Melampaui Teknokrasi Ekonomi
A
A
A
Airlangga Pribadi Kusman
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
Demokrasi membawa kebijaksanaan politik baru, bahwa melampaui sekadar memilih pemimpin secara demokratis, suara dan pendapat warga harus dilibatkan dalam proses pengelolaan negara.
Kendati demikian, di tengah keinsyafan tentang pentingnya kehendak rakyat, sebuah persepsi dominan masih tertanam kuat ketika berhubungan dengan perumusan kebijakan dalam wilayah ekonomi yakni serahkan persoalan pada bidang di atas pada ahlinya yakni kaum teknokrat.
Akibatnya di wilayah sosial-ekonomi–ranah paling vital dari kehidupan publik– hubungan antara negara dan masyarakat sipil tidak dibangun berdasarkan proses demokrasi dan partisipasi, namun dibentuk oleh asumsi-asumsi saintifik dengan jargon-jargon kaum teknokrat yang semakin menjauhkan warga negara terlibat memengaruhi proses kebijakan yang terkait dengan hajat hidup mereka.
Dalam sejarah kehidupan republik, monopoli teknokrasi dalam ranah kebijakan publik salah satu warisan sejarah Orde Baru yang paling kuat membentuk kehidupan bernegara pascaotoritarianisme. Ketika ranah ekonomi menjadi ruang yang hanya bisa diakses oleh kaum teknokrat, tanpa akses yang memadai bagi publik untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan, sering kita tidak menyadari bahwa asumsi-asumsi dasar dari kebijakan sosial-ekonomi yang digunakan masih berjalan dalam logika usang empat puluh tahun lalu.
Kita membayangkan bahwa seiring dengan suksesi kepemimpinan nasional dari pemerintahan Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo, pemerintahan kita akan mengelola republik dengan jalan baru.
Meski demikian, fokus kebijakan sematamata pada investasi dari luar, penyesuaian bahan bakar minyak (BBM) dengan harga pasar dunia, maupun ketergantungan kita pada utang luar negeri–pada awal 2015 utang luar negeri kita mencapai USD298,6 miliar, naik 2,05% dibanding bulan sebelumnya– memperlihatkan asumsi- asumsi ekonomi usang teknokratik Orde Baru tentang prioritas pertumbuhan daripada pemerataan dan absennya prioritas pada hak sosial-ekonomi warga masih berurat akar dalam pengambilan kebijakan nasional.
Jejak narasi teknokratik ekonomi tanpa disadari juga terlihat dalam pidato Presiden Ir Joko Widodo dalam Konferensi Asia-Afrika lalu yang terkesan megah dan patriotik. Betul bahwa Presiden berani bersuara beda dengan menawarkan arsitektur ekonomi dunia baru selain paradigma umum yang hanya menempatkan IMF, Bank Dunia, dan ADB sebagai poros ekonomi utama.
Namun, ketika teks pidato itu kita cermati secara jeli, titik tekan inisiatif Jokowi adalah pada perluasan investasi-investasi dari luar dengan pelenturan regulasi pemerintah tanpa perhatian yang memadai bagaimana baik hak-hak sosial-ekonomi warga negara maupun penguatan ekonomi skala kecil menengah harus diberdayakan menghadapi konfigurasi ekonomi global yang tengah diproyeksikan.
Padahal, prasyarat utama kita melangkah sebagai bagian dari kekuatan dunia baru dalam pergaulan bangsa-bangsa adalah pengutamaan kemakmuran dan ketahanan ekonomi dari warga negara sebagai subjek dari sebuah kebijakan.
Ketimpangan Sosial
Di jantung kepercayaan mendalam atas investasi asing dan pertumbuhan sebagai panglima dalam paradigma rezim sekarang (dan rezim-rezim sebelumnya) tertanam cara pandang teknokratik lama yang masih mempercayai ekonomi akan membawa kemakmuran dalam logika trickle down effect.
Sebuah kebijakan yang pro terhadap kaum kaya dan mempercayai bahwa dengan relaksasi regulasi atas pasar finansial, tenaga kerja maupun produk barang memudahkan kaum kaya untuk menciptakan uang yang akan dialirkan ke bawah menciptakan kemakmuran.
Sehubungan dengan doktrin kaum teknokrat propasar di atas, Profesor ekonomi asal Cambridge University Ha-Joon Chang (2014) dalam Economics: The UserEconomics: The Users Guide menguraikan sebuah seruan keras bahwa ranah kebijakan ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pada kaum teknokrat.
Bukan berarti bahwa investasi asing itu buruk bagi ekonomi, namun investasi sebagai penggerak ekonomi harus diikuti dengan perhatian negara untuk memperhatikan problem ketimpangan sosial (social inequality), baik dalam konteks ketimpangan pendapatan, ketimpangan redistribusi kemakmuran, maupun ketimpangan sumber daya manusia.
Paradigma teknokratik usang yang mengutamakan investasi, utang, dan pertumbuhan di atas problem ketimpangan sosial dan pemerataan melupakan bahwa kesehatan ekonomi tidak akan lebih baik tanpa perhatian pada mereka yang terpinggirkan. Ketimpangan sosial harus diantisipasi bukan saja terkait dengan problem yang harus diselesaikan terkait dengan kewajiban moralnya.
Ketimpangan sosial yang dalam indeks gini 2014 mencapai angka 0,41 menjadi sebuah persoalan penting karena perhatian seksama terhadap hal tersebut akan memengaruhi penurunan kohesivitas sosial, stabilitas politik, dan akhirnya mengguncang iklim investasi dalam negeri itu sendiri. Di sisi lain ketika seluruh kehidupansosialdiserahkanpada mekanisme pasar, institusi-institusi publik seperti pendidikan tidak akan dapat diakses oleh mereka dari kelompok yang malang.
Kita akan kehilangan potensi sumber daya manusia yang dapat melahirkankaum- kaumterdidiksebagai inovator dan inspirator dari pembangunan nasional. Problem-problem di atas munculmenjadimasalahlatendi negeri kita karena selama ini kebijakan pembangunan tidak memberikan akses yang memadai di luar kaum teknokrat ekonomi yang hanya melayani kekuatan ekonomi besar.
Satu hal yang patut untuk kita ketahui bersama bahwa capaian-capaian maju terkait kemakmuran rakyat yang terjadi di negara kapitalis besar seperti Amerika Serikat tidaklah lahir dari abstraksi-abstraksi teoritis kaum teknokrat yang melayani pasar. Seperti diuraikan Michael Lux (2009) dalam The Progressive Revolution, prestasi terbaik dari Amerika Serikat untuk memberikan kesejahteraan rakyatnya dihasilkan saat pemerintah mendengar seruan dari gerakan-gerakan sosial mulai dari pendidikan publik sampai dengan hak-hak sosial kaum kulit hitam, dari kebijakan upah minimum sampai jaminan sosial untuk warganya.
Sejarah negeri kita pun pernah memiliki catatan menarik terkait bagaimana pelibatan masyarakat akar rumput kaum tani dalam pengambilan kebijakan. Pada masa pemerintahan Soekarno 1960 menetapkan perundang-undangan tentang pengelolaan agraria yang mengutamakan fungsi sosial di atas fungsi privat dari tanah, rakyat kecil ikut dilibatkan dalam risetriset tentang kondisi sosial dan kepemilikan tanah di wilayah mereka masing-masing.
Rakyat sebagai subjek politik tidak diabaikan dalam kebijakan publik. Sudah saatnya republik ini dikelola dengan jalan baru yang lebih membumi dan lebih memperhatikan suara-suara kaum marginal. Untuk memulainya, sudah saatnya kanal-kanal kebijakan ekonomi dibuka aksesnya bukan lagi diserahkan hanya kepada kaum teknokrat, namun juga pelibatan agensiagensi akar rumput yang selama ini memperjuangkan hajat hidup mereka yang terpinggirkan.
Dengan jalan itulah, kita memasuki era baru kehidupan berdemokrasi, kehidupan republik yang memperluas demokrasi mengarah pada demokrasi sosial-ekonomi.
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
Demokrasi membawa kebijaksanaan politik baru, bahwa melampaui sekadar memilih pemimpin secara demokratis, suara dan pendapat warga harus dilibatkan dalam proses pengelolaan negara.
Kendati demikian, di tengah keinsyafan tentang pentingnya kehendak rakyat, sebuah persepsi dominan masih tertanam kuat ketika berhubungan dengan perumusan kebijakan dalam wilayah ekonomi yakni serahkan persoalan pada bidang di atas pada ahlinya yakni kaum teknokrat.
Akibatnya di wilayah sosial-ekonomi–ranah paling vital dari kehidupan publik– hubungan antara negara dan masyarakat sipil tidak dibangun berdasarkan proses demokrasi dan partisipasi, namun dibentuk oleh asumsi-asumsi saintifik dengan jargon-jargon kaum teknokrat yang semakin menjauhkan warga negara terlibat memengaruhi proses kebijakan yang terkait dengan hajat hidup mereka.
Dalam sejarah kehidupan republik, monopoli teknokrasi dalam ranah kebijakan publik salah satu warisan sejarah Orde Baru yang paling kuat membentuk kehidupan bernegara pascaotoritarianisme. Ketika ranah ekonomi menjadi ruang yang hanya bisa diakses oleh kaum teknokrat, tanpa akses yang memadai bagi publik untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan, sering kita tidak menyadari bahwa asumsi-asumsi dasar dari kebijakan sosial-ekonomi yang digunakan masih berjalan dalam logika usang empat puluh tahun lalu.
Kita membayangkan bahwa seiring dengan suksesi kepemimpinan nasional dari pemerintahan Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo, pemerintahan kita akan mengelola republik dengan jalan baru.
Meski demikian, fokus kebijakan sematamata pada investasi dari luar, penyesuaian bahan bakar minyak (BBM) dengan harga pasar dunia, maupun ketergantungan kita pada utang luar negeri–pada awal 2015 utang luar negeri kita mencapai USD298,6 miliar, naik 2,05% dibanding bulan sebelumnya– memperlihatkan asumsi- asumsi ekonomi usang teknokratik Orde Baru tentang prioritas pertumbuhan daripada pemerataan dan absennya prioritas pada hak sosial-ekonomi warga masih berurat akar dalam pengambilan kebijakan nasional.
Jejak narasi teknokratik ekonomi tanpa disadari juga terlihat dalam pidato Presiden Ir Joko Widodo dalam Konferensi Asia-Afrika lalu yang terkesan megah dan patriotik. Betul bahwa Presiden berani bersuara beda dengan menawarkan arsitektur ekonomi dunia baru selain paradigma umum yang hanya menempatkan IMF, Bank Dunia, dan ADB sebagai poros ekonomi utama.
Namun, ketika teks pidato itu kita cermati secara jeli, titik tekan inisiatif Jokowi adalah pada perluasan investasi-investasi dari luar dengan pelenturan regulasi pemerintah tanpa perhatian yang memadai bagaimana baik hak-hak sosial-ekonomi warga negara maupun penguatan ekonomi skala kecil menengah harus diberdayakan menghadapi konfigurasi ekonomi global yang tengah diproyeksikan.
Padahal, prasyarat utama kita melangkah sebagai bagian dari kekuatan dunia baru dalam pergaulan bangsa-bangsa adalah pengutamaan kemakmuran dan ketahanan ekonomi dari warga negara sebagai subjek dari sebuah kebijakan.
Ketimpangan Sosial
Di jantung kepercayaan mendalam atas investasi asing dan pertumbuhan sebagai panglima dalam paradigma rezim sekarang (dan rezim-rezim sebelumnya) tertanam cara pandang teknokratik lama yang masih mempercayai ekonomi akan membawa kemakmuran dalam logika trickle down effect.
Sebuah kebijakan yang pro terhadap kaum kaya dan mempercayai bahwa dengan relaksasi regulasi atas pasar finansial, tenaga kerja maupun produk barang memudahkan kaum kaya untuk menciptakan uang yang akan dialirkan ke bawah menciptakan kemakmuran.
Sehubungan dengan doktrin kaum teknokrat propasar di atas, Profesor ekonomi asal Cambridge University Ha-Joon Chang (2014) dalam Economics: The UserEconomics: The Users Guide menguraikan sebuah seruan keras bahwa ranah kebijakan ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pada kaum teknokrat.
Bukan berarti bahwa investasi asing itu buruk bagi ekonomi, namun investasi sebagai penggerak ekonomi harus diikuti dengan perhatian negara untuk memperhatikan problem ketimpangan sosial (social inequality), baik dalam konteks ketimpangan pendapatan, ketimpangan redistribusi kemakmuran, maupun ketimpangan sumber daya manusia.
Paradigma teknokratik usang yang mengutamakan investasi, utang, dan pertumbuhan di atas problem ketimpangan sosial dan pemerataan melupakan bahwa kesehatan ekonomi tidak akan lebih baik tanpa perhatian pada mereka yang terpinggirkan. Ketimpangan sosial harus diantisipasi bukan saja terkait dengan problem yang harus diselesaikan terkait dengan kewajiban moralnya.
Ketimpangan sosial yang dalam indeks gini 2014 mencapai angka 0,41 menjadi sebuah persoalan penting karena perhatian seksama terhadap hal tersebut akan memengaruhi penurunan kohesivitas sosial, stabilitas politik, dan akhirnya mengguncang iklim investasi dalam negeri itu sendiri. Di sisi lain ketika seluruh kehidupansosialdiserahkanpada mekanisme pasar, institusi-institusi publik seperti pendidikan tidak akan dapat diakses oleh mereka dari kelompok yang malang.
Kita akan kehilangan potensi sumber daya manusia yang dapat melahirkankaum- kaumterdidiksebagai inovator dan inspirator dari pembangunan nasional. Problem-problem di atas munculmenjadimasalahlatendi negeri kita karena selama ini kebijakan pembangunan tidak memberikan akses yang memadai di luar kaum teknokrat ekonomi yang hanya melayani kekuatan ekonomi besar.
Satu hal yang patut untuk kita ketahui bersama bahwa capaian-capaian maju terkait kemakmuran rakyat yang terjadi di negara kapitalis besar seperti Amerika Serikat tidaklah lahir dari abstraksi-abstraksi teoritis kaum teknokrat yang melayani pasar. Seperti diuraikan Michael Lux (2009) dalam The Progressive Revolution, prestasi terbaik dari Amerika Serikat untuk memberikan kesejahteraan rakyatnya dihasilkan saat pemerintah mendengar seruan dari gerakan-gerakan sosial mulai dari pendidikan publik sampai dengan hak-hak sosial kaum kulit hitam, dari kebijakan upah minimum sampai jaminan sosial untuk warganya.
Sejarah negeri kita pun pernah memiliki catatan menarik terkait bagaimana pelibatan masyarakat akar rumput kaum tani dalam pengambilan kebijakan. Pada masa pemerintahan Soekarno 1960 menetapkan perundang-undangan tentang pengelolaan agraria yang mengutamakan fungsi sosial di atas fungsi privat dari tanah, rakyat kecil ikut dilibatkan dalam risetriset tentang kondisi sosial dan kepemilikan tanah di wilayah mereka masing-masing.
Rakyat sebagai subjek politik tidak diabaikan dalam kebijakan publik. Sudah saatnya republik ini dikelola dengan jalan baru yang lebih membumi dan lebih memperhatikan suara-suara kaum marginal. Untuk memulainya, sudah saatnya kanal-kanal kebijakan ekonomi dibuka aksesnya bukan lagi diserahkan hanya kepada kaum teknokrat, namun juga pelibatan agensiagensi akar rumput yang selama ini memperjuangkan hajat hidup mereka yang terpinggirkan.
Dengan jalan itulah, kita memasuki era baru kehidupan berdemokrasi, kehidupan republik yang memperluas demokrasi mengarah pada demokrasi sosial-ekonomi.
(ars)