Menyikapi Perang (Sektarian) Yaman
A
A
A
Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yaman menjadi korban serangan yang dilakukan oleh koalisi Arab Saudi terhadap gudang persenjataan kelompok Houthi di Sanaa kemarin (20/04).
Setidaknya ada dua staf kedutaan kita yang menjadi korban serangan yang disinyalir tidak diarahkan langsung ke kantor KBRI tersebut. Perkembangan ini menunjukkan bahwa konflik Yaman semakin tidak terkendali.
Pemerintah harus mengambil keputusan cepat dan akurat untuk memastikan ada perlindungan terhadap warga negara kita di sana, termasuk simbol negara seperti kantor kedutaan ataupun staf kedutaan. Tentu dibutuhkan ada kajian yang mendalam dan intensif terhadap konflik yang terjadi di Yaman saat ini sebagai basis kebijakan yang dibutuhkan.
Menjadi Sektarian
Pada tahap tertentu, perang yang terjadi di Yaman saat ini dapat disebut sebagai perang sektarian, setidak-tidaknya perang mengatasnamakan sekte. Dikatakan demikian karena sentimen sektarian inilah yang membuat kelompok minoritas seperti Houthi dibuat mampu menaklukkan Ibu Kota Yaman, bahkan menjadikan Presiden dan Perdana Menteri Yaman sebagai tahanan rumah (21 Januari) sebelum akhirnya menyatakan memundurkan diri (23 Januari) dan meneguhkan diri kembali sebagai presiden yang sah.
Karena alasan kurang lebih sama, Arab Saudi beserta negara-negara koalisinya pun menyerang Yaman sejak 26 Maret lalu. Awalnya konflik di Yaman merupakan konflik politik yang jamak terjadi di negara-negara lain, khususnya saat negara tersebut baru terbebas dari rezim otoriter yang berkuasa selama puluhan tahun.
Sebagaimana dimaklumi, setelah Ali Abdullah Saleh berhasil dilengserkan paksa (oleh rakyat dan negara-negara pendukungnya) pada 2012, Yaman kerap dilanda pelbagai macam konflik. Baik konflik yang bersifat kesukuan, golongan, politik, maupunyanglainnya. Sentimen sektarian telah membuat konflik-konflik yang terjadi di Yaman pascalengsernya Ali Badullah Saleh secara cepat menjalar, bahkan menjadi pemicu peperangan antarnegara seperti sekarang.
Dalam konteks politik, sentimen sektarian tentu tidak menyebar dengan sendirinya, melainkan ada pihak- pihak yang secara sengaja memainkan sentimen sektarian tersebut. Di Timur Tengah, isu sektarian jauh lebih provokatif, bahkan dibanding isu konflik antaragama sekalipun.
Perlawanan Houthi dan Ali Abdullah Saleh
Sejak akhir 2014 hingga awal tahun ini, pergerakan kelompok Houthi di Yaman acap mengejutkan banyak pihak. Betapa tidak, kelompok yang awalnya tidak terlalu besar ini (untuk tidak mengatakan kecil) tibatiba diberitakan berhasil menguasai Ibu Kota Yaman pada 21 September 2014.
Aksi spektakuler kelompok ini terus berlanjut hingga mampu menyandera presiden dan perdana menteri Yaman pada 21 Januari 2015 di istananya. Puncaknya kelompok Houthi melakukan Deklarasi Konstitusi (Al-Ilan Ad-Dustury ) pada 6 Februari lalu sekaligus mengakhiri konstitusi lama yang berlaku di Yaman.
Sebagaimana dimaklumi, kelompok Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang bersifat minoritas di Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Meski demikian, kelompok yang sejak terjadi Arab Spring (Musim Semi Arab) kerap menyebut diri dengan nama Ansharullah ini pernah berkuasa di Yaman, khususnya di Yaman Utara sebelum Yaman berbentuk republik pada 1962.
Pertanyaan, mengapa kelompok Houthi tampak begitu mudah menguasai Ibu Kota Yaman pada 21 September lalu yang kemudian dengan mudah mereka juga menyandera presiden di istananya? Apakah ini disebabkan oleh dahsyatnya kekuatan kelompok Houthi atau karena ada kekuatan lain yang secara sengaja mendorong Houthi untuk melakukan ”penaklukan-penaklukan” sebagaimana di atas?
Tentu jawabannya adalah yang terakhir. Dengan kata lain, ada pihak lain di belakang Houthi yang terus memberikan dukungan dalam aksi-aksi militernya mutakhir. Pihak lain dimaksud tak lain adalah mantan Presiden Ali Abdullah Saleh (beserta para loyalisnya) yang sengaja ”dilengserkan” oleh negara- negara pendukungnya (Amerika Serikat dan Negara-negara Arab Teluk) untuk menjawab revolusi rakyat Yaman pada 2012.
Untuk menggantikan Saleh, diangkatlah Abd-Rabbu Mansour Hadi yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang loyal terhadap Abdullah Saleh. Karena itu, apa yang terjadi di Yaman belakangan ini dapat disebut sebagai aksi perlawanan dari kelompok Houthi dan Abdullah Saleh sekaligus. Kelompok Houthi hendak melawan kelompok Sunni yang selama ini menguasai Yaman.
Untuk mencapai tujuannya tersebut, Houthi rela bekerja sama dengan para loyalis Ali Abdullah Saleh yang pada waktu-waktu sebelumnya justru kerap menghancurkan mereka. Sebaliknya, dengan memanfaatkan kelompok Houthi, Ali Abdullah Saleh hendak melawan negara-negara pendukungnya (seperti Amerika Serikat dan Negara-Negara Arab Teluk) yang selama ini tidak merestui Saleh untuk kembali ke puncak pemerintahan Yaman kembali.
Sebagaimana dimaklumi, pada masa pemerintahannya, Ali Abdullah Saleh menjadi mitra strategis bagi Amerika Serikat dan Arab Saudi untuk kepentingan yang berbeda. Kepentingan Arab Saudi adalah agar Ali Abdullah Saleh bisa mengendalikan kelompok Houthi yang berpusat di Yaman dan terdapat di Arab Saudi. Sedangkan kepentingan Amerika Serikat adalah melawan kelompok Al- Qaeda di Yaman (AQAP).
Fase Sektarianisasi
Kondisi politik seperti inilah yang membuat perang di Yaman saat ini dapat disebut sebagai perang sektarian. Seandainya bukan Houthi yang melakukan kudeta politik di Yaman mutakhir (katakan seperti kelompok Ikhwan Muslimin atau kelompok politik lainnya), kemungkinan besar Arab Saudi dan negara-negara koalisinya tidak akan melakukan intervensi militer secara langsung seperti sekarang yang mengakibatkan ribuan rakyat tak berdosa harus menjadi korban, baik korban luka-luka atau bahkan korban jiwa.
Tentu perang sektarian di Yaman saat ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial- politik di Timur Tengah yang belakangan mengalami fase ”sektarianisasi”. Fase ini berawal dari krisis politik di Suriah yang acap berkembang menjadi konflik sektarian antara rezim Bashar al-Assad yang dikenal dari golongan Syiah dan para kelompok revolusi beserta segenap pendukungnya dari kelompok Sunni (termasuk Arab Saudi).
Dalam konteks Suriah, sektarianisasi konflik di sana bahkan telah menarik minat para jihadis internasional untuk bergabung dan kemudian membentuk kelompok sendiri dikenal dengan nama ISIS. Sektarianisasi konflik politik kini terjadi di Yaman. Dibanding yang terjadi di Suriah, sektarianisasi konflik politik terjadi di Yaman berlangsung secara lebih vulgar, bahkan menjadi perang antarnegara seperti sekarang.
Semua pihak harus mewaspadai perang ini agar tidak berkembang menjadi panggilan terbuka bagi kaum jihadis internasional untuk terlibat dalam perang ini. Bila ini sampai terjadi, eksodus kaum jihadis internasional dari pelbagai macam negara akan semakin masif terjadi ke wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah, termasuk dari Indonesia.
Sikap Indonesia
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi perang yang terjadi di Yaman, khususnya pasca- KBRI kita terkena serangan juga. Pertama, memberikan protes keras terhadap negara-negara yang terlibat dalam perang di Yaman terkait penyerangan KBRI kita, termasuk dengan memanggil para duta besar dari negara-negara tersebut.
Ini sangat penting dilakukan untuk menegakkan kehormatan dan kedaulatan bangsa kita. Kedua, memberikan perlindungan maksimal terhadap warga negara Indonesia yang ada di Yaman, mulai dari para mahasiswa, buruh migran, atau bahkan para staf kedutaan.
Upaya evakuasi yang dilakukan pemerintah harus berjalan secara lebih cepat dan mampu meyakinkan para warga negara Indonesia di sana untuk segera meninggalkan Yaman. Ketiga, melakukan upaya pencegahan menyeluruh agar tidak ada warga negara Indonesia yang melibatkan diri dalam perang ini. Hal demikian sangat penting dilakukan, mengingat perang ini bernuansa sektarian, sebagaimana telah disampaikan di atas.
Tanpa pencegahan dini, bukan tidak mungkin perbatasan Yaman justru dianggap sebagai pintu-pintu menuju surga, khususnya bagi mereka yang terpesona oleh semangat sektarianisme.
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
Setidaknya ada dua staf kedutaan kita yang menjadi korban serangan yang disinyalir tidak diarahkan langsung ke kantor KBRI tersebut. Perkembangan ini menunjukkan bahwa konflik Yaman semakin tidak terkendali.
Pemerintah harus mengambil keputusan cepat dan akurat untuk memastikan ada perlindungan terhadap warga negara kita di sana, termasuk simbol negara seperti kantor kedutaan ataupun staf kedutaan. Tentu dibutuhkan ada kajian yang mendalam dan intensif terhadap konflik yang terjadi di Yaman saat ini sebagai basis kebijakan yang dibutuhkan.
Menjadi Sektarian
Pada tahap tertentu, perang yang terjadi di Yaman saat ini dapat disebut sebagai perang sektarian, setidak-tidaknya perang mengatasnamakan sekte. Dikatakan demikian karena sentimen sektarian inilah yang membuat kelompok minoritas seperti Houthi dibuat mampu menaklukkan Ibu Kota Yaman, bahkan menjadikan Presiden dan Perdana Menteri Yaman sebagai tahanan rumah (21 Januari) sebelum akhirnya menyatakan memundurkan diri (23 Januari) dan meneguhkan diri kembali sebagai presiden yang sah.
Karena alasan kurang lebih sama, Arab Saudi beserta negara-negara koalisinya pun menyerang Yaman sejak 26 Maret lalu. Awalnya konflik di Yaman merupakan konflik politik yang jamak terjadi di negara-negara lain, khususnya saat negara tersebut baru terbebas dari rezim otoriter yang berkuasa selama puluhan tahun.
Sebagaimana dimaklumi, setelah Ali Abdullah Saleh berhasil dilengserkan paksa (oleh rakyat dan negara-negara pendukungnya) pada 2012, Yaman kerap dilanda pelbagai macam konflik. Baik konflik yang bersifat kesukuan, golongan, politik, maupunyanglainnya. Sentimen sektarian telah membuat konflik-konflik yang terjadi di Yaman pascalengsernya Ali Badullah Saleh secara cepat menjalar, bahkan menjadi pemicu peperangan antarnegara seperti sekarang.
Dalam konteks politik, sentimen sektarian tentu tidak menyebar dengan sendirinya, melainkan ada pihak- pihak yang secara sengaja memainkan sentimen sektarian tersebut. Di Timur Tengah, isu sektarian jauh lebih provokatif, bahkan dibanding isu konflik antaragama sekalipun.
Perlawanan Houthi dan Ali Abdullah Saleh
Sejak akhir 2014 hingga awal tahun ini, pergerakan kelompok Houthi di Yaman acap mengejutkan banyak pihak. Betapa tidak, kelompok yang awalnya tidak terlalu besar ini (untuk tidak mengatakan kecil) tibatiba diberitakan berhasil menguasai Ibu Kota Yaman pada 21 September 2014.
Aksi spektakuler kelompok ini terus berlanjut hingga mampu menyandera presiden dan perdana menteri Yaman pada 21 Januari 2015 di istananya. Puncaknya kelompok Houthi melakukan Deklarasi Konstitusi (Al-Ilan Ad-Dustury ) pada 6 Februari lalu sekaligus mengakhiri konstitusi lama yang berlaku di Yaman.
Sebagaimana dimaklumi, kelompok Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang bersifat minoritas di Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Meski demikian, kelompok yang sejak terjadi Arab Spring (Musim Semi Arab) kerap menyebut diri dengan nama Ansharullah ini pernah berkuasa di Yaman, khususnya di Yaman Utara sebelum Yaman berbentuk republik pada 1962.
Pertanyaan, mengapa kelompok Houthi tampak begitu mudah menguasai Ibu Kota Yaman pada 21 September lalu yang kemudian dengan mudah mereka juga menyandera presiden di istananya? Apakah ini disebabkan oleh dahsyatnya kekuatan kelompok Houthi atau karena ada kekuatan lain yang secara sengaja mendorong Houthi untuk melakukan ”penaklukan-penaklukan” sebagaimana di atas?
Tentu jawabannya adalah yang terakhir. Dengan kata lain, ada pihak lain di belakang Houthi yang terus memberikan dukungan dalam aksi-aksi militernya mutakhir. Pihak lain dimaksud tak lain adalah mantan Presiden Ali Abdullah Saleh (beserta para loyalisnya) yang sengaja ”dilengserkan” oleh negara- negara pendukungnya (Amerika Serikat dan Negara-negara Arab Teluk) untuk menjawab revolusi rakyat Yaman pada 2012.
Untuk menggantikan Saleh, diangkatlah Abd-Rabbu Mansour Hadi yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang loyal terhadap Abdullah Saleh. Karena itu, apa yang terjadi di Yaman belakangan ini dapat disebut sebagai aksi perlawanan dari kelompok Houthi dan Abdullah Saleh sekaligus. Kelompok Houthi hendak melawan kelompok Sunni yang selama ini menguasai Yaman.
Untuk mencapai tujuannya tersebut, Houthi rela bekerja sama dengan para loyalis Ali Abdullah Saleh yang pada waktu-waktu sebelumnya justru kerap menghancurkan mereka. Sebaliknya, dengan memanfaatkan kelompok Houthi, Ali Abdullah Saleh hendak melawan negara-negara pendukungnya (seperti Amerika Serikat dan Negara-Negara Arab Teluk) yang selama ini tidak merestui Saleh untuk kembali ke puncak pemerintahan Yaman kembali.
Sebagaimana dimaklumi, pada masa pemerintahannya, Ali Abdullah Saleh menjadi mitra strategis bagi Amerika Serikat dan Arab Saudi untuk kepentingan yang berbeda. Kepentingan Arab Saudi adalah agar Ali Abdullah Saleh bisa mengendalikan kelompok Houthi yang berpusat di Yaman dan terdapat di Arab Saudi. Sedangkan kepentingan Amerika Serikat adalah melawan kelompok Al- Qaeda di Yaman (AQAP).
Fase Sektarianisasi
Kondisi politik seperti inilah yang membuat perang di Yaman saat ini dapat disebut sebagai perang sektarian. Seandainya bukan Houthi yang melakukan kudeta politik di Yaman mutakhir (katakan seperti kelompok Ikhwan Muslimin atau kelompok politik lainnya), kemungkinan besar Arab Saudi dan negara-negara koalisinya tidak akan melakukan intervensi militer secara langsung seperti sekarang yang mengakibatkan ribuan rakyat tak berdosa harus menjadi korban, baik korban luka-luka atau bahkan korban jiwa.
Tentu perang sektarian di Yaman saat ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial- politik di Timur Tengah yang belakangan mengalami fase ”sektarianisasi”. Fase ini berawal dari krisis politik di Suriah yang acap berkembang menjadi konflik sektarian antara rezim Bashar al-Assad yang dikenal dari golongan Syiah dan para kelompok revolusi beserta segenap pendukungnya dari kelompok Sunni (termasuk Arab Saudi).
Dalam konteks Suriah, sektarianisasi konflik di sana bahkan telah menarik minat para jihadis internasional untuk bergabung dan kemudian membentuk kelompok sendiri dikenal dengan nama ISIS. Sektarianisasi konflik politik kini terjadi di Yaman. Dibanding yang terjadi di Suriah, sektarianisasi konflik politik terjadi di Yaman berlangsung secara lebih vulgar, bahkan menjadi perang antarnegara seperti sekarang.
Semua pihak harus mewaspadai perang ini agar tidak berkembang menjadi panggilan terbuka bagi kaum jihadis internasional untuk terlibat dalam perang ini. Bila ini sampai terjadi, eksodus kaum jihadis internasional dari pelbagai macam negara akan semakin masif terjadi ke wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah, termasuk dari Indonesia.
Sikap Indonesia
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi perang yang terjadi di Yaman, khususnya pasca- KBRI kita terkena serangan juga. Pertama, memberikan protes keras terhadap negara-negara yang terlibat dalam perang di Yaman terkait penyerangan KBRI kita, termasuk dengan memanggil para duta besar dari negara-negara tersebut.
Ini sangat penting dilakukan untuk menegakkan kehormatan dan kedaulatan bangsa kita. Kedua, memberikan perlindungan maksimal terhadap warga negara Indonesia yang ada di Yaman, mulai dari para mahasiswa, buruh migran, atau bahkan para staf kedutaan.
Upaya evakuasi yang dilakukan pemerintah harus berjalan secara lebih cepat dan mampu meyakinkan para warga negara Indonesia di sana untuk segera meninggalkan Yaman. Ketiga, melakukan upaya pencegahan menyeluruh agar tidak ada warga negara Indonesia yang melibatkan diri dalam perang ini. Hal demikian sangat penting dilakukan, mengingat perang ini bernuansa sektarian, sebagaimana telah disampaikan di atas.
Tanpa pencegahan dini, bukan tidak mungkin perbatasan Yaman justru dianggap sebagai pintu-pintu menuju surga, khususnya bagi mereka yang terpesona oleh semangat sektarianisme.
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
(ftr)