Bisa Terjadi PHK
A
A
A
Perekonomian Indonesia yang hanya tumbuh sebesar 4,7% pada triwulan pertama tahun ini sudah berdampak pada kenaikan angka pengangguran.
Perlambatan ekonomi sepanjang awal tahun ini ditandai kinerja sejumlah sektor bisnis yang melemah, kalangan pelaku usaha yang semula memprediksi pertumbuhan ekonomi bakal berada pada kisaran 4,9% terpaksa harus menelan kecewa sebab lebih rendah dari yang diperkirakan. Pertumbuhan ekonomi yang melambat berimplikasi langsung terhadap ketersediaan pasar kerja yang tidak sesuai harapan.
Apa boleh buat, pelemahan ekonomi awal tahun ini telah mengerek kenaikan angka pengangguran. Publikasi terbaru yang disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin terungkap angka pengangguran pada Februari 2015 tercatat 7,45 juta orang, bandingkan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 7,15 juta orang atau terdapat peningkatan sebanyak 300.000 orang.
Terpuruknya kinerja ekonomi kembali mengundang kegaduhan yang mempertanyakan efektivitas dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Isu reshuffle pun berembus kencang sebagai solusi mendongkrak kinerja pemerintah. Sejumlah menteri di bidang ekonomi dinilai berkinerja rendah sehingga layak diganti.
Pertumbuhan ekonomi yang hanya mencatat 4,7% kuartal pertama 2015 atau melemah 0,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 5,2% mengundang pertanyaan besar di mana sebenarnya sumber masalahnya? Mengapa Jokowi Effect tidak berkelanjutan dan hanya di awal pemerintahan yang sempat menyentak sejenak lalu menguap tidak berefek?
Menyimak versi BPS setidaknya pelemahan ekonomi bisa dilihat dari dua sisi yakni sisi produksi dan sisi konsumsi. Dari sisi produksi meliputi penurunan produksi pangan, produksi minyak mentah dan batu bara yang mengalami kontraksi, distribusi perdagangan melambat, kinerja konstruksi yang terhambat realisasi belanja infrastruktur.
Dari sisi konsumsi terungkap semua komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pemerintah melambat. Namun, pemerintah berdalih bahwa pertumbuhan perekonomian di bawah prediksi itu membuktikan bahwa pelambatan ekonomi memang sudah terjadi sejak 2012. Untuk mendukung penilaian tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro membeberkan angka pertumbuhan ekonomi sejak 2011 yang tumbuh 6,5%, pada 2012 turun menjadi 6,2%, dan 2013 anjlok pada level sekitar 5,8%, terakhir 2014 merosot di mana tercatat sebesar 5%.
Deputi Kepala Staf Kepresidenan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa Presiden Jokowi telah mewarisi perekonomian yang melambat. Lantas karena tren perekonomian yang melambat itu sehingga dianggap wajar kalau pertumbuhan perekonomian kuartal pertama 2015 turut melemah? Tentu, bukan pembelaan seperti itu yang harus disuguhkan ke masyarakat. Lebih baik pemerintah berkonsentrasi penuh memperbaiki kinerja agar pertumbuhan perekonomian pada kuartal kedua bisa melesat.
Alangkah baiknya pemerintah segera menjalankan masukan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo sebagaimana disampaikan kepada Presiden yang mengusulkan pemerintah melanjutkan reformasi struktural demi menjaga stabilitas makroekonomi, perbaikan posisi defisit transaksi berjalan, dan mempercepat realisasi anggaran proyek infrastruktur yang telah melakukan groundbreaking. Bagaimana dengan reshuffle kabinet? Solusi ini masih menjadi perdebatan panas.
Memang, pelambatan ekonomi sepertinya menjadi jalan masuk bagi kalangan yang mengharapkan pergantian anggota kabinet, terutama di bidang ekonomi. Reshuffle boleh jadi jalan terbaik untuk menggeser pembantu Presiden yang tidak mampu melaksanakan tugas sesuai yang diharapkan. Persoalannya, pemerintah kini diperhadapkan pada kondisi ibaratnya harus lari kencang pada kuartal kedua yang sedang berjalan ini. Reshuffle dijamin mengundang kegaduhan politik.
Kita berharap pemerintah dan semua stakeholder ekonomi nasional hendaknya duduk bersama mencari solusi untuk memutar roda perekonomian yang melemah. Dampak awal pelemahan ekonomi yang ditandai meningkatnya angka pengangguran tidak tertutup kemungkinan melebar dan mengundang terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perlambatan ekonomi sepanjang awal tahun ini ditandai kinerja sejumlah sektor bisnis yang melemah, kalangan pelaku usaha yang semula memprediksi pertumbuhan ekonomi bakal berada pada kisaran 4,9% terpaksa harus menelan kecewa sebab lebih rendah dari yang diperkirakan. Pertumbuhan ekonomi yang melambat berimplikasi langsung terhadap ketersediaan pasar kerja yang tidak sesuai harapan.
Apa boleh buat, pelemahan ekonomi awal tahun ini telah mengerek kenaikan angka pengangguran. Publikasi terbaru yang disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin terungkap angka pengangguran pada Februari 2015 tercatat 7,45 juta orang, bandingkan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 7,15 juta orang atau terdapat peningkatan sebanyak 300.000 orang.
Terpuruknya kinerja ekonomi kembali mengundang kegaduhan yang mempertanyakan efektivitas dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Isu reshuffle pun berembus kencang sebagai solusi mendongkrak kinerja pemerintah. Sejumlah menteri di bidang ekonomi dinilai berkinerja rendah sehingga layak diganti.
Pertumbuhan ekonomi yang hanya mencatat 4,7% kuartal pertama 2015 atau melemah 0,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 5,2% mengundang pertanyaan besar di mana sebenarnya sumber masalahnya? Mengapa Jokowi Effect tidak berkelanjutan dan hanya di awal pemerintahan yang sempat menyentak sejenak lalu menguap tidak berefek?
Menyimak versi BPS setidaknya pelemahan ekonomi bisa dilihat dari dua sisi yakni sisi produksi dan sisi konsumsi. Dari sisi produksi meliputi penurunan produksi pangan, produksi minyak mentah dan batu bara yang mengalami kontraksi, distribusi perdagangan melambat, kinerja konstruksi yang terhambat realisasi belanja infrastruktur.
Dari sisi konsumsi terungkap semua komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pemerintah melambat. Namun, pemerintah berdalih bahwa pertumbuhan perekonomian di bawah prediksi itu membuktikan bahwa pelambatan ekonomi memang sudah terjadi sejak 2012. Untuk mendukung penilaian tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro membeberkan angka pertumbuhan ekonomi sejak 2011 yang tumbuh 6,5%, pada 2012 turun menjadi 6,2%, dan 2013 anjlok pada level sekitar 5,8%, terakhir 2014 merosot di mana tercatat sebesar 5%.
Deputi Kepala Staf Kepresidenan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa Presiden Jokowi telah mewarisi perekonomian yang melambat. Lantas karena tren perekonomian yang melambat itu sehingga dianggap wajar kalau pertumbuhan perekonomian kuartal pertama 2015 turut melemah? Tentu, bukan pembelaan seperti itu yang harus disuguhkan ke masyarakat. Lebih baik pemerintah berkonsentrasi penuh memperbaiki kinerja agar pertumbuhan perekonomian pada kuartal kedua bisa melesat.
Alangkah baiknya pemerintah segera menjalankan masukan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo sebagaimana disampaikan kepada Presiden yang mengusulkan pemerintah melanjutkan reformasi struktural demi menjaga stabilitas makroekonomi, perbaikan posisi defisit transaksi berjalan, dan mempercepat realisasi anggaran proyek infrastruktur yang telah melakukan groundbreaking. Bagaimana dengan reshuffle kabinet? Solusi ini masih menjadi perdebatan panas.
Memang, pelambatan ekonomi sepertinya menjadi jalan masuk bagi kalangan yang mengharapkan pergantian anggota kabinet, terutama di bidang ekonomi. Reshuffle boleh jadi jalan terbaik untuk menggeser pembantu Presiden yang tidak mampu melaksanakan tugas sesuai yang diharapkan. Persoalannya, pemerintah kini diperhadapkan pada kondisi ibaratnya harus lari kencang pada kuartal kedua yang sedang berjalan ini. Reshuffle dijamin mengundang kegaduhan politik.
Kita berharap pemerintah dan semua stakeholder ekonomi nasional hendaknya duduk bersama mencari solusi untuk memutar roda perekonomian yang melemah. Dampak awal pelemahan ekonomi yang ditandai meningkatnya angka pengangguran tidak tertutup kemungkinan melebar dan mengundang terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
(bhr)