat itu menolak keberadaan hak semacam itu karena memang belum diatur dalam konstitusi.

Baru kemudian badan legislatif New York memberlakukan undang-undang yang menjadikannya sebagai pelanggaran ringan, misalnya dalam hal pelanggaran untuk menggunakan nama, potret, atau gambar seseorang untuk tujuan periklanan atau perdagangan tanpa izin tertulis sebelumnya.

Tiga tahun setelah pengadilan New York menolak keberadaan hak privasi itu, pengadilan Georgia dalam kasus Pavesich versus New England Life Ins. Co. menerima argumen yang ditulis Warren-Brandeis dan mengakui hak privasi. Ini menjadi kasus hak privasi terkemuka, dan sejak saat itu satu demi satu negara bagian di Amerika Serikat mulai mengakui perlunya perlindungan privasi seseorang.

Melanjutkan konsep yang sudah dibangun oleh Warren dan Brandeis, William L. Prosser mencoba memerinci cakupan hak privasi seseorang, dengan merujuk pada empat bentuk gangguan terhadap pribadi seseorang, yakni: (a) Gangguan terhadap tindakan seseorang yang mengasingkan diri atau menyendiri, atau gangguan terhadap relasi pribadinya; (b) Pengungkapan fakta‐fakta pribadi yang memalukan secara publik; (c) Publisitas yang menempatkan seseorang secara keliru di hadapan publik; dan (d) Penguasaan tanpa izin atas kemiripan seseorang untuk keuntungan orang lain.

Selanjutnya Julie Innes (1992) mendefinisikan privasi sebagai suatu kondisi ketika seseorang memiliki kontrol atas ranah keputusan privat mereka, yang mencakup keputusan atas akses privat, informasi privat, dan tindakan privat. Lalu Solove (2008) menjelaskan bahwa konteks privasi meliputi: keluarga, tubuh, jenis kelamin, rumah, komunikasi, dan informasi pribadi seseorang.

Intinya, saat ini privasi telah menjadi hak dasar manusia yang sangat penting karena menyangkut otonomi seseorang dan telah dilindungi oleh hak asasi manusia. Maka ia menjadi salah satu cara penting untuk melindungi seseorang dari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, dengan cara mengurangi apa saja yang boleh diketahui orang lain..

Dalam bahasa yang lebih populer, privasi merupakan hak individu untuk mempertahankan kehidupan pribadi mereka dan mencegah akses atau pengungkapan informasi tentang diri mereka oleh orang lain. Hal ini meliputi informasi pribadi seperti identitas, data kontak, aktivitas online, dan rahasia lainnya. Privasi juga melindungi individu dari pengintaian yang tidak sah atau pengawasan oleh pihak lain.

Privasi juga sangat penting untuk menjaga kebebasan individu serta untuk mencegah penyalahgunaan informasi. Dalam era digital dan teknologi informasi saat ini, privasi telah menjadi semakin penting karena banyak informasi pribadi dapat dengan mudah ditemukan dan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk melindungi privasi mereka secara aktif dan mengambil tindakan untuk membatasi akses informasi pribadi mereka. Tindakan aktif itu, misalnya, dengan tidak sembarangan membuka kiriman link dari pihak yang tidak kita kenal berupa undangan pernikahan atau seakan ada kiriman paket,yang ternyata adalah peretasan handphone.

Salah satu wujud privasi adalah data pribadi. Ingat kasus Denny Siregar yang ramai pada 2021? Pegiat media sosial itu bahkan sempat mengajukan gugatan reami ke pengadilan Jakarta Selatam. Denny tidak terima beberapa data pribadinya dibocorkan ke publik melalui akun twitter @Opposite6891. Dalam unggahannya akun tersebut membocorkan antara lain nama, alamat, NIK, KK, IMEI, OS, hingga jenis perangkat yang digunakan Denny.

Hal itu terjadi akibat ulah salah seorang oknum karyawan Telkomsel. Denny lalu menggugat Telkomsel sebesar 1 (satu) trilyun. Denny menyayangkan hal tersebut bisa terjadi dan mengkhawatirkan kalau hal itu bisa dialami oleh jutaaan pelanggan Telkomsel yang lain. Bagaimana pula kalau data-data itu jatuh ke tangan teroris, katanya.

Akhirnya, meski publisitas dan privasi seperti terlihat bertentangan, keduanya penting untuk hak-hak individu. Seorang artis mungkin memilih untuk mempromosikan citra publik mereka dan memanfaatkan hak publisitas mereka. Tetapi mereka juga memiliki hak untuk mengendalikan akses ke informasi pribadi mereka dan melindungi privasinya.

Kesimpulannya, publisitas adalah hak individu untuk memanfaatkan citra publik mereka, sedangkan privasi adalah hak individu untuk mengendalikan akses ke informasi pribadi mereka. Keduanya penting untuk melindungi hak-hak individu terhadap identitas dan informasi pribadi mereka. Jadi, buat para jurnalis atau pegiat media sosial pada umumnya: waspadalah... waspadalah.
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2355 seconds (0.1#10.140)