Normalisasi AS-Kuba
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional Co-founder & Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Diplomasi medis adalah salah satu pendekatan yang dilancarkan Pemerintah Kuba terhadap dunia.
Dunia telah mengenal para dokter dan tenaga kesehatan Kuba sebagai pasukan medis yang dapat diandalkan dalam menangani masalah yang terkait dengan bencana. Dalam tsunami di Aceh 2004, Kuba mengirimkan 25 dokter, kemudian saat gempa di Yogyakarta 2006 dikirimkannya ratusan tenaga kesehatan.
Kuba juga mengirimkan 165 dokter ke Sierra Leone dan 296 dokter ke Liberia dan Guinea saat kasus ebola meledak. Kuba adalah negara yang paling banyak mengirimkan dokter dan paling cepat dari siapa pun di dunia ini. Total tenaga medis yang dikirim lebih dari 50.000 orang di 66 negara. Pendekatan soft-diplomacy ini yang mampu membuat citra Kuba tetap bersinar bersih di panggung politik internasional walaupun telah diisolasi selama lebih dari 50 tahun oleh politik Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Diplomasi itu yang membedakannya dengan pendekatan negara sosialis lain seperti Korea Utara yang lebih mengedepankan pendekatan diplomasi keras dan konfrontatif terhadap negara-negara Barat. Hasil langsung yang diterima dari pendekatan diplomasi yang tak kenal lelah ini adalah normalisasi hubungan AS dengan Kuba yang dilakukan pada 17 Desember 2014, yakni antara Presiden Barack Obama dan Presiden Raul Castro.
Barack Obama dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara- Negara Amerika Latin yang baru pertama kali diikuti Kuba setelah absen 20 tahun mengatakan bahwa AS tidak akan dipenjarakan oleh masa lalu. AS mencari masa depan. Dengan nada sedikit bercanda, Presiden Obama mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik untuk terlibat dalam pertarungan yang dimulai bahkan sebelum ia lahir.
Pendapatnya itu merujuk pada kebijakan embargo yang dilancarkan kepada Kuba mulai tahun 1960 oleh AS dan diikuti sekutu mereka di Eropa. Sejak tahun itu, kebijakan embargo tidak pernah kendur, bahkan terus- menerus diperketat setiap tahunnya melalui Cuba Democracy Act 1992 dan Helm-Burton Act 1996. Helm-Burton Act menandai embargo ekonomi atas Kuba.
Sementara Cuba Democracy Act memuat tiga larangan penting, yaitu pelarangan perusahaan- perusahaan Amerika melakukan transaksi dagang dengan Kuba, pelarangan warga negara AS untuk berkunjung ke Kuba, dan pelarangan untuk mengirimkan remitansi ke Kuba. Undang-undang itu dan peraturan lain adalah pekerjaan rumah yang harus dihadapi Barack Obama ketika membuka normalisasi hubungan dengan Kuba.
Sebab saat ini kongres didominasi kekuatan Partai Republik. Normalisasi hubungan AS dan Kuba mensyaratkan amendemen beberapa peraturan yang dianggap terlalu ketat dan tidak mencerminkan semangat normalisasi tersebut. Partai Republik sudah jauh-jauh hari mengatakan akan siap menghadang kebijakan luar negeri Obama tersebut.
Senator Marco Rubio mengatakan perubahan (normalisasi) akan melegitimasi pemerintahan yang tanpa rasa malu telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tidak membantu mereka yang hak asasinya telah dilanggar. Serangan serupa mungkin akan dialami seperti halnya kesepahaman pembicaraan dengan Iran mengenai nuklir.
Di Kuba, normalisasi juga mengandung implikasi reformasi politik dan ekonomi. Salah satu langkah untuk menunjukkan niat baik itu adalah dengan melepaskan Alan Gross yang telah ditahan selama lima tahun oleh Pemerintah Kuba atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata pada bulan Desember tahun lalu. Sementara Obama pada bulan April telah mengusulkan ke Kongres agar Kuba dihapus dari daftar negara pendukung terorisme.
Kuba masuk dalam daftar itu sejak 1982 karena dianggap memberikan pelatihan kepada pemberontak. Langkah lain adalah melonggarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menghambat akumulasi modal dan membuat kebijakan antikorupsi untuk meyakinkan investor agar datang ke Kuba. Hal ini adalah pekerjaan yang juga sulit karena Pemerintah Kuba perlu mempertimbangkan sektor-sektor mana yang perlu diliberalisasi dan mana yang masih perlu diproteksi.
Masalah HAM dan demokrasi mungkin adalah reformasi yang belum bisa dibayangkan. Sistem politik Kuba yang menganut sistem satu partai seperti halnya China diramalkan akan mengalami reformasi secara perlahan-lahan ketimbang radikal. Reformasi ini bukan sesuatu yang dapat dihindarkan karena Raul Castro telah berumur 83 tahun. Oleh sebab itu dia telah mengumumkan untuk mengakhiri kekuasaannya pada 2018.
Namun mengharapkan Kuba mengubah sistem politiknya saat ini adalah sesuatu yang jauh dalam bayangan mereka. Castro mengatakan dia dipilih sebagai presiden bukan untuk meletakkan sistem kapitalisme ke Kuba, tetapi untuk mempertahankan, menjaga, dan melanjutkan sistem sosialisme serta tidak untuk menghancurkannya.
Pernyataan yang tegas itu sekaligus menjadi koridor tentang hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak bisa dilakukan dalam proses normalisasi hubungan Kuba dengan dunia Barat. Apa yang menarik dari normalisasi hubungan ini adalah kecenderungan negara-negara besar yang umumnya mengedepankan pendekatan keras telah berubah menjadi pendekatan yang lebih lunak.
Di kawasan Amerika Latin dan Asia, perubahan tersebut lebih terasa ketimbang di Timur Tengah. Faktor yang mendorong perubahan itu tidak semata-mata kesadaran subjektif politik, tetapi juga pertimbangan objektif ekonomis, yaitu AS dan Eropa perlu mencari lahan-lahan pasar baru yang selama ini mereka tinggalkan karena perbedaan politik peninggalan perang dingin. Lahan- lahan itu selama ini lebih banyak ”digarap” negara-negara yang tidak segaris politik dengan mereka seperti di kawasan Amerika Latin sendiri ataupun China.
Kuba juga perlu membuka diri karena perekonomian mereka tidak cukup kuat ketika hanya menggantungkan diri kepada sekutu tradisional yang memiliki aliran politik sosialis seperti Venezuela atau Bolivia. Kuba merasa bahwa ketidakstabilan politik di Venezuela juga akan berdampak langsung pada perekonomian mereka. Karena itu, sejak 2014 Kuba telah mendiversifikasi hubungan ekonominya dengan Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan.
Diversifikasi itu pun belum cukup karena Rusia dan Brasil juga mengalami ketidakstabilan ekonomi di dalam negeri sehingga mendorong Kuba untuk melebarkan sayap lebih lebar lagi ke negara-negara lain. Bagi kita di Indonesia, alasan- alasan yang melatarbelakangi normalisasi hubungan antara AS dan Kuba menjadi pelajaran yang berharga dalam mengelola hubungan diplomasi dengan negara-negara di kawasan.
AS dan Kuba samasama mempelajari bahwa ketergantungan dengan satu kawasan apalagi dengan satu negara sangat rentan seiring dengan pasar ekonomi yang bergerak cepat turun dan naik. Satu negara dapat kuat di satu waktu, tetapi dapat juga jatuh dengan cepat di waktu yang lain.
Untuk mengantisipasi hal itu, tugas diplomasi kita harus semakin hebat dalam arti tetap merawat hubungan baik dengan banyak negara tanpa mengorbankan kedaulatan atau kepentingan masyarakat banyak.
Pengamat Hubungan Internasional Co-founder & Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Diplomasi medis adalah salah satu pendekatan yang dilancarkan Pemerintah Kuba terhadap dunia.
Dunia telah mengenal para dokter dan tenaga kesehatan Kuba sebagai pasukan medis yang dapat diandalkan dalam menangani masalah yang terkait dengan bencana. Dalam tsunami di Aceh 2004, Kuba mengirimkan 25 dokter, kemudian saat gempa di Yogyakarta 2006 dikirimkannya ratusan tenaga kesehatan.
Kuba juga mengirimkan 165 dokter ke Sierra Leone dan 296 dokter ke Liberia dan Guinea saat kasus ebola meledak. Kuba adalah negara yang paling banyak mengirimkan dokter dan paling cepat dari siapa pun di dunia ini. Total tenaga medis yang dikirim lebih dari 50.000 orang di 66 negara. Pendekatan soft-diplomacy ini yang mampu membuat citra Kuba tetap bersinar bersih di panggung politik internasional walaupun telah diisolasi selama lebih dari 50 tahun oleh politik Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Diplomasi itu yang membedakannya dengan pendekatan negara sosialis lain seperti Korea Utara yang lebih mengedepankan pendekatan diplomasi keras dan konfrontatif terhadap negara-negara Barat. Hasil langsung yang diterima dari pendekatan diplomasi yang tak kenal lelah ini adalah normalisasi hubungan AS dengan Kuba yang dilakukan pada 17 Desember 2014, yakni antara Presiden Barack Obama dan Presiden Raul Castro.
Barack Obama dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara- Negara Amerika Latin yang baru pertama kali diikuti Kuba setelah absen 20 tahun mengatakan bahwa AS tidak akan dipenjarakan oleh masa lalu. AS mencari masa depan. Dengan nada sedikit bercanda, Presiden Obama mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik untuk terlibat dalam pertarungan yang dimulai bahkan sebelum ia lahir.
Pendapatnya itu merujuk pada kebijakan embargo yang dilancarkan kepada Kuba mulai tahun 1960 oleh AS dan diikuti sekutu mereka di Eropa. Sejak tahun itu, kebijakan embargo tidak pernah kendur, bahkan terus- menerus diperketat setiap tahunnya melalui Cuba Democracy Act 1992 dan Helm-Burton Act 1996. Helm-Burton Act menandai embargo ekonomi atas Kuba.
Sementara Cuba Democracy Act memuat tiga larangan penting, yaitu pelarangan perusahaan- perusahaan Amerika melakukan transaksi dagang dengan Kuba, pelarangan warga negara AS untuk berkunjung ke Kuba, dan pelarangan untuk mengirimkan remitansi ke Kuba. Undang-undang itu dan peraturan lain adalah pekerjaan rumah yang harus dihadapi Barack Obama ketika membuka normalisasi hubungan dengan Kuba.
Sebab saat ini kongres didominasi kekuatan Partai Republik. Normalisasi hubungan AS dan Kuba mensyaratkan amendemen beberapa peraturan yang dianggap terlalu ketat dan tidak mencerminkan semangat normalisasi tersebut. Partai Republik sudah jauh-jauh hari mengatakan akan siap menghadang kebijakan luar negeri Obama tersebut.
Senator Marco Rubio mengatakan perubahan (normalisasi) akan melegitimasi pemerintahan yang tanpa rasa malu telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tidak membantu mereka yang hak asasinya telah dilanggar. Serangan serupa mungkin akan dialami seperti halnya kesepahaman pembicaraan dengan Iran mengenai nuklir.
Di Kuba, normalisasi juga mengandung implikasi reformasi politik dan ekonomi. Salah satu langkah untuk menunjukkan niat baik itu adalah dengan melepaskan Alan Gross yang telah ditahan selama lima tahun oleh Pemerintah Kuba atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata pada bulan Desember tahun lalu. Sementara Obama pada bulan April telah mengusulkan ke Kongres agar Kuba dihapus dari daftar negara pendukung terorisme.
Kuba masuk dalam daftar itu sejak 1982 karena dianggap memberikan pelatihan kepada pemberontak. Langkah lain adalah melonggarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menghambat akumulasi modal dan membuat kebijakan antikorupsi untuk meyakinkan investor agar datang ke Kuba. Hal ini adalah pekerjaan yang juga sulit karena Pemerintah Kuba perlu mempertimbangkan sektor-sektor mana yang perlu diliberalisasi dan mana yang masih perlu diproteksi.
Masalah HAM dan demokrasi mungkin adalah reformasi yang belum bisa dibayangkan. Sistem politik Kuba yang menganut sistem satu partai seperti halnya China diramalkan akan mengalami reformasi secara perlahan-lahan ketimbang radikal. Reformasi ini bukan sesuatu yang dapat dihindarkan karena Raul Castro telah berumur 83 tahun. Oleh sebab itu dia telah mengumumkan untuk mengakhiri kekuasaannya pada 2018.
Namun mengharapkan Kuba mengubah sistem politiknya saat ini adalah sesuatu yang jauh dalam bayangan mereka. Castro mengatakan dia dipilih sebagai presiden bukan untuk meletakkan sistem kapitalisme ke Kuba, tetapi untuk mempertahankan, menjaga, dan melanjutkan sistem sosialisme serta tidak untuk menghancurkannya.
Pernyataan yang tegas itu sekaligus menjadi koridor tentang hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak bisa dilakukan dalam proses normalisasi hubungan Kuba dengan dunia Barat. Apa yang menarik dari normalisasi hubungan ini adalah kecenderungan negara-negara besar yang umumnya mengedepankan pendekatan keras telah berubah menjadi pendekatan yang lebih lunak.
Di kawasan Amerika Latin dan Asia, perubahan tersebut lebih terasa ketimbang di Timur Tengah. Faktor yang mendorong perubahan itu tidak semata-mata kesadaran subjektif politik, tetapi juga pertimbangan objektif ekonomis, yaitu AS dan Eropa perlu mencari lahan-lahan pasar baru yang selama ini mereka tinggalkan karena perbedaan politik peninggalan perang dingin. Lahan- lahan itu selama ini lebih banyak ”digarap” negara-negara yang tidak segaris politik dengan mereka seperti di kawasan Amerika Latin sendiri ataupun China.
Kuba juga perlu membuka diri karena perekonomian mereka tidak cukup kuat ketika hanya menggantungkan diri kepada sekutu tradisional yang memiliki aliran politik sosialis seperti Venezuela atau Bolivia. Kuba merasa bahwa ketidakstabilan politik di Venezuela juga akan berdampak langsung pada perekonomian mereka. Karena itu, sejak 2014 Kuba telah mendiversifikasi hubungan ekonominya dengan Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan.
Diversifikasi itu pun belum cukup karena Rusia dan Brasil juga mengalami ketidakstabilan ekonomi di dalam negeri sehingga mendorong Kuba untuk melebarkan sayap lebih lebar lagi ke negara-negara lain. Bagi kita di Indonesia, alasan- alasan yang melatarbelakangi normalisasi hubungan antara AS dan Kuba menjadi pelajaran yang berharga dalam mengelola hubungan diplomasi dengan negara-negara di kawasan.
AS dan Kuba samasama mempelajari bahwa ketergantungan dengan satu kawasan apalagi dengan satu negara sangat rentan seiring dengan pasar ekonomi yang bergerak cepat turun dan naik. Satu negara dapat kuat di satu waktu, tetapi dapat juga jatuh dengan cepat di waktu yang lain.
Untuk mengantisipasi hal itu, tugas diplomasi kita harus semakin hebat dalam arti tetap merawat hubungan baik dengan banyak negara tanpa mengorbankan kedaulatan atau kepentingan masyarakat banyak.
(ars)