Pusat Studi IPB Sebut RUU Cipta Kerja Memundurkan Reforma Agraria

Jum'at, 17 Juli 2020 - 16:55 WIB
Foto/ilustrasi.SINDOnews
JAKARTA - Di tengah upaya pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja , kritik terhadap omnibus law yang dianggap terlalu pro-investasi itu terus berdatangan. Salah satunya berkaitan dengan perlindungan negara terhadap kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Akademisi Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) Rina Mardiana, mengatakan paradigma beleid sapu jagat tersebut hanya menguatkan pada pertumbuhan ekonomi. Ironisnya lagi, soal pengadaan tanah atau reforma agraria tidak tercantum di dalamnya, termasuk bank tanah dan lainnya.

Omnibus law ini ternyata ada 86,5 persennya itu soal perizinan, kemudahan berusaha, dan investasi. Sementara, berkaitan dengan orang, subjek agraria atau ketenagakerjaan itu sangat sedikit. Hanya lima pasal saja di dalamnya,” papar Rina dalam seminar daring, Jumat (17/7/2020).

(Baca: PP Muhammadiyah: RUU Ciptaker Rapuh dan Melawan Moral Konstitusi)



Menurutnya, semua aturan itu tujuannya terkoneksi secara global dan bukan hal yang baru. Sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah terlihat dan sangat sektoral mengenai pertumbuhan ekonomi dan investasi yang juga muncul dalam master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) periode 2011-2025.

Padahal reforma agraria, lanjut Rina, adalah masalah relasi subjek dan objek agraria. Begitu juga soal transmigrasi yang belum tuntas. Selain itu, RUU Ciptaker juga diduga akan menciptakan sistem perburuhan yang tidak berdaulat atas negeri sendiri.

(Baca: Soal Pendidikan Tinggi, Ini Kritik Guru Besar IPB terhadap RUU Cipta Kerja)

Adapun objek reforma agraria yang harus dikelola mencakup tanah bekas hak guna usaha (HGU) dan HGU yang sudah habis. Kemudian, tanah terlantar, penyelesaian sengketa dan konflik, penyelesaian dualisme kewenangan teritorial Indonesia baik kawasan hutan maupun non-kawasan hutan, serta penyelesaian masalah tanah negara.

“Misalnya, sekarang itu KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) mengklaim laut sebagai wilayah sektoralnya. Kawasan hutan masuk KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), sedangkan non kawasan hutan itu ada di ATR (Kementerian Agraria dan Tata Ruang). Ini kan harus dibenahi karena bagian dari tata kelola sumber daya alam,” katanya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More