Prinsip Show Don’t Tell (SDT) dalam Sinetron di Indonesia
Minggu, 19 Februari 2023 - 11:04 WIB
Seringkali digambarkan dalam sinetron Indonesia, semisal saat tokoh A terkejut saat bertemu tokoh B, keterkejutannya digambarkan dalam jeda yang terlampau panjang. Sama seperti penjelasan nomor 3, hal ini juga melanggar prinsip SDT dan plausibilitas cerita realis.
5. Iklan terang-terangan dalam adegan
Pelanggaran terhadap prinsip SDT juga terjadi dengan masuknya iklan dengan cara yang vulgar. Tiba-tiba saja dalam adegan sinetron ada semacam videotron berlayar lebar dengan muatan iklan produk sponsor di dalamnya.
Yang lebih parah, kadang produk yang diiklankan jadi bagian dari dialog tokoh-tokoh sinetron, seperti tiba-tiba saja dua tokoh dalam sinetron membicarakan betapa enaknya sebuah produk makanan ringan dalam durasi yang cukup lama, sebelum “kembali” ke pusaran cerita.
Iklan seharusnya disisipkan secara halus, seperti misalkan penonton film James Bond cukup sekilas saja melihat merek jam tangan yang dikenakan agen 007 tersebut sudah jadi iklan yang efektif tanpa mengganggu kenikmatan penontonnya.
Selain pelanggaran prinsip penceritaan SDT sesungguhnya masih banyak lagi poin kelemahan sinetron Indonesia, seperti akting pemain yang tidak natural, waktu penayangan setiap hari dan jumlah episode yang terlalu banyak (sampai ratusan) yang kemudian menyebabkan alur cerita jadi semakin melebar dan mengada-ada dan pada akhirnya membuat penonton jenuh, alur cerita yang menjiplak drama Korea atau Barat dsb.
Jika kelemahan-kelemahan tersebut tidak dibenahi, sinetron Indonesia akan semakin ditinggalkan penontonnya dan tidak bisa diharapkan untuk ikut menyumbang penghasilan di sektor parekraf Indonesia sebagaimana yang telah dilakukan produk-produk ekonomi kreatif yang lain.
5. Iklan terang-terangan dalam adegan
Pelanggaran terhadap prinsip SDT juga terjadi dengan masuknya iklan dengan cara yang vulgar. Tiba-tiba saja dalam adegan sinetron ada semacam videotron berlayar lebar dengan muatan iklan produk sponsor di dalamnya.
Yang lebih parah, kadang produk yang diiklankan jadi bagian dari dialog tokoh-tokoh sinetron, seperti tiba-tiba saja dua tokoh dalam sinetron membicarakan betapa enaknya sebuah produk makanan ringan dalam durasi yang cukup lama, sebelum “kembali” ke pusaran cerita.
Iklan seharusnya disisipkan secara halus, seperti misalkan penonton film James Bond cukup sekilas saja melihat merek jam tangan yang dikenakan agen 007 tersebut sudah jadi iklan yang efektif tanpa mengganggu kenikmatan penontonnya.
Selain pelanggaran prinsip penceritaan SDT sesungguhnya masih banyak lagi poin kelemahan sinetron Indonesia, seperti akting pemain yang tidak natural, waktu penayangan setiap hari dan jumlah episode yang terlalu banyak (sampai ratusan) yang kemudian menyebabkan alur cerita jadi semakin melebar dan mengada-ada dan pada akhirnya membuat penonton jenuh, alur cerita yang menjiplak drama Korea atau Barat dsb.
Jika kelemahan-kelemahan tersebut tidak dibenahi, sinetron Indonesia akan semakin ditinggalkan penontonnya dan tidak bisa diharapkan untuk ikut menyumbang penghasilan di sektor parekraf Indonesia sebagaimana yang telah dilakukan produk-produk ekonomi kreatif yang lain.
(maf)
tulis komentar anda