Mengapa LHKPN Dipersoalkan?
Senin, 13 Maret 2023 - 10:31 WIB
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Nomenklatur LHKPN atau Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara akhir- akhir ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat, termasuk oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). LHKPN telah dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28/1999 dan diberlakukan mulai 19 Mei 2009 atau 14 tahun yang lalu.
Keriuhan ini bermula ketika seorang anak pejabat pajak pamer kemewahan mengendarai sepeda motor gede yang kemudian memicu kemarahan publik. Marah bukan pada motor gedenya, tetapi tindakan anak pejabat itu menganiaya seorang remaja dengan sadis. Peristiwa tersebut menimbulkan syak wasangka di masyarakat kepada ayah anak tersebut yang tak lain pegawai pajak. Harta kekayaan si ayah pun diungkit-ungkit.
Berangkat dari peristiwa tersebut dan kecurigaan masyarakat atas harta kekayaan pejabat pajak itu, muncul keingintahuan masyarakat mengenai LHKPN. Pada laporan tersebut diketahui bahwa pejabat itu memiliki harta Rp56 miliar. Tak berhenti di situ, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun turut merespons. Lembaga ini menengarai ada transaksi janggal dari pejabat pajak yang jumlahnya besar dari yang sudah dilaporkan. Nilainya dianggap fantastis bagi seorang penyelenggara negara eselon III.
Selain pejabat pajak, pengungkapan ke harta kekayaan pejabat juga merembet ke pejabat lain di Direktorat Jenderal Bea danCukai. Kali ini menyasar mantan kepala Kantor Bea Cukai Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelusuran lebih jauh oleh PPATK mengungkapkan terdapat kurang lebih Rp300 triliun dari transaksi mencurigakan di Kemenkeu yang kini tengah diklarifikasi Irjen Kemenkeu.
Uraian terkait LHKPN menunjukkan bahwa masalah LHKPN di Kemenkeu merupakan “puncak gunung es” dari kesengajaan para fiscus dan petugas Bea dan Cukai untuk melaksanakan kewajiban melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditegaskan di dalam UU tentang Penyelenggara Negara.
Skandal pelanggaran pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara tidak akan terjadi hari ini jika KPK segera melakukan klarifikasi terhadap pegawai Kemenkeu yang dinilai bermasalah LHKPN-nya.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Nomenklatur LHKPN atau Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara akhir- akhir ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat, termasuk oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). LHKPN telah dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28/1999 dan diberlakukan mulai 19 Mei 2009 atau 14 tahun yang lalu.
Keriuhan ini bermula ketika seorang anak pejabat pajak pamer kemewahan mengendarai sepeda motor gede yang kemudian memicu kemarahan publik. Marah bukan pada motor gedenya, tetapi tindakan anak pejabat itu menganiaya seorang remaja dengan sadis. Peristiwa tersebut menimbulkan syak wasangka di masyarakat kepada ayah anak tersebut yang tak lain pegawai pajak. Harta kekayaan si ayah pun diungkit-ungkit.
Berangkat dari peristiwa tersebut dan kecurigaan masyarakat atas harta kekayaan pejabat pajak itu, muncul keingintahuan masyarakat mengenai LHKPN. Pada laporan tersebut diketahui bahwa pejabat itu memiliki harta Rp56 miliar. Tak berhenti di situ, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun turut merespons. Lembaga ini menengarai ada transaksi janggal dari pejabat pajak yang jumlahnya besar dari yang sudah dilaporkan. Nilainya dianggap fantastis bagi seorang penyelenggara negara eselon III.
Selain pejabat pajak, pengungkapan ke harta kekayaan pejabat juga merembet ke pejabat lain di Direktorat Jenderal Bea danCukai. Kali ini menyasar mantan kepala Kantor Bea Cukai Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelusuran lebih jauh oleh PPATK mengungkapkan terdapat kurang lebih Rp300 triliun dari transaksi mencurigakan di Kemenkeu yang kini tengah diklarifikasi Irjen Kemenkeu.
Uraian terkait LHKPN menunjukkan bahwa masalah LHKPN di Kemenkeu merupakan “puncak gunung es” dari kesengajaan para fiscus dan petugas Bea dan Cukai untuk melaksanakan kewajiban melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditegaskan di dalam UU tentang Penyelenggara Negara.
Skandal pelanggaran pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara tidak akan terjadi hari ini jika KPK segera melakukan klarifikasi terhadap pegawai Kemenkeu yang dinilai bermasalah LHKPN-nya.
tulis komentar anda