Keraton Yogyakarta
A
A
A
Sudah sepekan terakhir, Keraton Yogyakarta menjadi topik hangat pemberitaan media massa. Sang Raja, Sri Sultan Hamengku Buwono X, telah mengeluarkan sabda yang membuat adik-adiknya, para pangeran keluarga Kerajaan Mataram tersebut, panas dingin.
Sultan membuat sabda raja yang di antaranya berisi pergantian nama dirinya dari Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh (X) dan membuang gelar kalifatullah. Penggantian nama dan penghilangan gelar ini diartikan sebagai sinyal dari Sri Sultan untuk menunjuk putri pertamanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai calon penggantinya.
Sinyal ini dipertegas dengan penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Ini berarti menjadi Pembayun diangkat menjadi putri mahkota. Perdebatan panjang pun hingga kini masih terjadi. Adik-adik Sultan masih tidak bisa menerima dan mengakui sabda raja itu.
Bahkan, mereka secara tegas mengatakan pergantian nama Sri Sultan, penghapusan gelar kalifatullah, dan pergantian nama GKR Pembayun adalah tindakan yang melanggar paugeran atau tatanan yang selama ini dijadikan pedoman keluarga Keraton Yogyakarta. Suksesi Keraton Yogyakarta sejak lama menjadi perdebatan karena Sri Sultan tidak memiliki anak laki-laki.
Telah menjadi kebiasaan yang berlangsung lama bahwa seorang raja akan mewariskan takhtanya kepada anak laki-laki. Masalah muncul karena semua anak Sri Sultan perempuan, sehingga yang berkembang jika raja tidak memiliki anak laki-laki, takhta akan diberikan kepada adik laki-lakinya. Tidak hanya di Yogyakarta, beberapa kerajaan Islam di negara lain pun menganut paham yang sama bahwa raja atau pemimpin adalah laki-laki.
Raja perempuan dianggap masih menjadi hal yang tidak lazim sehingga patut dihindari. Sri Sultan memahami benar konteks itu sebelum mengeluarkan sabda raja yang mengundang pro-kontra itu. Sebagai raja yang bertakhta sejak 1989, Sultan sangat siap menghadapi gejolak yang sudah dia perkirakan. Karena Sri Sultan tidak hanya seorang raja, tapi juga seorang gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), langkah-langkah Sultan sedikit banyak akan berpengaruh terhadap stabilitas rakyat Yogyakarta.
Dan yang patut kita syukuri hingga saat ini, perdebatan di level elite Keraton ini tidak berimbas pada kehidupan masyarakat Yogyakarta. Keraton Yogyakarta adalah aset Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak ternilai. Keraton telah memberi kontribusi besar pada berdiri tegaknya NKRI sejak zaman penjajahan hingga saat ini maupun di masa-masa mendatang.
Apa yang terjadi di Yogyakarta adalah urusan internal Keraton yang sepatutnya tidak perlu dicampuri pihak luar. Perbedaan pendapat adalah bagian dari dinamika kehidupan Keraton yang sudah sekian lama bersinggungan dan berinteraksi dengan iklim demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Pro-kontra soal suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta adalah bagian dari kekayaan budaya bangsa yang sangat mungkin terjadi di wilayah istimewa lainnya.
Kita yakin para kerabat Keraton adalah orang-orang terpilih yang menjunjung tinggi falsafah Jawa dalam menyelesaikan setiap masalah. Sri Sultan dan kerabat inti Keraton adalah sosok-sosok pemimpin yang kaya pengalaman dan sudah teruji kematangannya. Demikian pula rakyat Yogyakarta yang kita yakini bisa menjadi perekat dalam setiap perbedaan di internal Keraton.
Apa yang terjadi di Yogyakarta adalah hal penting yang patut kita hormati. Dengan pengalaman panjang sebagai politikus, tokoh bangsa, raja sekaligus gubernur, Sri Sultan adalah figur yang sangat dihormati. Dengan demikian, bukanlah hal yang sulit bagi Sultan untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang elegan dan memuaskan semua pihak.
Sultan membuat sabda raja yang di antaranya berisi pergantian nama dirinya dari Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh (X) dan membuang gelar kalifatullah. Penggantian nama dan penghilangan gelar ini diartikan sebagai sinyal dari Sri Sultan untuk menunjuk putri pertamanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai calon penggantinya.
Sinyal ini dipertegas dengan penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Ini berarti menjadi Pembayun diangkat menjadi putri mahkota. Perdebatan panjang pun hingga kini masih terjadi. Adik-adik Sultan masih tidak bisa menerima dan mengakui sabda raja itu.
Bahkan, mereka secara tegas mengatakan pergantian nama Sri Sultan, penghapusan gelar kalifatullah, dan pergantian nama GKR Pembayun adalah tindakan yang melanggar paugeran atau tatanan yang selama ini dijadikan pedoman keluarga Keraton Yogyakarta. Suksesi Keraton Yogyakarta sejak lama menjadi perdebatan karena Sri Sultan tidak memiliki anak laki-laki.
Telah menjadi kebiasaan yang berlangsung lama bahwa seorang raja akan mewariskan takhtanya kepada anak laki-laki. Masalah muncul karena semua anak Sri Sultan perempuan, sehingga yang berkembang jika raja tidak memiliki anak laki-laki, takhta akan diberikan kepada adik laki-lakinya. Tidak hanya di Yogyakarta, beberapa kerajaan Islam di negara lain pun menganut paham yang sama bahwa raja atau pemimpin adalah laki-laki.
Raja perempuan dianggap masih menjadi hal yang tidak lazim sehingga patut dihindari. Sri Sultan memahami benar konteks itu sebelum mengeluarkan sabda raja yang mengundang pro-kontra itu. Sebagai raja yang bertakhta sejak 1989, Sultan sangat siap menghadapi gejolak yang sudah dia perkirakan. Karena Sri Sultan tidak hanya seorang raja, tapi juga seorang gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), langkah-langkah Sultan sedikit banyak akan berpengaruh terhadap stabilitas rakyat Yogyakarta.
Dan yang patut kita syukuri hingga saat ini, perdebatan di level elite Keraton ini tidak berimbas pada kehidupan masyarakat Yogyakarta. Keraton Yogyakarta adalah aset Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak ternilai. Keraton telah memberi kontribusi besar pada berdiri tegaknya NKRI sejak zaman penjajahan hingga saat ini maupun di masa-masa mendatang.
Apa yang terjadi di Yogyakarta adalah urusan internal Keraton yang sepatutnya tidak perlu dicampuri pihak luar. Perbedaan pendapat adalah bagian dari dinamika kehidupan Keraton yang sudah sekian lama bersinggungan dan berinteraksi dengan iklim demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Pro-kontra soal suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta adalah bagian dari kekayaan budaya bangsa yang sangat mungkin terjadi di wilayah istimewa lainnya.
Kita yakin para kerabat Keraton adalah orang-orang terpilih yang menjunjung tinggi falsafah Jawa dalam menyelesaikan setiap masalah. Sri Sultan dan kerabat inti Keraton adalah sosok-sosok pemimpin yang kaya pengalaman dan sudah teruji kematangannya. Demikian pula rakyat Yogyakarta yang kita yakini bisa menjadi perekat dalam setiap perbedaan di internal Keraton.
Apa yang terjadi di Yogyakarta adalah hal penting yang patut kita hormati. Dengan pengalaman panjang sebagai politikus, tokoh bangsa, raja sekaligus gubernur, Sri Sultan adalah figur yang sangat dihormati. Dengan demikian, bukanlah hal yang sulit bagi Sultan untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang elegan dan memuaskan semua pihak.
(bbg)