Optimasi Pemanfaatan Gas Nasional
A
A
A
MARWAN BATUBARA
Direktur Eksekutif IRESS
Peranan minyak bumi sebagai sumber energi secara perlahan mulai diimbangi oleh gas bumi. Pada 2025, kontribusi gas ditargetkan mencapai 30% dalam bauran energi nasional.
Namun, pada saat yang sama, cadangan minyak diperkirakan semakin berkurang dan akhirnya habis pada 2030 jika tidak ditemukan cadangan baru. Dewan Energi Nasional (DEN) memprediksi pada 2020, defisit energi semakin membengkak hingga membuat Indonesia tak mampu lagi memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Indonesia akan lebih banyak mengimpor kebutuhan energinya, termasuk gas, dan kondisi ini sudah pasti mengancam ketahanan energi nasional.
Memperhatikan kondisi di atas, maka Indonesia memerlukan strategi pengembangan energi dan mereformasi tata kelola migas. Ketika peran gas dalam bauran energi nasional akan ditingkatkan, tata kelola gas harus diperbaiki. Saat ini dampak negatif liberalisasi sektor gas nasional telah semakin terasa dengan tidak tersedianya pasokan, belum terbangunnya infrastruktur, mahalnya harga gas, dll.
Selain itu, berbagai ketentuan yang ada dalam UU Migas No.22/2001 yang berlaku saat ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh sebab itu, tata kelola gas nasional harus diperbaiki melalui perbaikan berbagai peraturan yang berlaku saat ini maupun melalui pembentukan UU Migas yang baru. Pertama, pemanfaatan gas bumi seharusnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Pada kontrakkontrak ekspor gas yang telah telanjur ditandatangani, sedapat mungkin volume gasnya dikurangi atau dibatalkan sama sekali. Menurut Plt. Dirjen Migas IGN Wiratmaja Puja di Bogor 4/3/2015), kebutuhan gas pada 2019 akan mencapai 11.049 (juta kaki kubik per hari, MMSCFD), meningkat dari 9.668 MMSCFD pada saat ini. Wiratmaja mengatakan jika ekspor gas tetap berlangsung maka kebutuhan 2019 tersebut harus dipenuhi melalui impor gas.
Pusat Energi UU memperkirakan, dalam skenario kebutuhan gas business as usual dan ekspor berjalan normal, maka sekitar 47% kebutuhan gas nasional (4214 MMSCFD) pada 2025 harus dipenuhi melalui impor! Pada 2012, pemanfaatan gas nasional mencapai 7181 MMSCFD sedangkan pada 2013 mencapai 6870 MMSCFD, serta pada 2014 mencapai 7008 MMSCFD.
Seperti diuraikan di atas pada 2019, kebutuhan akan mencapai 11.049 MMSCFD, saat Indonesia mulai mengalami defisit gas. Kebutuhan menjadi sekitar 13.000 MMSCFD pada 2025. Produksi puncak gas nasional akan terjadi pada 2016-2019, saat lapangan-lapangan IDD Kalimantan Timur, Masela dan LNG Tangguh 3 berproduksi. Setelah itu, meskipun lapangan Natuna Timur mulai berproduksi pada 2023-2025, produksi gas nasional selalu defisit terhadap kebutuhan.
Itulah sebabnya pengurangan atau pembatalan ekspor gas mutlak dilakukan. Kedua, perbaikan tata kelola gas harus diakukan guna mendukung ketahanan dan kemandirian energi serta pembangunan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, pemerintah harus konsisten menjalankan paradigma yang mendasari tata kelola gas nasional, yakni menjadikan gas bumi sebagai modal pembangunan.
Paradigma yang menjadikan gas sebagai komoditas penghasil penerimaan negara, terutama melalui ekspor gas, harus segara dihilangkan. Gas bumi seharusnya berperan sebagai energi untuk mendukung industri dan bahan baku (feedstock) untuk menghasilkan produk-produk turunan bernilai tambah tinggi.
Paradigma pengelolaan ini harus dijalankan konsisten dengan rencana penghilangan ekspor gas yang dilakukan bukan karena keberlimpahan gas, tapi karena kebutuhan pendapatan negara dan keterbatasan infrastruktur domestik. Ketiga, pemanfaatan gas harus didasarkan pada optimasi penggunaan yang terdapat pada berbagai sektor. Urutan prioritas yang berlaku saat ini adalah seperti yang diatur dalam Pasal 6 Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2010 tentang Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Permen tersebut mengatur, urutan prioritas pemanfaatan gas adalah untuk peningkatan produksi minyak, industri pupuk, penyediaan tenaga listrik dan industri lainnya. Prioritas pemanfaatan gas tersebut harus diubah dengan menerapkan prioritas alokasi pemanfaatan optimal yang memberikan nilai tambah tertinggi.
Konsep optimasi ini pun sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) sampai 2050, di mana gas diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi baik sebagai bahan bakar maupun sebagai bahan baku industri. Salahsatuwujudoptimasialokasi pemanfaatan gas yang optimal adalah memberi porsi lebih besar bagi sektor industri.
Gas sebagai bahan baku memiliki industri turunan yang luas, memberikan kontribusi 6x lebih besar dari pada industri migas dan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Pada PDB 2012, industri migas hanya berkontribusi sebesar 3,1%, sedangkan industri nonmigas 20,9%. Pada 2013, kontribusiindustrimigassebesar 2,9%, sedangkan industri nonmigas 20,8%. Berdasarkan data INDEF (2012), penggunaan gas terbanyak terdapat pada industri pupuk, petrokimia dan barang dari karet.
Pemakaian energi gas pada kelompok industri ini mencapai 66,98%. Sedangkan untuk industri pupuk, gas digunakansebagaibahanbakuhingga 90% dalam proses produksinya. Keempat, guna menjamin tersalurkannya gas ke sektor industri, pemerintah harus menjamin alokasi gas yang cukup, sarana pipa yang tersedia, dan harga yang kompetitif.
Secara umum, sektor industri masih banyak yang merasa kesulitan untuk mendapatkan pasokan gas sebagai sumber energi, karena lebih mahal dibandingkan batubara. Hal ini disebabkan pasokan diperoleh dengan biaya yang relatif tinggi dan untuk mendapatkannya pun relatif sulit. Masalah alokasi gas sektor industri terlihat dari realisasi pemenuhan kebutuhan gas.
Data dari Forum Industri Pengguna Gas Bumi menyebutkan pada 2011 kebutuhannya 2.767,32 MMSCFD dan terpenuhi hanya sekitar 83%. Hal yang sama berulang pada 2012 dan 2013, sehingga daya saing industri manufaktur domestik menurun. Kelima, guna menjamin alokasi gas kepada konsumen, termasuk pada sektor listrik dan industri pupuk, maka pemerintah harus memberikan peran yang dominan kepada BUMN untuk distribusi dan niaga gas nasional.
Dalam hal ini, pemerintah pun harus menghilangkan proses tender alokasi gas saat lapangan akan dikembangkan. Melalui dominasi BUMN, pemerintah dapat terlibat untuk menentukan harga dan alokasi gas yang dibutuhkan pun terjamin. Sejalan dengan pemberian hak khusus pada BUMN, pemerintah pun harus mengurangi atau menghilangkan peran badan usaha swasta yang tidak mempunyai infrastruktur atau yang hanya berperan sebagai broker.
Keenam, dalam kondisi memaksa pemerintah dapat mengatur keterlibatan swasta terbatas dalam pembangunan infrastruktur, bukan dalam memperoleh alokasi gas untuk dijual kepada konsumen. Namun, keterlibatan swasta tersebut harus dilakukan melalui kerja sama sesuai skema business-tobusiness dengan BUMN.
Dalam hal alokasi dan niaga gas yang telah terlanjur diberikan kepada badan usaha, pemerintah perlu melakukan pengaturan masa transisi, untuk kemudian dikoreksi guna memenuhi kebutuhan dominasi pengelolaan oleh BUMN sesuai UUD 1945. Berbagai usulan yang diuraikan di atas dapat segera diterapkan pada peraturan yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM, di mana pembahasannya telah dimulai sejak 2013.
Selanjutnya, berbagai ketentuan penting dalam usulan tersebut harus pula dimasukkan dalam RUU Migas yang diharapkan selesai pada 2015. Dengan begitu, berbagai permasalahan dalam alokasi dan pemanfaatan gas nasional yang terjadi selama ini dapat diatasi, dan konsumen pun dapat menikmati pasokan gas tanpa kendala pada harga yang wajar dan kompetitif.
Direktur Eksekutif IRESS
Peranan minyak bumi sebagai sumber energi secara perlahan mulai diimbangi oleh gas bumi. Pada 2025, kontribusi gas ditargetkan mencapai 30% dalam bauran energi nasional.
Namun, pada saat yang sama, cadangan minyak diperkirakan semakin berkurang dan akhirnya habis pada 2030 jika tidak ditemukan cadangan baru. Dewan Energi Nasional (DEN) memprediksi pada 2020, defisit energi semakin membengkak hingga membuat Indonesia tak mampu lagi memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Indonesia akan lebih banyak mengimpor kebutuhan energinya, termasuk gas, dan kondisi ini sudah pasti mengancam ketahanan energi nasional.
Memperhatikan kondisi di atas, maka Indonesia memerlukan strategi pengembangan energi dan mereformasi tata kelola migas. Ketika peran gas dalam bauran energi nasional akan ditingkatkan, tata kelola gas harus diperbaiki. Saat ini dampak negatif liberalisasi sektor gas nasional telah semakin terasa dengan tidak tersedianya pasokan, belum terbangunnya infrastruktur, mahalnya harga gas, dll.
Selain itu, berbagai ketentuan yang ada dalam UU Migas No.22/2001 yang berlaku saat ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh sebab itu, tata kelola gas nasional harus diperbaiki melalui perbaikan berbagai peraturan yang berlaku saat ini maupun melalui pembentukan UU Migas yang baru. Pertama, pemanfaatan gas bumi seharusnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Pada kontrakkontrak ekspor gas yang telah telanjur ditandatangani, sedapat mungkin volume gasnya dikurangi atau dibatalkan sama sekali. Menurut Plt. Dirjen Migas IGN Wiratmaja Puja di Bogor 4/3/2015), kebutuhan gas pada 2019 akan mencapai 11.049 (juta kaki kubik per hari, MMSCFD), meningkat dari 9.668 MMSCFD pada saat ini. Wiratmaja mengatakan jika ekspor gas tetap berlangsung maka kebutuhan 2019 tersebut harus dipenuhi melalui impor gas.
Pusat Energi UU memperkirakan, dalam skenario kebutuhan gas business as usual dan ekspor berjalan normal, maka sekitar 47% kebutuhan gas nasional (4214 MMSCFD) pada 2025 harus dipenuhi melalui impor! Pada 2012, pemanfaatan gas nasional mencapai 7181 MMSCFD sedangkan pada 2013 mencapai 6870 MMSCFD, serta pada 2014 mencapai 7008 MMSCFD.
Seperti diuraikan di atas pada 2019, kebutuhan akan mencapai 11.049 MMSCFD, saat Indonesia mulai mengalami defisit gas. Kebutuhan menjadi sekitar 13.000 MMSCFD pada 2025. Produksi puncak gas nasional akan terjadi pada 2016-2019, saat lapangan-lapangan IDD Kalimantan Timur, Masela dan LNG Tangguh 3 berproduksi. Setelah itu, meskipun lapangan Natuna Timur mulai berproduksi pada 2023-2025, produksi gas nasional selalu defisit terhadap kebutuhan.
Itulah sebabnya pengurangan atau pembatalan ekspor gas mutlak dilakukan. Kedua, perbaikan tata kelola gas harus diakukan guna mendukung ketahanan dan kemandirian energi serta pembangunan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, pemerintah harus konsisten menjalankan paradigma yang mendasari tata kelola gas nasional, yakni menjadikan gas bumi sebagai modal pembangunan.
Paradigma yang menjadikan gas sebagai komoditas penghasil penerimaan negara, terutama melalui ekspor gas, harus segara dihilangkan. Gas bumi seharusnya berperan sebagai energi untuk mendukung industri dan bahan baku (feedstock) untuk menghasilkan produk-produk turunan bernilai tambah tinggi.
Paradigma pengelolaan ini harus dijalankan konsisten dengan rencana penghilangan ekspor gas yang dilakukan bukan karena keberlimpahan gas, tapi karena kebutuhan pendapatan negara dan keterbatasan infrastruktur domestik. Ketiga, pemanfaatan gas harus didasarkan pada optimasi penggunaan yang terdapat pada berbagai sektor. Urutan prioritas yang berlaku saat ini adalah seperti yang diatur dalam Pasal 6 Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2010 tentang Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Permen tersebut mengatur, urutan prioritas pemanfaatan gas adalah untuk peningkatan produksi minyak, industri pupuk, penyediaan tenaga listrik dan industri lainnya. Prioritas pemanfaatan gas tersebut harus diubah dengan menerapkan prioritas alokasi pemanfaatan optimal yang memberikan nilai tambah tertinggi.
Konsep optimasi ini pun sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) sampai 2050, di mana gas diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi baik sebagai bahan bakar maupun sebagai bahan baku industri. Salahsatuwujudoptimasialokasi pemanfaatan gas yang optimal adalah memberi porsi lebih besar bagi sektor industri.
Gas sebagai bahan baku memiliki industri turunan yang luas, memberikan kontribusi 6x lebih besar dari pada industri migas dan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Pada PDB 2012, industri migas hanya berkontribusi sebesar 3,1%, sedangkan industri nonmigas 20,9%. Pada 2013, kontribusiindustrimigassebesar 2,9%, sedangkan industri nonmigas 20,8%. Berdasarkan data INDEF (2012), penggunaan gas terbanyak terdapat pada industri pupuk, petrokimia dan barang dari karet.
Pemakaian energi gas pada kelompok industri ini mencapai 66,98%. Sedangkan untuk industri pupuk, gas digunakansebagaibahanbakuhingga 90% dalam proses produksinya. Keempat, guna menjamin tersalurkannya gas ke sektor industri, pemerintah harus menjamin alokasi gas yang cukup, sarana pipa yang tersedia, dan harga yang kompetitif.
Secara umum, sektor industri masih banyak yang merasa kesulitan untuk mendapatkan pasokan gas sebagai sumber energi, karena lebih mahal dibandingkan batubara. Hal ini disebabkan pasokan diperoleh dengan biaya yang relatif tinggi dan untuk mendapatkannya pun relatif sulit. Masalah alokasi gas sektor industri terlihat dari realisasi pemenuhan kebutuhan gas.
Data dari Forum Industri Pengguna Gas Bumi menyebutkan pada 2011 kebutuhannya 2.767,32 MMSCFD dan terpenuhi hanya sekitar 83%. Hal yang sama berulang pada 2012 dan 2013, sehingga daya saing industri manufaktur domestik menurun. Kelima, guna menjamin alokasi gas kepada konsumen, termasuk pada sektor listrik dan industri pupuk, maka pemerintah harus memberikan peran yang dominan kepada BUMN untuk distribusi dan niaga gas nasional.
Dalam hal ini, pemerintah pun harus menghilangkan proses tender alokasi gas saat lapangan akan dikembangkan. Melalui dominasi BUMN, pemerintah dapat terlibat untuk menentukan harga dan alokasi gas yang dibutuhkan pun terjamin. Sejalan dengan pemberian hak khusus pada BUMN, pemerintah pun harus mengurangi atau menghilangkan peran badan usaha swasta yang tidak mempunyai infrastruktur atau yang hanya berperan sebagai broker.
Keenam, dalam kondisi memaksa pemerintah dapat mengatur keterlibatan swasta terbatas dalam pembangunan infrastruktur, bukan dalam memperoleh alokasi gas untuk dijual kepada konsumen. Namun, keterlibatan swasta tersebut harus dilakukan melalui kerja sama sesuai skema business-tobusiness dengan BUMN.
Dalam hal alokasi dan niaga gas yang telah terlanjur diberikan kepada badan usaha, pemerintah perlu melakukan pengaturan masa transisi, untuk kemudian dikoreksi guna memenuhi kebutuhan dominasi pengelolaan oleh BUMN sesuai UUD 1945. Berbagai usulan yang diuraikan di atas dapat segera diterapkan pada peraturan yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM, di mana pembahasannya telah dimulai sejak 2013.
Selanjutnya, berbagai ketentuan penting dalam usulan tersebut harus pula dimasukkan dalam RUU Migas yang diharapkan selesai pada 2015. Dengan begitu, berbagai permasalahan dalam alokasi dan pemanfaatan gas nasional yang terjadi selama ini dapat diatasi, dan konsumen pun dapat menikmati pasokan gas tanpa kendala pada harga yang wajar dan kompetitif.
(bbg)