Antara Bandung, Jakarta, dan Prioritas
A
A
A
HANDI SAPTA MUKTI, SSI MM
Praktisi Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
Pemerintah berencana membangun jalur kereta api super cepat Jakarta- Bandung dengan nilai proyek Rp60 triliun, demikian diberitakan oleh KORAN SINDO pada 13 April 2015.
Pertanyaannya, apakah perlu? Untuk kepentingan apa? Dan apa urgensi dan manfaatnya? Apakah hanya untuk peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diadakan tidak setahun sekali itu kita harus menghamburkan anggaran sebesaritu? Tidakkahdanasebesar itu lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun jalurjalur baru transportasi publik (KA/monorel/ MRT) seperti Tangerang-Jakarta, Bogor-Jakarta, Bekasi-Jakarta, dan inner/ outer MRT di sekitar Jakarta.
Akan jauh lebih besar manfaat yang bisa didapat dengan membangun infrastruktur transportasi publik di wilayah-wilayah tersebut yang hingga saat ini masih didera dengan masalah kemacetan lalu lintas. Seperti diketahui, kemacetan di jalan berdampak sangat besar bagi kehidupan masyarakat perkotaan baik materiil maupun nonmateriil.
Tidak itu saja, kemacetan juga mengganggu sendi-sendi perekonomian nasional, apalagi hingga saat ini Jakarta masih menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis nasional dan kotakota di sekitarnya merupakan sentra-sentra industri nasional maupun internasional. Buruknya sistem transportasi di wilayah tersebut akan berdampak langsung pada buruknya jalur distribusi dan logistik yang berakibat pada biaya dan daya saing produk.
Fakta Buruk Infrastruktur Logistik Indonesia
Berdasarkan Logistic Performance Index(LPI) 2014, Indonesia menempati urutan ke-53 dari 150 negara, berada di bawah Malaysia (25), Thailand (35), China (28), Singapura (5), dan Vietnam (48). Peringkat LPI terbaik Indonesia berada di urutan ke-42 pada 2007, namun bukannya membaik indeks logistik Indonesia malah terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Bahkan pada survei yang dilakukan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) barubaru ini Indonesia menempati urutan terendah dari 11 negara yang disurvei. Dari skala 1 sampai 5, nilai indeks kinerja logistik Indonesia berada di kisaran 2.5, sedangkan Singapura berada di peringkat pertama dengan nilai 4,25. Adapun ke-11 negara yang disurvei adalah Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Brasil, Afrika Selatan, Chili, India, Meksiko, dan Indonesia.
Dengan kondisi demikian, Indonesia menjadi negara yang mempunyai daya saing terendah di antara negara-negara tersebut. Kinerja logistik akan berpengaruh langsung terhadap biaya serta harga barang dan jasa, serta ketersediaan atas komoditas yang diproduksi dan diperdagangkan. Sederhananya, bila 11 negara tadi diminta untuk memproduksi barang yang sama, harga produksi dan distribusi barang yang dibuat di Indonesia akan menjadi paling mahal di antara negara lainnya.
Demikian pula untuk arus ekspor dan impor barang akan turut terhambat dengan buruknya infrastruktur logistik di Indonesia yang berakibat pada tingginya harga komoditas tersebut. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo menyampaikan akibat-buruknya infrastruktur logistik, Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp3.125 triliun setiap tahunnya (Kompas.com, 25/2), sebuah angka yang tidak sedikit.
Seharusnya pemerintah tidak buta dan tuli atas fakta-fakta buruk di atas, apalagi hal tersebut sudah berlangsung lama. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah saat ini lebih fokus membenahi fasilitas infrastruktur transportasi dan logistik tersebut dengan menyediakan transportasi publik yang memadai, membangun jalur-jalur kereta/ monorel/MRT/LRT baru untuk memperluas cakupan dan jangkauan pelayanan jasa angkutan massal agar semakin banyak masyarakat yang dapat menggunakannya dan mau beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Kita juga memerlukan jalur kereta api logistik untuk mengurangi beban jalan dari truk-truk pengangkut logistik. Pemerintah pun harus mempersiapkan sistem dan aturan yang ketat untuk mengelolanya agar muatan barang dengan jarak dan beban tertentu diharuskan menggunakan kereta api logistik. Untuk menunjang hal itu, akses jalur kereta api harus ditambah mulai dari pelabuhan, antarkota, serta dari dan ke sentra-sentra industri.
Faktor Kepemimpinan
Memang akan dibutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk mewujudkan itu semua. Karena itu, dengan keterbatasan dan sumber daya yang ada, akan lebih bijak dan cerdas jika pemerintah memfokuskan anggaran dan sumber daya yang tersedia pada pembangunan infrastruktur logistik.
Berdasarkan data dari Kementrian PPN/ BAPPENAS, RAPBN-P Indonesia 2015 telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp290 triliun atau meningkat dari rencana semula sebesar Rp189.7 triliun sehingga diperlukan tambahan anggaran sekitar Rp100 triliun untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur 2015 tersebut. Itu pun masih di bawah nilai ideal untuk anggaran pembangunan infrastruktur yang seharusnya minimal 5% dari total PDB.
Jika pada 2014 PDB Indonesia Rp10.583 triliun, seharusnya anggaran infrastruktur yang dialokasikan negara berada di angka Rp500 triliun! Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi sangat penting yaitu kepemimpinan yang mempunyai visi, cerdas, dan tegas. Pemimpin yang mempunyai visi artinya mempunyai mimpi dan tujuan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa ini dalam lima atau sepuluh tahun ke depan.
Mimpi seorang pemimpin adalah mimpi yang harus dapat diwujudkan. Pemimpin juga haruscerdasdalammenemukanjalan untuk mewujudkan visi dan mimpinya tersebut dengan mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki, juga cerdas dalam memilah dan membuat prioritas atas program kerja mana yang harus segera dilaksanakan dan mana yang tidak.
Di sini kecerdasan seorang pemimpin juga diuji dalam menilai manaprogram yang mempunyai dampak besar dan memberikan multiple efek positif yang luas dan mana yang tidak karena itulah yang harus diprioritaskan. Pemimpin tentu juga harus tegas dan berani dalam membuka jalan untuk mewujudkan visinya tersebut, tegas dalam mengambil keputusan, memberikan arah dan membuat kebijakan.
Tidak mudah dipengaruhi oleh ihwal lainnya di luar kepentingan untuk mewujudkan tujuan. Dalam hal ini Presiden selaku pimpinan tertinggi negara mempunyai peran sentral dalam menentukan arah, mengambil keputusan dan bertindak untuk memecahkan berbagai persoalan dan membuat prioritas program pembangunan infrastruktur tersebut.
Jadi, kembali pada rencana pembangunan jalur kereta api super cepat Jakarta Bandung di atas, menurut hemat saya, proyek itu tidak mempunyai nilai urgensi yang tinggi dan seharusnya bukan prioritas saat ini. Masih banyak pekerjaan yang lebih penting yang harus dijalankan, khususnya yang terkait pembangunan infrastruktur.
Sudah terlalu lama kita hidup dalam kebodohan, ketidak efisienan, dan pemborosan yang tidak perlu akibat dari keputusan-keputusan pemimpin kita yang kurang cerdas dan mengakibatkan pembangunan menjadi salah arah. Semoga ke depan mereka mampu mengambil keputusan yang sesuai visi, cerdas, dan tegas. Kita dapat segera keluar dari lingkaran pemborosan dan ketidakefisienan yang berlarutlarut selama ini.
Praktisi Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
Pemerintah berencana membangun jalur kereta api super cepat Jakarta- Bandung dengan nilai proyek Rp60 triliun, demikian diberitakan oleh KORAN SINDO pada 13 April 2015.
Pertanyaannya, apakah perlu? Untuk kepentingan apa? Dan apa urgensi dan manfaatnya? Apakah hanya untuk peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diadakan tidak setahun sekali itu kita harus menghamburkan anggaran sebesaritu? Tidakkahdanasebesar itu lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun jalurjalur baru transportasi publik (KA/monorel/ MRT) seperti Tangerang-Jakarta, Bogor-Jakarta, Bekasi-Jakarta, dan inner/ outer MRT di sekitar Jakarta.
Akan jauh lebih besar manfaat yang bisa didapat dengan membangun infrastruktur transportasi publik di wilayah-wilayah tersebut yang hingga saat ini masih didera dengan masalah kemacetan lalu lintas. Seperti diketahui, kemacetan di jalan berdampak sangat besar bagi kehidupan masyarakat perkotaan baik materiil maupun nonmateriil.
Tidak itu saja, kemacetan juga mengganggu sendi-sendi perekonomian nasional, apalagi hingga saat ini Jakarta masih menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis nasional dan kotakota di sekitarnya merupakan sentra-sentra industri nasional maupun internasional. Buruknya sistem transportasi di wilayah tersebut akan berdampak langsung pada buruknya jalur distribusi dan logistik yang berakibat pada biaya dan daya saing produk.
Fakta Buruk Infrastruktur Logistik Indonesia
Berdasarkan Logistic Performance Index(LPI) 2014, Indonesia menempati urutan ke-53 dari 150 negara, berada di bawah Malaysia (25), Thailand (35), China (28), Singapura (5), dan Vietnam (48). Peringkat LPI terbaik Indonesia berada di urutan ke-42 pada 2007, namun bukannya membaik indeks logistik Indonesia malah terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Bahkan pada survei yang dilakukan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) barubaru ini Indonesia menempati urutan terendah dari 11 negara yang disurvei. Dari skala 1 sampai 5, nilai indeks kinerja logistik Indonesia berada di kisaran 2.5, sedangkan Singapura berada di peringkat pertama dengan nilai 4,25. Adapun ke-11 negara yang disurvei adalah Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Brasil, Afrika Selatan, Chili, India, Meksiko, dan Indonesia.
Dengan kondisi demikian, Indonesia menjadi negara yang mempunyai daya saing terendah di antara negara-negara tersebut. Kinerja logistik akan berpengaruh langsung terhadap biaya serta harga barang dan jasa, serta ketersediaan atas komoditas yang diproduksi dan diperdagangkan. Sederhananya, bila 11 negara tadi diminta untuk memproduksi barang yang sama, harga produksi dan distribusi barang yang dibuat di Indonesia akan menjadi paling mahal di antara negara lainnya.
Demikian pula untuk arus ekspor dan impor barang akan turut terhambat dengan buruknya infrastruktur logistik di Indonesia yang berakibat pada tingginya harga komoditas tersebut. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo menyampaikan akibat-buruknya infrastruktur logistik, Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp3.125 triliun setiap tahunnya (Kompas.com, 25/2), sebuah angka yang tidak sedikit.
Seharusnya pemerintah tidak buta dan tuli atas fakta-fakta buruk di atas, apalagi hal tersebut sudah berlangsung lama. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah saat ini lebih fokus membenahi fasilitas infrastruktur transportasi dan logistik tersebut dengan menyediakan transportasi publik yang memadai, membangun jalur-jalur kereta/ monorel/MRT/LRT baru untuk memperluas cakupan dan jangkauan pelayanan jasa angkutan massal agar semakin banyak masyarakat yang dapat menggunakannya dan mau beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Kita juga memerlukan jalur kereta api logistik untuk mengurangi beban jalan dari truk-truk pengangkut logistik. Pemerintah pun harus mempersiapkan sistem dan aturan yang ketat untuk mengelolanya agar muatan barang dengan jarak dan beban tertentu diharuskan menggunakan kereta api logistik. Untuk menunjang hal itu, akses jalur kereta api harus ditambah mulai dari pelabuhan, antarkota, serta dari dan ke sentra-sentra industri.
Faktor Kepemimpinan
Memang akan dibutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk mewujudkan itu semua. Karena itu, dengan keterbatasan dan sumber daya yang ada, akan lebih bijak dan cerdas jika pemerintah memfokuskan anggaran dan sumber daya yang tersedia pada pembangunan infrastruktur logistik.
Berdasarkan data dari Kementrian PPN/ BAPPENAS, RAPBN-P Indonesia 2015 telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp290 triliun atau meningkat dari rencana semula sebesar Rp189.7 triliun sehingga diperlukan tambahan anggaran sekitar Rp100 triliun untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur 2015 tersebut. Itu pun masih di bawah nilai ideal untuk anggaran pembangunan infrastruktur yang seharusnya minimal 5% dari total PDB.
Jika pada 2014 PDB Indonesia Rp10.583 triliun, seharusnya anggaran infrastruktur yang dialokasikan negara berada di angka Rp500 triliun! Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi sangat penting yaitu kepemimpinan yang mempunyai visi, cerdas, dan tegas. Pemimpin yang mempunyai visi artinya mempunyai mimpi dan tujuan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa ini dalam lima atau sepuluh tahun ke depan.
Mimpi seorang pemimpin adalah mimpi yang harus dapat diwujudkan. Pemimpin juga haruscerdasdalammenemukanjalan untuk mewujudkan visi dan mimpinya tersebut dengan mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki, juga cerdas dalam memilah dan membuat prioritas atas program kerja mana yang harus segera dilaksanakan dan mana yang tidak.
Di sini kecerdasan seorang pemimpin juga diuji dalam menilai manaprogram yang mempunyai dampak besar dan memberikan multiple efek positif yang luas dan mana yang tidak karena itulah yang harus diprioritaskan. Pemimpin tentu juga harus tegas dan berani dalam membuka jalan untuk mewujudkan visinya tersebut, tegas dalam mengambil keputusan, memberikan arah dan membuat kebijakan.
Tidak mudah dipengaruhi oleh ihwal lainnya di luar kepentingan untuk mewujudkan tujuan. Dalam hal ini Presiden selaku pimpinan tertinggi negara mempunyai peran sentral dalam menentukan arah, mengambil keputusan dan bertindak untuk memecahkan berbagai persoalan dan membuat prioritas program pembangunan infrastruktur tersebut.
Jadi, kembali pada rencana pembangunan jalur kereta api super cepat Jakarta Bandung di atas, menurut hemat saya, proyek itu tidak mempunyai nilai urgensi yang tinggi dan seharusnya bukan prioritas saat ini. Masih banyak pekerjaan yang lebih penting yang harus dijalankan, khususnya yang terkait pembangunan infrastruktur.
Sudah terlalu lama kita hidup dalam kebodohan, ketidak efisienan, dan pemborosan yang tidak perlu akibat dari keputusan-keputusan pemimpin kita yang kurang cerdas dan mengakibatkan pembangunan menjadi salah arah. Semoga ke depan mereka mampu mengambil keputusan yang sesuai visi, cerdas, dan tegas. Kita dapat segera keluar dari lingkaran pemborosan dan ketidakefisienan yang berlarutlarut selama ini.
(bbg)