Reshuffle, Solusi Kinerja Pemerintah?
A
A
A
Isu reshuffle kabinet kembali mengemuka pekan ini. Hal itu terjadi setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) melontarkan wacana perombakan pembantu presiden tersebut untuk meningkatkan kinerja pemerintahan.
Untuk kepentingan itulah dibutuhkan orang-orang yang mempunyai kompetensi. Sudah begitu urgenkah tuntutan reshuffle sehingga baru dalam waktu enam bulan Kabinet Kerja berjalan sudah harus melakukan pergantian menteri? Apakah dengan reshuffle serta-merta kinerja pemerintah bisa mengalami perbaikan hingga target yang sudah dipatok Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) seperti tercantum dalam Nawacita dan Trisakti bisa terwujud?
Pertanyaan pertama bisa dijawab berdasarkan sejumlah fakta tentang merosotnya kinerja pemerintah. Sebelum JK melontarkan wacana reshuffle, survei yang dilakukan sejumlah lembaga, di antaranya Poltracking Indonesia dan Indo Barometer, menunjukkan tingginya ketidakpuasan publik terhadap pemerintah saat ini. Fakta yang juga tak terbantahkan adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 yang hanya mencapai 4,71%.
Angka pertumbuhan ini merupakan yang terburuk sejak enam tahun terakhir. Jika kondisi ini tidak teratasi, target pertumbuhan yang ditetapkan sebesar 5,7% akan meleset. Kondisi tersebut sudah pasti akan memengaruhi target-target lain yang sudah ditetapkan Presiden Jokowi. Jika mengacu pada dua indikator tersebut, reshuffle kabinet merupakan keniscayaan dan harus segera dilakukan.
Jika reshuffle tidak dilakukan dan di sisi lain kinerja pemerintahan semakin mengecewakan, Jokowi akan menghadapi ketidakpercayaan publik dan kehilangan momentum untuk mendorong kinerja pemerintahannya. Namun siapa pun memafhumi bahwa indikator objektif berbasis kinerja bukan satu-satunya tolok ukur perombakan kabinet seperti halnya saat Jokowi membentuk kabinet.
Di luar kompetensi dan kapabilitas, pertarungan kepentingan dan distribusi kekuasaan akan menjadi faktor yang tidak kalah signifikan. Indikasinya sudah nyaring terdengar seiring dengan tekanan kencang yang dilakukan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agar Jokowi me-reshuffle sejumlah nama yang menduduki ring satu Istana. Bahkan rombongan DPD PDIP secara langsung mendatangi Jokowi dan melaporkan sejumlah menteri berkinerja lamban.
Di luar itu, Jokowi pasti tidak akan melepaskan kepentingan subjektifnya untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. JK pun tentu akan memainkan kartu sendiri dan partai lain di luar PDIP juga akan memperjuangkan target individualnya. Begitu juga para relawannya yang ternyata tidak bebas dari kepentingan. Berangkat dari fakta yang ada, ibarat mengurai benang kusut, reshuffle bukanlah hal mudah.
Jokowi sebagai pemegang hak milik harus berani menegakkan orientasi sesungguhnya dari pemerintahan seperti yang dia janjikan dan sebaliknya menegasikan kepentingan subjektifnya, kepentingan partai pendukung, dan para pendukungnya. Dengan demikian, satu-satunya tolok ukur reshuffle adalah kompetensi dan kapabilitas. Jika tidak, akan sebatas omong kosong bahwa reshuffle mampu menjadi solusi anjloknya kinerja dan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebaliknya, Jokowi sebagai pemegang mandat rakyat akan kembali terjerat persoalan lama dan tumpukan masalah akan kian besar tanpa terselesaikan. Waktu enam bulan sudah cukup untuk mengevaluasi sejauh mana kinerja para pembantunya terhadap target pemerintahan yang dicapai dan kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan reshuffle kabinet.
Di sisi lain, sejumlah persoalan yang tidak terselesaikan selama waktu tersebut bisa menjadi bahan proyeksi kandidat seperti apa yang layak masuk dalam kabinet. Apakah bisa demikian
Untuk kepentingan itulah dibutuhkan orang-orang yang mempunyai kompetensi. Sudah begitu urgenkah tuntutan reshuffle sehingga baru dalam waktu enam bulan Kabinet Kerja berjalan sudah harus melakukan pergantian menteri? Apakah dengan reshuffle serta-merta kinerja pemerintah bisa mengalami perbaikan hingga target yang sudah dipatok Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) seperti tercantum dalam Nawacita dan Trisakti bisa terwujud?
Pertanyaan pertama bisa dijawab berdasarkan sejumlah fakta tentang merosotnya kinerja pemerintah. Sebelum JK melontarkan wacana reshuffle, survei yang dilakukan sejumlah lembaga, di antaranya Poltracking Indonesia dan Indo Barometer, menunjukkan tingginya ketidakpuasan publik terhadap pemerintah saat ini. Fakta yang juga tak terbantahkan adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 yang hanya mencapai 4,71%.
Angka pertumbuhan ini merupakan yang terburuk sejak enam tahun terakhir. Jika kondisi ini tidak teratasi, target pertumbuhan yang ditetapkan sebesar 5,7% akan meleset. Kondisi tersebut sudah pasti akan memengaruhi target-target lain yang sudah ditetapkan Presiden Jokowi. Jika mengacu pada dua indikator tersebut, reshuffle kabinet merupakan keniscayaan dan harus segera dilakukan.
Jika reshuffle tidak dilakukan dan di sisi lain kinerja pemerintahan semakin mengecewakan, Jokowi akan menghadapi ketidakpercayaan publik dan kehilangan momentum untuk mendorong kinerja pemerintahannya. Namun siapa pun memafhumi bahwa indikator objektif berbasis kinerja bukan satu-satunya tolok ukur perombakan kabinet seperti halnya saat Jokowi membentuk kabinet.
Di luar kompetensi dan kapabilitas, pertarungan kepentingan dan distribusi kekuasaan akan menjadi faktor yang tidak kalah signifikan. Indikasinya sudah nyaring terdengar seiring dengan tekanan kencang yang dilakukan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agar Jokowi me-reshuffle sejumlah nama yang menduduki ring satu Istana. Bahkan rombongan DPD PDIP secara langsung mendatangi Jokowi dan melaporkan sejumlah menteri berkinerja lamban.
Di luar itu, Jokowi pasti tidak akan melepaskan kepentingan subjektifnya untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. JK pun tentu akan memainkan kartu sendiri dan partai lain di luar PDIP juga akan memperjuangkan target individualnya. Begitu juga para relawannya yang ternyata tidak bebas dari kepentingan. Berangkat dari fakta yang ada, ibarat mengurai benang kusut, reshuffle bukanlah hal mudah.
Jokowi sebagai pemegang hak milik harus berani menegakkan orientasi sesungguhnya dari pemerintahan seperti yang dia janjikan dan sebaliknya menegasikan kepentingan subjektifnya, kepentingan partai pendukung, dan para pendukungnya. Dengan demikian, satu-satunya tolok ukur reshuffle adalah kompetensi dan kapabilitas. Jika tidak, akan sebatas omong kosong bahwa reshuffle mampu menjadi solusi anjloknya kinerja dan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebaliknya, Jokowi sebagai pemegang mandat rakyat akan kembali terjerat persoalan lama dan tumpukan masalah akan kian besar tanpa terselesaikan. Waktu enam bulan sudah cukup untuk mengevaluasi sejauh mana kinerja para pembantunya terhadap target pemerintahan yang dicapai dan kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan reshuffle kabinet.
Di sisi lain, sejumlah persoalan yang tidak terselesaikan selama waktu tersebut bisa menjadi bahan proyeksi kandidat seperti apa yang layak masuk dalam kabinet. Apakah bisa demikian
(bhr)