Tidak Kapok Kena OTT
A
A
A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koruptor yang sedang bertransaksi suap kembali dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lagi-lagi yang menjadi sasaran anggota DPR, dan kali ini menimpa Adriansyah dari Komisi IV Fraksi PDI Perjuangan saat pelaksanaan kongres di Bali (9/4/2015). Realitas ini menjadi bukti sahih bahwa anggota DPR tidak ada kapoknya kena jeratan OTT dari KPK. Padahal, mereka berpredikat wakil rakyat yang selalu dihormati, tetapi tidak dipelihara dengan perilaku yang bisa dijadikan panutan.
Sudah begitu banyak anggota parlemen ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena terbukti melakukan korupsi atau mengantongi uang suap. Tetapi kenapa tidak menimbulkan rasa takut bagi legislator yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Mereka belum benar- benar kebal terhadap godaan korupsi, padahal gaji dan tunjangan mereka begitu besar diberikan oleh negara.
Hal yang cukup memprihatinkan karena Adriansyah sebelum menjadi anggota DPR adalah bupati dua periode di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Kabarnya dia juga berencana akan mengikuti pemilihan gubernur pada Desember 2015. Apakah ada kaitannya dengan pilkada serentak yang memang butuh dana besar, sehingga harus menyebar jejaring untuk menjala sebanyak mungkin dana besar untuk biaya kampanye? Meskipun KPK, sesuai pemberitaan, belummenemukandugaan mengumpulkan dana untuk kepentingan pilkada, tetapi KPK tidak boleh mengabaikan dugaan itu.
Indikasi itu harus dipertajam dan diseriusi, sebab orang yang memberikan suap dan yang kena OTT adalah pengusaha di bidang pertambangan. Iniselalumenjadimotifdalamsetiap transaksi suap oleh calon kepala daerah menjelang pilkada. Selalu ada oknum pengusaha hitam yang ikut bermain dengan memanfaatkan kebutuhan dana besar untuk biaya pilkada.
Sumpah Jabatan
Sebelum seorang anggota DPR memangku jabatan dia harus mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama dengan anggota lain dalam rapat paripurna DPR. Sumpah/janji anggota DPR tertera dalam Pasal 78 UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, danDPRD.
Ada tiga substansi dalam sumpah/ janji anggota DPR. Pertama, akan memenuhi kewajiban sebagai anggota DPR dengan sebaik- baiknyadanseadil-adilnya. Setiap anggota DPR dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus sesuai peraturan perundang-undangan, berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak akan melakukan korupsi, tidak menerima suap karena hal itu dilarang dalam UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/ 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, dalam menjalankan kewajiban, setiap anggota DPR akan bekerja dengan sungguhsungguh untuk menegakkan kehidupan demokrasi, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Ketiga, memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tetapi godaan korupsi karena merasa gaji dan tunjangan tidak cukup bukan lagi persoalan sumpah jabatan, melainkan integritas moral dan kewibawaan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Tetapi godaan korupsi tidak mengenal kedudukan, pangkat, dan gelar akademik. Siapa pun bisa terjerat korupsi, dari penegak hukum, anggota legislatif, termasuk profesor sekalipun. Realitasnya, selama ini nyaris tidak ada lembaga negara di negeri ini yang mampu mengklaim diri sebagai institusi yang kebal dari godaan korupsi.
Berbagai modus korupsi, permainan transaksi uang suap dan gratifikasi sebagai bentuk lain korupsi sudah diketahui, tetapi nyaris tidak mampu ditepis oleh mereka yang memiliki kesempatan. Niat untuk korupsi tersebar dalam hati para pemegang kekuasaan, mereka tinggal menunggu ”kesempatan” untuk mewujudkannya. Tidak sedikit anggota DPR secara sadar melakukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena ada kewenangan besar yang dimilikinya.
Kasus Adriansyah yang terjerat OTT perlu dijadikan sinyal pengingat bahwa anggota DPR tidak kapok digiring ke ruang tahanan KPK dengan memakai rompi warna oranye. Mereka tidak merasa malu tampil di layar televisi, bahkan ada yang melambaikan tangan sambil tersenyum seolah tidak punya beban, meskipun senyumnya terlihat kecut. Kasus Adriansyah juga mengingatkan bahwa sumpah jabatan tidak berfungsi menjadi instrumen penyadaran bagi sebagian anggota DPR dalam melaksanakan amanah rakyat.
Jeratan Izin Proyek
Ternyata pemberian izin untuk proyek-proyek fisik sudah menjadi motif suap dan gratifikasi. Ia menjadi ladang subur untuk mendapatkan dana dalam jumlah besar secara tidak halal. Keuntungan finansial yang diperoleh dari transaksi ilegal itu dilakukan dengan menyalahgunakan wewenang. Pengusaha hitam yang sering menggunakan cara curang untuk mendapatkan proyek yang dibiayai dari uang negara, juga begitu lihai merayu pejabat negara untuk ikut berbuat curang.
Jeratan izin proyek yang membawa oknum pejabat negara ke balik terali besi itu karena kewenangan besar yang dimiliki pejabat memberi peluang untuk menyalahgunakan wewenang. Ini sangat relevan dengan kekuasaan DPR dalam menjalankan fungsi anggaran yang membuka peluang besar untuk disalahgunakan. Maka, semakin benarlah sinyalemen Lord Acton, seorang pemikir Inggris yang sangat terkemuka bahwa ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” atau kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut (mutlak) korupsinya juga besar.
Kekuasaan besar itu bisa dilihat saat perwira tinggi kepolisian diusulkan presiden menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadi hakim agung, atau pimpinan KPK harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh anggota DPR. Tanpa persetujuan DPR, tidak bisa calon bersangkutan menduduki jabatan itu.
Begitu pula dalam pembahasan anggaran negara di DPR. Sebetulnya putusan Mahkamah Konstitusi sudah membatasi kewenangan anggota DPR. Namun, masih saja ada oknum anggota DPR yang berani mencari peruntungan dengan janji utak-atik pembahasan proyek. Berbagai peraturan perundang- undangan mencegah penyelenggara negara untuk melakukan korupsi.
KPK juga diberi tugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi, melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 6 UU KPK). Anggota DPR pun diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Sayangnya semua upaya pencegahan itu hanya eksis di atas kertas, tetapi lemah implementasinya.
Ternyata, ketentuan pencegahan itu tidak lebih dari upaya formalitas, sekadar menunjukkan kepada publik telah dilakukan pencegahan, tetapi kesannya hanya membangun citra. Wajar jika kemudian OTT perlu terus diintensifkan KPK, terutama pada transaksi suap yang sangat sulit ditelusuri dengan cara konvensional.
Transaksi suap hanya efektif ditangkap tangan jika ada kewenangan menyadap telepon para pelaku tentang di mana transaksi itu dilakukan. Realitas selama ini, pemberi dan penerima suap tidak pernah membuat kuitansi penerimaan uang suap yang bisa dijadikan alat bukti. Semoga kasus Adriansyah yang terjerat OTT bisa menjadi efek rasa takut bagi penyelenggara negara lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koruptor yang sedang bertransaksi suap kembali dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lagi-lagi yang menjadi sasaran anggota DPR, dan kali ini menimpa Adriansyah dari Komisi IV Fraksi PDI Perjuangan saat pelaksanaan kongres di Bali (9/4/2015). Realitas ini menjadi bukti sahih bahwa anggota DPR tidak ada kapoknya kena jeratan OTT dari KPK. Padahal, mereka berpredikat wakil rakyat yang selalu dihormati, tetapi tidak dipelihara dengan perilaku yang bisa dijadikan panutan.
Sudah begitu banyak anggota parlemen ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena terbukti melakukan korupsi atau mengantongi uang suap. Tetapi kenapa tidak menimbulkan rasa takut bagi legislator yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Mereka belum benar- benar kebal terhadap godaan korupsi, padahal gaji dan tunjangan mereka begitu besar diberikan oleh negara.
Hal yang cukup memprihatinkan karena Adriansyah sebelum menjadi anggota DPR adalah bupati dua periode di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Kabarnya dia juga berencana akan mengikuti pemilihan gubernur pada Desember 2015. Apakah ada kaitannya dengan pilkada serentak yang memang butuh dana besar, sehingga harus menyebar jejaring untuk menjala sebanyak mungkin dana besar untuk biaya kampanye? Meskipun KPK, sesuai pemberitaan, belummenemukandugaan mengumpulkan dana untuk kepentingan pilkada, tetapi KPK tidak boleh mengabaikan dugaan itu.
Indikasi itu harus dipertajam dan diseriusi, sebab orang yang memberikan suap dan yang kena OTT adalah pengusaha di bidang pertambangan. Iniselalumenjadimotifdalamsetiap transaksi suap oleh calon kepala daerah menjelang pilkada. Selalu ada oknum pengusaha hitam yang ikut bermain dengan memanfaatkan kebutuhan dana besar untuk biaya pilkada.
Sumpah Jabatan
Sebelum seorang anggota DPR memangku jabatan dia harus mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama dengan anggota lain dalam rapat paripurna DPR. Sumpah/janji anggota DPR tertera dalam Pasal 78 UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, danDPRD.
Ada tiga substansi dalam sumpah/ janji anggota DPR. Pertama, akan memenuhi kewajiban sebagai anggota DPR dengan sebaik- baiknyadanseadil-adilnya. Setiap anggota DPR dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus sesuai peraturan perundang-undangan, berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak akan melakukan korupsi, tidak menerima suap karena hal itu dilarang dalam UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/ 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, dalam menjalankan kewajiban, setiap anggota DPR akan bekerja dengan sungguhsungguh untuk menegakkan kehidupan demokrasi, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Ketiga, memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tetapi godaan korupsi karena merasa gaji dan tunjangan tidak cukup bukan lagi persoalan sumpah jabatan, melainkan integritas moral dan kewibawaan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Tetapi godaan korupsi tidak mengenal kedudukan, pangkat, dan gelar akademik. Siapa pun bisa terjerat korupsi, dari penegak hukum, anggota legislatif, termasuk profesor sekalipun. Realitasnya, selama ini nyaris tidak ada lembaga negara di negeri ini yang mampu mengklaim diri sebagai institusi yang kebal dari godaan korupsi.
Berbagai modus korupsi, permainan transaksi uang suap dan gratifikasi sebagai bentuk lain korupsi sudah diketahui, tetapi nyaris tidak mampu ditepis oleh mereka yang memiliki kesempatan. Niat untuk korupsi tersebar dalam hati para pemegang kekuasaan, mereka tinggal menunggu ”kesempatan” untuk mewujudkannya. Tidak sedikit anggota DPR secara sadar melakukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena ada kewenangan besar yang dimilikinya.
Kasus Adriansyah yang terjerat OTT perlu dijadikan sinyal pengingat bahwa anggota DPR tidak kapok digiring ke ruang tahanan KPK dengan memakai rompi warna oranye. Mereka tidak merasa malu tampil di layar televisi, bahkan ada yang melambaikan tangan sambil tersenyum seolah tidak punya beban, meskipun senyumnya terlihat kecut. Kasus Adriansyah juga mengingatkan bahwa sumpah jabatan tidak berfungsi menjadi instrumen penyadaran bagi sebagian anggota DPR dalam melaksanakan amanah rakyat.
Jeratan Izin Proyek
Ternyata pemberian izin untuk proyek-proyek fisik sudah menjadi motif suap dan gratifikasi. Ia menjadi ladang subur untuk mendapatkan dana dalam jumlah besar secara tidak halal. Keuntungan finansial yang diperoleh dari transaksi ilegal itu dilakukan dengan menyalahgunakan wewenang. Pengusaha hitam yang sering menggunakan cara curang untuk mendapatkan proyek yang dibiayai dari uang negara, juga begitu lihai merayu pejabat negara untuk ikut berbuat curang.
Jeratan izin proyek yang membawa oknum pejabat negara ke balik terali besi itu karena kewenangan besar yang dimiliki pejabat memberi peluang untuk menyalahgunakan wewenang. Ini sangat relevan dengan kekuasaan DPR dalam menjalankan fungsi anggaran yang membuka peluang besar untuk disalahgunakan. Maka, semakin benarlah sinyalemen Lord Acton, seorang pemikir Inggris yang sangat terkemuka bahwa ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” atau kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut (mutlak) korupsinya juga besar.
Kekuasaan besar itu bisa dilihat saat perwira tinggi kepolisian diusulkan presiden menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadi hakim agung, atau pimpinan KPK harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh anggota DPR. Tanpa persetujuan DPR, tidak bisa calon bersangkutan menduduki jabatan itu.
Begitu pula dalam pembahasan anggaran negara di DPR. Sebetulnya putusan Mahkamah Konstitusi sudah membatasi kewenangan anggota DPR. Namun, masih saja ada oknum anggota DPR yang berani mencari peruntungan dengan janji utak-atik pembahasan proyek. Berbagai peraturan perundang- undangan mencegah penyelenggara negara untuk melakukan korupsi.
KPK juga diberi tugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi, melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 6 UU KPK). Anggota DPR pun diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Sayangnya semua upaya pencegahan itu hanya eksis di atas kertas, tetapi lemah implementasinya.
Ternyata, ketentuan pencegahan itu tidak lebih dari upaya formalitas, sekadar menunjukkan kepada publik telah dilakukan pencegahan, tetapi kesannya hanya membangun citra. Wajar jika kemudian OTT perlu terus diintensifkan KPK, terutama pada transaksi suap yang sangat sulit ditelusuri dengan cara konvensional.
Transaksi suap hanya efektif ditangkap tangan jika ada kewenangan menyadap telepon para pelaku tentang di mana transaksi itu dilakukan. Realitas selama ini, pemberi dan penerima suap tidak pernah membuat kuitansi penerimaan uang suap yang bisa dijadikan alat bukti. Semoga kasus Adriansyah yang terjerat OTT bisa menjadi efek rasa takut bagi penyelenggara negara lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
(ars)