Hukum yang Berkeadilan
A
A
A
Keadilan masyarakat terusik dengan putusan Pengadilan Negeri Situbondo yang menyatakan bersalah Nenek Asyani, 63, atas dakwaan pencurian kayu.
Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa percobaan 15 bulan. Walau hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan, tetap saja putusan ini mengundang kritik. Kasus ini menambah daftar putusan yang menguatkan opini masyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia ”tajam ke atas, tumpul ke bawah” serta telah kehilangan ruh keadilan.
Bagi sebagian ahli hukum, apalagi yang berpandangan positivistik, putusan itu dinilai sebagai produk peradilan yang harus diterima karena dihasilkan oleh institusi yang memiliki kewenangan. Ketentuan undangundang memang harus ditegakkan oleh hakim sehingga siapa pun yang memenuhi unsur pidana harus diputus bersalah. Persoalan keadilan bersifat subjektif sehingga tidak dapat dijadikan ukuran. Apalagi dalam kasus Nenek Asyani, hakim telah memutus dengan hukuman percobaan yang menunjukkan rasa keadilan.
Hukum yang Berkeadilan
Tema hubungan antara hukum dan keadilan sudah sejak lama menjadi pembahasan mulai dari kajian yang bersifat filosofis hingga praktis. Tema ini pula yang melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum yang berbeda-beda. Sesungguhnya tidak ada satu aliran pun yang menolak bahwa hukum tak terpisahkan dengan keadilan. Perbedaannya hanya kapan dan apa ukuran keadilan.
Pandangan positivistik tidak menolak bahwa hukum salah satu instrumen sosial. Dengan sendirinya diakui bahwa hukum adalah alat atau media untuk mencapai dan mewujudkan sesuatu. Yang hendak dicapai adalah keadilan sebagai dasar untuk mewujudkan ketertiban sosial berdasarkan nilainilai tertentu yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Keadilan menjadi dasar ketertiban sosial karena di dalam keadilan terdapat perlindungan terhadap kepentingan individu dan masyarakat sekaligus. Namun, kaum positivis berpandangan bahwa persoalan hukum dan keadilan sudah selesai ketika hukum dalam arti peraturan perundang-undangan atau putusan hakim telah selesai dibuat. Keadilan bukan bagian dari persoalan hukum, melainkan persoalan pembuatan hukum.
Seorang juris, termasuk aparat hukum, harus percaya bahwa hukum yang ada telah dibuat dengan niatan baik untuk menegakkan keadilan. Hukum adalah bentuk objektif dari keadilan yang semula bersifat subjektif. Karena itu, hukum positif sudah pasti adil. Dengan menegakkan hukum positif berarti menegakkan keadilan yang objektif. Keadilan di luar hukum positif dan putusan pengadilan adalah keadilan subjektif yang bertentangan dengan karakter keilmuan hukum.
Keadilan Masyarakat
Di mana ada masyarakat di situ ada hukum ”ubi societas ibi ius”. Pernyataan ini tidak hanya bermakna bahwa keberadaan hukum bersamaan dengan keberadaan masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa hukum ada sebagai instrumen untuk membentuk kehidupan bermasyarakat.
Karena itu, orientasi dari hukum adalah masyarakat itu sendiri. Keadilan yang hendak dicapai dan diwujudkan adalah keadilan masyarakat. Karena hukum adalah instrumen sosial, hukum tidak dibuat untuk hukum itu sendiri. Ini mengandung konsekuensi bahwa penegakan hukum tidak semata-mata ditujukan agar aturan hukum terlaksana. Dalil ini telah dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai salah satu karakter hukum progresif.
Pernyataan ini juga berarti bahwa hukum tidak dibuat untuk para yuris dan aparat penegak hukum, melainkan untuk manusia dan masyarakat. Karena itu, yang semestinya menjadi ukuran keadilan dalam penegakan hukum juga bukan aturan hukum tertulis dan pendapat ahlihukum, melainkan kesesuaiannya dengan nilai kemanusiaan dan pendapat umum masyarakat.
Pandangan bahwa keadilan yang objektif ada di dalam aturan hukum tertulis mengandung tiga kelemahan mendasar. Pertama, pembentukan aturan hukum tertulis tidak selalu berada pada ruang dan waktu ideal yang memungkinkan keadilan menjadi pertimbangan utama dalam perumusan norma.
Apalagi jika hukum dipahami sebagai produk politik, artinya produk dari kontestasi berbagai kepentingan masyarakat di mana kelompok yang memiliki kekuatan lebih memiliki potensi yang lebih besar untuk memengaruhi hukum demi melindungi kepentingannya. Kedua, aturan hukum tertulis memiliki keterbatasan dalam menjangkau berbagai variasi kasus.
Keterbatasan ini lahir karena keterbatasan pembentuk hukum dalam memperkirakan peristiwa-peristiwa yang akan diatur dengan hukum yang dibuat. Keterbatasan juga melekat pada aturan hukum tertulis karena keharusan rumusannya yang umum dan abstrak. Substansi keadilan yang dipercaya bersifat objektif dalam aturan hukum tertulis belum tentu relevan dengan perkembangan peristiwa yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh pembentuk hukum.
Ketiga, keadilan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Pemikiran, apalagi ”rasa” keadilan, juga mengalami perkembangan dan bahkan pergeseran seiring perkembangan nilai dan perikehidupan masyarakat. Ini sesungguhnya juga diakui oleh kaum positivis dengan menyatakan bahwa keadilan bersifat subjektif.
Subjektivitas dalam hal ini tidak berarti berbedabeda antara satu manusia dan manusia yang lain, melainkan berkembang sesuai zamannya. Keadilan objektif masyarakat tetap ada sama halnya dengan adanya nilai bersama (common value) yang dapat ditangkap oleh nurani dan akal pikiran manusia. Dalam penegakan hukum, ketiga kelemahan tersebut mengakibatkan hukum berjarak dengan masyarakatnya.
Objektivitas keadilan hukum bisa jadi berseberangan dengan objektivitas keadilan masyarakat. Karena itu, dalam penegakannya hukum harus dinilai dengan keadilan masyarakat. Ini tidak berarti keberadaan aturan hukum tertulis tidak diperlukan lagi. Hukum tertulis tetap diperlukan sebagai pedoman perilaku masyarakat dan pedoman para penegak hukum.
Namun, hukum tertulis tidak boleh dimutlakkan bahkan ketika berseberangan dengan keadilan masyarakat. Pada saat hukum ditegakkan dengan menabrak keadilan masyarakat, saat itu hukum telah kehilangan hakikatnya sebagai instrumen keberadaan masyarakat. Hukum justru merusak keadilan dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Janedjri M Gaffar
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa percobaan 15 bulan. Walau hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan, tetap saja putusan ini mengundang kritik. Kasus ini menambah daftar putusan yang menguatkan opini masyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia ”tajam ke atas, tumpul ke bawah” serta telah kehilangan ruh keadilan.
Bagi sebagian ahli hukum, apalagi yang berpandangan positivistik, putusan itu dinilai sebagai produk peradilan yang harus diterima karena dihasilkan oleh institusi yang memiliki kewenangan. Ketentuan undangundang memang harus ditegakkan oleh hakim sehingga siapa pun yang memenuhi unsur pidana harus diputus bersalah. Persoalan keadilan bersifat subjektif sehingga tidak dapat dijadikan ukuran. Apalagi dalam kasus Nenek Asyani, hakim telah memutus dengan hukuman percobaan yang menunjukkan rasa keadilan.
Hukum yang Berkeadilan
Tema hubungan antara hukum dan keadilan sudah sejak lama menjadi pembahasan mulai dari kajian yang bersifat filosofis hingga praktis. Tema ini pula yang melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum yang berbeda-beda. Sesungguhnya tidak ada satu aliran pun yang menolak bahwa hukum tak terpisahkan dengan keadilan. Perbedaannya hanya kapan dan apa ukuran keadilan.
Pandangan positivistik tidak menolak bahwa hukum salah satu instrumen sosial. Dengan sendirinya diakui bahwa hukum adalah alat atau media untuk mencapai dan mewujudkan sesuatu. Yang hendak dicapai adalah keadilan sebagai dasar untuk mewujudkan ketertiban sosial berdasarkan nilainilai tertentu yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Keadilan menjadi dasar ketertiban sosial karena di dalam keadilan terdapat perlindungan terhadap kepentingan individu dan masyarakat sekaligus. Namun, kaum positivis berpandangan bahwa persoalan hukum dan keadilan sudah selesai ketika hukum dalam arti peraturan perundang-undangan atau putusan hakim telah selesai dibuat. Keadilan bukan bagian dari persoalan hukum, melainkan persoalan pembuatan hukum.
Seorang juris, termasuk aparat hukum, harus percaya bahwa hukum yang ada telah dibuat dengan niatan baik untuk menegakkan keadilan. Hukum adalah bentuk objektif dari keadilan yang semula bersifat subjektif. Karena itu, hukum positif sudah pasti adil. Dengan menegakkan hukum positif berarti menegakkan keadilan yang objektif. Keadilan di luar hukum positif dan putusan pengadilan adalah keadilan subjektif yang bertentangan dengan karakter keilmuan hukum.
Keadilan Masyarakat
Di mana ada masyarakat di situ ada hukum ”ubi societas ibi ius”. Pernyataan ini tidak hanya bermakna bahwa keberadaan hukum bersamaan dengan keberadaan masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa hukum ada sebagai instrumen untuk membentuk kehidupan bermasyarakat.
Karena itu, orientasi dari hukum adalah masyarakat itu sendiri. Keadilan yang hendak dicapai dan diwujudkan adalah keadilan masyarakat. Karena hukum adalah instrumen sosial, hukum tidak dibuat untuk hukum itu sendiri. Ini mengandung konsekuensi bahwa penegakan hukum tidak semata-mata ditujukan agar aturan hukum terlaksana. Dalil ini telah dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai salah satu karakter hukum progresif.
Pernyataan ini juga berarti bahwa hukum tidak dibuat untuk para yuris dan aparat penegak hukum, melainkan untuk manusia dan masyarakat. Karena itu, yang semestinya menjadi ukuran keadilan dalam penegakan hukum juga bukan aturan hukum tertulis dan pendapat ahlihukum, melainkan kesesuaiannya dengan nilai kemanusiaan dan pendapat umum masyarakat.
Pandangan bahwa keadilan yang objektif ada di dalam aturan hukum tertulis mengandung tiga kelemahan mendasar. Pertama, pembentukan aturan hukum tertulis tidak selalu berada pada ruang dan waktu ideal yang memungkinkan keadilan menjadi pertimbangan utama dalam perumusan norma.
Apalagi jika hukum dipahami sebagai produk politik, artinya produk dari kontestasi berbagai kepentingan masyarakat di mana kelompok yang memiliki kekuatan lebih memiliki potensi yang lebih besar untuk memengaruhi hukum demi melindungi kepentingannya. Kedua, aturan hukum tertulis memiliki keterbatasan dalam menjangkau berbagai variasi kasus.
Keterbatasan ini lahir karena keterbatasan pembentuk hukum dalam memperkirakan peristiwa-peristiwa yang akan diatur dengan hukum yang dibuat. Keterbatasan juga melekat pada aturan hukum tertulis karena keharusan rumusannya yang umum dan abstrak. Substansi keadilan yang dipercaya bersifat objektif dalam aturan hukum tertulis belum tentu relevan dengan perkembangan peristiwa yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh pembentuk hukum.
Ketiga, keadilan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Pemikiran, apalagi ”rasa” keadilan, juga mengalami perkembangan dan bahkan pergeseran seiring perkembangan nilai dan perikehidupan masyarakat. Ini sesungguhnya juga diakui oleh kaum positivis dengan menyatakan bahwa keadilan bersifat subjektif.
Subjektivitas dalam hal ini tidak berarti berbedabeda antara satu manusia dan manusia yang lain, melainkan berkembang sesuai zamannya. Keadilan objektif masyarakat tetap ada sama halnya dengan adanya nilai bersama (common value) yang dapat ditangkap oleh nurani dan akal pikiran manusia. Dalam penegakan hukum, ketiga kelemahan tersebut mengakibatkan hukum berjarak dengan masyarakatnya.
Objektivitas keadilan hukum bisa jadi berseberangan dengan objektivitas keadilan masyarakat. Karena itu, dalam penegakannya hukum harus dinilai dengan keadilan masyarakat. Ini tidak berarti keberadaan aturan hukum tertulis tidak diperlukan lagi. Hukum tertulis tetap diperlukan sebagai pedoman perilaku masyarakat dan pedoman para penegak hukum.
Namun, hukum tertulis tidak boleh dimutlakkan bahkan ketika berseberangan dengan keadilan masyarakat. Pada saat hukum ditegakkan dengan menabrak keadilan masyarakat, saat itu hukum telah kehilangan hakikatnya sebagai instrumen keberadaan masyarakat. Hukum justru merusak keadilan dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Janedjri M Gaffar
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
(ftr)