Hentikan Hibah Mobil Pejabat!
A
A
A
Laode Ida
Pengajar di Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ, Mantan Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya beberapa waktu lalu menarik Perpres No 39/2015 tentang tunjangan uang muka mobil pejabat setelah memperoleh reaksi atau penolakan dari masyarakat luas terkait nominal yang dinilai melampaui kewajaran.
Anehnya, justru Jokowi sendiri dikabarkan ternyata tidak tahu tentang besaran jumlah dana hibah untuk fasilitas pejabat itu. Atau, dengan kata lain, jika informasi itu benar, Jokowi hanya membubuhkan tanda tangan di atas konsep yang diusulkan oleh pihak administrator Istana ekspresi dari sikap percaya saja terhadap staf di sekitarnya.
Kekeliruan administrasi pihak Istana yang sudah diakui Seskab Andi Wijayanto itu memang harus dijadikan pelajaran dan perhatian serius oleh Presiden Jokowi. Jangan sampai mekanisme berwatak ”siluman” itu terus dimainkan oleh kelompok-kelompok berkepentingan tertentu dengan memanfaatkan kebaikan dan sekaligus kelengahan Jokowi, di mana kemudian akan terus jadi bahan olok-olokan publik bangsa ini.
Singkat kata, kasus seperti ini tak boleh lagi terjadi pada masa mendatang. Lepas dari prosedur administrasi Istana yang keliru itu, pertanyaannya sekarang terkait dengan dasar kelayakan dan kepantasan sehingga perlu kebijakan pemberian dana hibah pembelian mobil untuk para pejabat. Saya menduga substansi pertanyaan ini tak pernah dibahas oleh pihak Presiden (Istana).
Pertimbangannya hanya berdasarkan usulan dari para pejabat politik, utamanya dari pihak pimpinan parlemen di Senayan, dengan berdasarkan kebiasaan ”kebijakan tunjangan” untuk periode lima tahunan. Karena sudah jadi kebiasaan, setiap awal masa jabatan politik selalu ada porsi alokasi anggaran negara (APBN) untuk pembelian mobil baru bagi pimpinan lembagalembaga negara, sementara para anggota hanya diberikan berupa tunjangan uang muka di mana setiap periode nominalnya terus meningkat.
Ketika tahun ini diusulkan Rp210 juta per anggota dengan total lebih dari Rp158 miliar, berarti kenaikannya lebih dari 100% dibanding dengan lima tahun lalu. Namun, pembatalan kenaikan anggaran tunjangan mobil pejabat itu tampaknya bukan berarti meniadakan porsi dana untuk pos alokasi yang sama. Boleh jadi hanya ditunda dan atau akan diturunkan nilai nominalnya, atau setidaknya disamakan dengan nilai nominal lima tahun lalu.
Itu artinya, para pejabat masih akan tetap saja menikmati anggaran negara itu kendati mereka akan sedikit merasa kecewa karena sudah tertunda. Hanya sebagian kecil pejabat yang tidak akan peduli apakah anggaran itu jadi direalisasikan atau tidak; bahkan sebagian dari mereka sudah menyatakan menolaknya.
*** Para pejabat bangsa ini memang sudah terbiasa dimanja dengan materi. Apalagi bagi pihak-pihak yang merasa memiliki kewenangan dalam menentukan anggaran negara, biasanya selalu mulus ketika mengusulkan keperluan untuk mempersejahtera orang-orang yang berada di barisannya.
Padahal di tengah sikap kritis dari tak sedikit warga bangsa ini yang semakin kuat, sementara produktivitas pejabat negara terkait dengan kepentingan rakyat yang masih belum meyakinkan, bahkan sebaliknya, mengalami krisis kepercayaan, seharusnya penggelontoran dana gratis seperti itu haruslah dihentikan.
Mengapa? Pertama, anggaran negara yang dihabiskan oleh para pejabat itu bulannya sudah sangat banyak, bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap bulannya, mulai dari gaji sampai berbagai tunjangan termasuk di dalamnya honor-honor kunjungan kerja atau rapat baik di kantor maupun di hotel-hotel dan biaya sewa rumah.
Itu semua belum termasuk uang perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri yang diberikan dengan sistem lumpsum (di mana alokasi harga bussiness class, namun umumnya digunakan tiket ekonomi) dan juga dana reses dengan jumlah lebih dari seratus juta per anggota; yang semuanya hanya perlu pertanggungjawaban administrasi (bisa dimanipulasi).
Tepatnya, dalam kondisi hidup yang normal, sebenarnya uang yang diterima oleh para pejabat itu sudah jauh berada di atas rata-rata pendapatan rakyat Indonesia pada umumnya sehingga rasanya sudah terlalu berlebihan jika terus memenuhi syahwat mereka untuk menggerus uang negara lagi. Kedua, jika dana APBN itu terus direalisasikan, sungguh-sungguh mengekspresikan jiwajiwa penyelenggara negara yang jauh dari rakyat.
Bukankah mereka adalah bagian dari yang dipilih oleh rakyat, di mana masih banyak kebutuhan rakyat yang belum terlayani dan seharusnya menjadi bagian dari kewajiban asasi pejabat untuk memprioritaskannya? Catatlah, misalnya, ada satu keluarga di Kediri, Jawa Timur, yang bunuh diri (awal April ini) akibat ketaksanggupan menghadapi beban hidup/ekonomi, sementara para pejabat terus saja berpesta- pora dengan kemewahan dan kucuran dana dari negara.
Para pejabat itu juga tentu sudah menyaksikan salah satu tayangan sebuah stasiun TV (juga awal April ini), di mana seorang bocah berusia enam tahun di Sulawesi Selatan harus merawat orang tuanya yang menderita sakit dengan kondisi ekonomi miskin. Masih sedikit beruntung bagi keluarga yang disebut terakhir karena dapat sentuhan kepedulian dari penggiat media sosial. Namun, di banyak kasus kehidupan warga miskin yang takterekspos, tentu saja mereka tetap menikmati penderitaan.
Sekali lagi, para pejabat terus saja dilayani dengan anggaran yang seharusnya jadi hak para keluarga miskin itu. Singkat kata, kalau kebijakan penggelontoran anggaran seperti itu, samahalnya denganmelegitimasi para pejabat merampas hak rakyat yang seharusnya dapat pelayanan prioritas. Ketiga, dana hibah untuk fasilitas kendaraan itu niscaya akan semakin melabel karakter dasar dan orientasi pejabat negara kita sebagai pemanfaat posisi dengan ”aji mumpung”.
Ya..., mumpung jadi pejabat dan punya kesempatan untuk menggarap uang rakyat, bisa wujudkan impian untuk bersenang- senang atau hedonistis. Karena sebenarnya jika diperiksa satu persatu, umumnya para pejabat itu sudah miliki kendaraan roda empat (bahkan bisa lebih dari satu unit mobil) pribadi yang bisa digunakan untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari.
Dengan begitu, uang hibah untuk beli mobil itu belum tentu digunakan untuk tujuan sesuai alokasi anggarannya. Jika pun dibelikan kendaraan baru (sebagai uang muka), berarti mereka akan turut berkontribusi dalam menambah kemacetan di Jakarta, termasuk di dalamnya memperboros bahan bakar. Tepatnya, dana hibah untuk kendaraan pejabat itu kian menggiring pejabat kita ke dalam kehidupan yang high mass consumption dengan watak hedonistis.
Padahal, mereka seharusnya memberikan contoh bagaimana mewujudkan penghematan anggaran dan hidup sederhana. Inilah ironi yang harus direnungkan baik oleh para pejabat yang sedang menunggu realisasi anggaran itu maupun Presiden Jokowi yang mungkin tetap akan kembali keluarkan perpres baru.
Pengajar di Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ, Mantan Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya beberapa waktu lalu menarik Perpres No 39/2015 tentang tunjangan uang muka mobil pejabat setelah memperoleh reaksi atau penolakan dari masyarakat luas terkait nominal yang dinilai melampaui kewajaran.
Anehnya, justru Jokowi sendiri dikabarkan ternyata tidak tahu tentang besaran jumlah dana hibah untuk fasilitas pejabat itu. Atau, dengan kata lain, jika informasi itu benar, Jokowi hanya membubuhkan tanda tangan di atas konsep yang diusulkan oleh pihak administrator Istana ekspresi dari sikap percaya saja terhadap staf di sekitarnya.
Kekeliruan administrasi pihak Istana yang sudah diakui Seskab Andi Wijayanto itu memang harus dijadikan pelajaran dan perhatian serius oleh Presiden Jokowi. Jangan sampai mekanisme berwatak ”siluman” itu terus dimainkan oleh kelompok-kelompok berkepentingan tertentu dengan memanfaatkan kebaikan dan sekaligus kelengahan Jokowi, di mana kemudian akan terus jadi bahan olok-olokan publik bangsa ini.
Singkat kata, kasus seperti ini tak boleh lagi terjadi pada masa mendatang. Lepas dari prosedur administrasi Istana yang keliru itu, pertanyaannya sekarang terkait dengan dasar kelayakan dan kepantasan sehingga perlu kebijakan pemberian dana hibah pembelian mobil untuk para pejabat. Saya menduga substansi pertanyaan ini tak pernah dibahas oleh pihak Presiden (Istana).
Pertimbangannya hanya berdasarkan usulan dari para pejabat politik, utamanya dari pihak pimpinan parlemen di Senayan, dengan berdasarkan kebiasaan ”kebijakan tunjangan” untuk periode lima tahunan. Karena sudah jadi kebiasaan, setiap awal masa jabatan politik selalu ada porsi alokasi anggaran negara (APBN) untuk pembelian mobil baru bagi pimpinan lembagalembaga negara, sementara para anggota hanya diberikan berupa tunjangan uang muka di mana setiap periode nominalnya terus meningkat.
Ketika tahun ini diusulkan Rp210 juta per anggota dengan total lebih dari Rp158 miliar, berarti kenaikannya lebih dari 100% dibanding dengan lima tahun lalu. Namun, pembatalan kenaikan anggaran tunjangan mobil pejabat itu tampaknya bukan berarti meniadakan porsi dana untuk pos alokasi yang sama. Boleh jadi hanya ditunda dan atau akan diturunkan nilai nominalnya, atau setidaknya disamakan dengan nilai nominal lima tahun lalu.
Itu artinya, para pejabat masih akan tetap saja menikmati anggaran negara itu kendati mereka akan sedikit merasa kecewa karena sudah tertunda. Hanya sebagian kecil pejabat yang tidak akan peduli apakah anggaran itu jadi direalisasikan atau tidak; bahkan sebagian dari mereka sudah menyatakan menolaknya.
*** Para pejabat bangsa ini memang sudah terbiasa dimanja dengan materi. Apalagi bagi pihak-pihak yang merasa memiliki kewenangan dalam menentukan anggaran negara, biasanya selalu mulus ketika mengusulkan keperluan untuk mempersejahtera orang-orang yang berada di barisannya.
Padahal di tengah sikap kritis dari tak sedikit warga bangsa ini yang semakin kuat, sementara produktivitas pejabat negara terkait dengan kepentingan rakyat yang masih belum meyakinkan, bahkan sebaliknya, mengalami krisis kepercayaan, seharusnya penggelontoran dana gratis seperti itu haruslah dihentikan.
Mengapa? Pertama, anggaran negara yang dihabiskan oleh para pejabat itu bulannya sudah sangat banyak, bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap bulannya, mulai dari gaji sampai berbagai tunjangan termasuk di dalamnya honor-honor kunjungan kerja atau rapat baik di kantor maupun di hotel-hotel dan biaya sewa rumah.
Itu semua belum termasuk uang perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri yang diberikan dengan sistem lumpsum (di mana alokasi harga bussiness class, namun umumnya digunakan tiket ekonomi) dan juga dana reses dengan jumlah lebih dari seratus juta per anggota; yang semuanya hanya perlu pertanggungjawaban administrasi (bisa dimanipulasi).
Tepatnya, dalam kondisi hidup yang normal, sebenarnya uang yang diterima oleh para pejabat itu sudah jauh berada di atas rata-rata pendapatan rakyat Indonesia pada umumnya sehingga rasanya sudah terlalu berlebihan jika terus memenuhi syahwat mereka untuk menggerus uang negara lagi. Kedua, jika dana APBN itu terus direalisasikan, sungguh-sungguh mengekspresikan jiwajiwa penyelenggara negara yang jauh dari rakyat.
Bukankah mereka adalah bagian dari yang dipilih oleh rakyat, di mana masih banyak kebutuhan rakyat yang belum terlayani dan seharusnya menjadi bagian dari kewajiban asasi pejabat untuk memprioritaskannya? Catatlah, misalnya, ada satu keluarga di Kediri, Jawa Timur, yang bunuh diri (awal April ini) akibat ketaksanggupan menghadapi beban hidup/ekonomi, sementara para pejabat terus saja berpesta- pora dengan kemewahan dan kucuran dana dari negara.
Para pejabat itu juga tentu sudah menyaksikan salah satu tayangan sebuah stasiun TV (juga awal April ini), di mana seorang bocah berusia enam tahun di Sulawesi Selatan harus merawat orang tuanya yang menderita sakit dengan kondisi ekonomi miskin. Masih sedikit beruntung bagi keluarga yang disebut terakhir karena dapat sentuhan kepedulian dari penggiat media sosial. Namun, di banyak kasus kehidupan warga miskin yang takterekspos, tentu saja mereka tetap menikmati penderitaan.
Sekali lagi, para pejabat terus saja dilayani dengan anggaran yang seharusnya jadi hak para keluarga miskin itu. Singkat kata, kalau kebijakan penggelontoran anggaran seperti itu, samahalnya denganmelegitimasi para pejabat merampas hak rakyat yang seharusnya dapat pelayanan prioritas. Ketiga, dana hibah untuk fasilitas kendaraan itu niscaya akan semakin melabel karakter dasar dan orientasi pejabat negara kita sebagai pemanfaat posisi dengan ”aji mumpung”.
Ya..., mumpung jadi pejabat dan punya kesempatan untuk menggarap uang rakyat, bisa wujudkan impian untuk bersenang- senang atau hedonistis. Karena sebenarnya jika diperiksa satu persatu, umumnya para pejabat itu sudah miliki kendaraan roda empat (bahkan bisa lebih dari satu unit mobil) pribadi yang bisa digunakan untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari.
Dengan begitu, uang hibah untuk beli mobil itu belum tentu digunakan untuk tujuan sesuai alokasi anggarannya. Jika pun dibelikan kendaraan baru (sebagai uang muka), berarti mereka akan turut berkontribusi dalam menambah kemacetan di Jakarta, termasuk di dalamnya memperboros bahan bakar. Tepatnya, dana hibah untuk kendaraan pejabat itu kian menggiring pejabat kita ke dalam kehidupan yang high mass consumption dengan watak hedonistis.
Padahal, mereka seharusnya memberikan contoh bagaimana mewujudkan penghematan anggaran dan hidup sederhana. Inilah ironi yang harus direnungkan baik oleh para pejabat yang sedang menunggu realisasi anggaran itu maupun Presiden Jokowi yang mungkin tetap akan kembali keluarkan perpres baru.
(ars)