Kasih dan Keadilan Sosial
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog
Dalam rangka persiapan Sidang Raya Gereja-Gereja Se-Asia pada Mei mendatang, CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) menyinggung tentang tingginya kesenjangan sosial ekonomi di negeri kita.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) itu, untuk membuat Indonesia maju di masa depan, fokus negara ini harus berubah salah satunya memberi bantuan kepada pelaku ekonomi kelas menengah ke bawah (KORAN SINDO, 29/3). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti pemerataan adalah sebuah ancaman nyata di depan mata.
Jurang ketimpangan ekonomi akan melebarkan kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin. Sedangkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Andrinof Chaniago membeberkan bahwa kesenjangan di tengah masyarakat sudah dalam kondisi berbahaya yang bisa meledak setiap saat.
Itu didasarkan pada rasio gini atau koefisien sebagai alat ukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk di antaranya terkait pendapatan yang sudah mencapai 0,43 (Tajuk, KORAN SINDO,12/2). Situasi ini memang bukan hanya terjadi di negeri kita. Di level global pun terjadi kesenjangan.
Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Orang terkaya bisa mencatatkan namanya di media seperti di majalah Forbes atau Fortune. Hurun Research Institute belum lama ini merilis daftar orang terkaya di dunia pada 2015. Pendiri Microsoft, Bill Gates, masih menjadi pemuncak dalam laporan yang bertajuk ”Hurun Global Rich List 2015” itu, yang dirilis pada Selasa (3/2).
Di dalam daftar yang memuat 2.089 miliarder dari 68 negara tersebut, terdapat 24 miliarder asal Indonesia. Pemilik perusahaan rokok Djarum, Michael Hartono, menjadi yang paling kaya di Indonesia dengan menempati peringkat ke-185 secara keseluruhan. Sedangkan bagi yang miskin jangan berharap akan disinggung namanya dalam rilis tersebut.
Kalau toh ada daftar orang paling miskin atau orang paling menderita di dunia, pasti bisa sangat panjang. Mungkin bisa ribuan kilometer panjangnya. Andai dibuat daftar demikian, paling juga tak akan laku. Dijamin tak akan ada media yang mau memberitakan. Tidak heran seminar untuk menjadi kaya seperti beternak uang selalu laris manis. Para motivator kekayaan juga laris mendapat order.
Maklum cara tradisional meraih kekayaan, entah lewat pesugihan dengan memelihara tuyul atau babi ngepet ternyata tidak efektif lagi. Karena itu pula, jangan pernah berharap akan ada seminar menjadi miskin atau menderita. Untuk menjadi miskin itu mudah. Tidak perlu seminar atau membaca buku pakar kekayaan Robert T Kiyosaki.
Syukurlah dalam perspektif iman Kristen, Allah tidak membeda- bedakan orang dari sisi ekonomi atau status sosial. Juga ada ajaran agar yang kuat membantu yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin. Puncaknya, dalam perspektif iman Kristen, Allah mau terlibat langsung dalam setiap peristiwa manusia, khususnya manusia yang lemah, miskin, dan tidak berdaya karena Allah adalah kasih.
Ajaran Allah adalah kasih, sebenarnya juga menjadi pandangan agama-agama lain. Dalam wawancara dengan Mahaguru Kei Wakaizumi dari Universitas Kyoto Sangyo, sejarawan Arnold Joseph Toynbee antara lain menyebutkan: ”Semua filsafat dan agama besar kelihatannya saja berbeda. Sepintas lalu Buddha, Islam, Kristen, atau Yahudi seperti menampakkan pandangan saling berseberangan.
Tetapi, semua sebenarnya sama-sama mengajarkan bahwa Allah itu penuh kasih”. Dalam perspektif Kristen, cinta Allah itu paling nyata dalam diri Yesus yang merupakan inkarnasi Firman-Nya yang telah menjadi manusia. Lewat inkarnasi ini, Allah mau menunjukkan solidaritasnya dengan persoalan manusia, khususnya ma-nusia lemah, miskin, dan tak berdaya.
Allah tidak ingin mereka sendirian dalam penderitaan mereka. Ekspresi solidaritas yang paling nyata itu tercermin dalam pilihan Yesus untuk memihak yang lemah, miskin, dan tak berdaya. Sejak datang ke dunia, Yesus bahkan memilih lahir di kandang hewan dan hidup bersama orang tua yang berada dalam strata sosial miskin.
Tak heran, Yesus berani dengan lantang mengecam ketamakan orang kaya dan menyebut lebih mudah seekor unta masuk lobang jarum daripada orang kaya yang rakus dan tamak yang ingin masuk ke surga. Yesus berani mengecam persekongkolan para agamawan Yahudi dengan penguasa dan pengusaha Romawi sehingga kian membuat sengsara orang miskin.
Akibat kecaman pedas itu, Yesus pun ditangkap dan diadili, lalu dihukum mati dengan disalibkan. Memang seperti ditulis J Motlman, salib Yesus mengandung paradoks belas kasih dengan penderitaan. Belas kasih menyingkirkan penderitaan dengan menderita bersama dan demi orang-orang yang menderita( J Moltman,”DieGekuisigde Gott”, dalam N G Teologiese Tydskrif, Maret 1973, hal. 110).
Jadi kalau kita berempati dengan orang yang menderita, namun kita tidak berbagi penderitaan dengan mereka alias kita tidak berbuat apa-apa untuk meringankan beban derita mereka, perasaan demikian sungguh sia-sia saja. Itu sama saja kita menangis melihat adegan jalan salib pada Jumat Agung, namun ketika bertemu orang-orang miskin dan menderita di jalanan, kita hanya menutup mata.
Jadi, Yesus tidak sekadar berempati dengan penderitaan manusia lain, tetapi Dia juga mau menyatu dengan mereka. Salib adalah saksinya. Yesus memikul beban dan beban-Nya adalah salib, menjadi lebih berat. Tetapi, Dia tidak menghindari salib. Ia menerima danmemanggulnya denganrela. Lagi pula Ia sekarang juga sedang mendampingi mereka yang merasa tertekan oleh berbagai ragam penderitaan. Yesus tetap mendampingi mereka sampai titik akhir.
Bagi semua orang dan bersama semua orang, Ia memikulsalibkeKalvaridandisanalah Diadipakupada salibbagi kitasemua. Ia mengalami kematian seorang penjahat, kematian paling hina yang dikenal orang pada masa itu. Itulah sebabnya, kepada orang-orang pada zaman kita yang memikul beban berat akibat berbagai macam penderitaan Dia berpesan: ”Datanglah kepadaku. Aku adalah saudaramu dalam penderitaan.
Tidak ada penghinaan dan kepahitan yang tidak Aku kenal”. (Khotbah Paus Yohanes Paulus II di Aqueduct Racetrack, 1995). Nah, kalau Yesus saja sudah menunjukkan contoh mau solider dengan orang-orang menderita, setiap murid-Nya juga seharusnya berbuat seperti Dia. Kalau kita punya komitmen seperti ini, sebenarnya tidak perlu jurang kaya-miskin makin menganga.
Maka dengan kata lain, siapa pun yang menapaki jalan salib Yesus dan diizinkan menikmati buah paskah-Nya serta menikmati berkat kehidupan yang berkelimpahan tidak boleh menjadi egois, tamak, atau serakah. Namun, Yesus tidak ingin orang kaya yang berkelimpahan hanya memberi uang receh dijalanan pada pengemis atau anak jalanan.
Yesus ingin para murid-Nya bisa membangunsebuahtatananmasyarakat yang berkeadilan dalam persaudaraan seperti cara hidup jemaat perdana. Jangan lupa, kesenjangan lahir karena ada ketidakadilan. Karena itu, solusinya, tidak pernah bisa hanya dengan memberi uang receh. Akar dari ketidakadilan yakni minimnya belas kasih dan egoisme harus disalibkan dan dibabat habis.
Teolog
Dalam rangka persiapan Sidang Raya Gereja-Gereja Se-Asia pada Mei mendatang, CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) menyinggung tentang tingginya kesenjangan sosial ekonomi di negeri kita.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) itu, untuk membuat Indonesia maju di masa depan, fokus negara ini harus berubah salah satunya memberi bantuan kepada pelaku ekonomi kelas menengah ke bawah (KORAN SINDO, 29/3). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti pemerataan adalah sebuah ancaman nyata di depan mata.
Jurang ketimpangan ekonomi akan melebarkan kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin. Sedangkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Andrinof Chaniago membeberkan bahwa kesenjangan di tengah masyarakat sudah dalam kondisi berbahaya yang bisa meledak setiap saat.
Itu didasarkan pada rasio gini atau koefisien sebagai alat ukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk di antaranya terkait pendapatan yang sudah mencapai 0,43 (Tajuk, KORAN SINDO,12/2). Situasi ini memang bukan hanya terjadi di negeri kita. Di level global pun terjadi kesenjangan.
Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Orang terkaya bisa mencatatkan namanya di media seperti di majalah Forbes atau Fortune. Hurun Research Institute belum lama ini merilis daftar orang terkaya di dunia pada 2015. Pendiri Microsoft, Bill Gates, masih menjadi pemuncak dalam laporan yang bertajuk ”Hurun Global Rich List 2015” itu, yang dirilis pada Selasa (3/2).
Di dalam daftar yang memuat 2.089 miliarder dari 68 negara tersebut, terdapat 24 miliarder asal Indonesia. Pemilik perusahaan rokok Djarum, Michael Hartono, menjadi yang paling kaya di Indonesia dengan menempati peringkat ke-185 secara keseluruhan. Sedangkan bagi yang miskin jangan berharap akan disinggung namanya dalam rilis tersebut.
Kalau toh ada daftar orang paling miskin atau orang paling menderita di dunia, pasti bisa sangat panjang. Mungkin bisa ribuan kilometer panjangnya. Andai dibuat daftar demikian, paling juga tak akan laku. Dijamin tak akan ada media yang mau memberitakan. Tidak heran seminar untuk menjadi kaya seperti beternak uang selalu laris manis. Para motivator kekayaan juga laris mendapat order.
Maklum cara tradisional meraih kekayaan, entah lewat pesugihan dengan memelihara tuyul atau babi ngepet ternyata tidak efektif lagi. Karena itu pula, jangan pernah berharap akan ada seminar menjadi miskin atau menderita. Untuk menjadi miskin itu mudah. Tidak perlu seminar atau membaca buku pakar kekayaan Robert T Kiyosaki.
Syukurlah dalam perspektif iman Kristen, Allah tidak membeda- bedakan orang dari sisi ekonomi atau status sosial. Juga ada ajaran agar yang kuat membantu yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin. Puncaknya, dalam perspektif iman Kristen, Allah mau terlibat langsung dalam setiap peristiwa manusia, khususnya manusia yang lemah, miskin, dan tidak berdaya karena Allah adalah kasih.
Ajaran Allah adalah kasih, sebenarnya juga menjadi pandangan agama-agama lain. Dalam wawancara dengan Mahaguru Kei Wakaizumi dari Universitas Kyoto Sangyo, sejarawan Arnold Joseph Toynbee antara lain menyebutkan: ”Semua filsafat dan agama besar kelihatannya saja berbeda. Sepintas lalu Buddha, Islam, Kristen, atau Yahudi seperti menampakkan pandangan saling berseberangan.
Tetapi, semua sebenarnya sama-sama mengajarkan bahwa Allah itu penuh kasih”. Dalam perspektif Kristen, cinta Allah itu paling nyata dalam diri Yesus yang merupakan inkarnasi Firman-Nya yang telah menjadi manusia. Lewat inkarnasi ini, Allah mau menunjukkan solidaritasnya dengan persoalan manusia, khususnya ma-nusia lemah, miskin, dan tak berdaya.
Allah tidak ingin mereka sendirian dalam penderitaan mereka. Ekspresi solidaritas yang paling nyata itu tercermin dalam pilihan Yesus untuk memihak yang lemah, miskin, dan tak berdaya. Sejak datang ke dunia, Yesus bahkan memilih lahir di kandang hewan dan hidup bersama orang tua yang berada dalam strata sosial miskin.
Tak heran, Yesus berani dengan lantang mengecam ketamakan orang kaya dan menyebut lebih mudah seekor unta masuk lobang jarum daripada orang kaya yang rakus dan tamak yang ingin masuk ke surga. Yesus berani mengecam persekongkolan para agamawan Yahudi dengan penguasa dan pengusaha Romawi sehingga kian membuat sengsara orang miskin.
Akibat kecaman pedas itu, Yesus pun ditangkap dan diadili, lalu dihukum mati dengan disalibkan. Memang seperti ditulis J Motlman, salib Yesus mengandung paradoks belas kasih dengan penderitaan. Belas kasih menyingkirkan penderitaan dengan menderita bersama dan demi orang-orang yang menderita( J Moltman,”DieGekuisigde Gott”, dalam N G Teologiese Tydskrif, Maret 1973, hal. 110).
Jadi kalau kita berempati dengan orang yang menderita, namun kita tidak berbagi penderitaan dengan mereka alias kita tidak berbuat apa-apa untuk meringankan beban derita mereka, perasaan demikian sungguh sia-sia saja. Itu sama saja kita menangis melihat adegan jalan salib pada Jumat Agung, namun ketika bertemu orang-orang miskin dan menderita di jalanan, kita hanya menutup mata.
Jadi, Yesus tidak sekadar berempati dengan penderitaan manusia lain, tetapi Dia juga mau menyatu dengan mereka. Salib adalah saksinya. Yesus memikul beban dan beban-Nya adalah salib, menjadi lebih berat. Tetapi, Dia tidak menghindari salib. Ia menerima danmemanggulnya denganrela. Lagi pula Ia sekarang juga sedang mendampingi mereka yang merasa tertekan oleh berbagai ragam penderitaan. Yesus tetap mendampingi mereka sampai titik akhir.
Bagi semua orang dan bersama semua orang, Ia memikulsalibkeKalvaridandisanalah Diadipakupada salibbagi kitasemua. Ia mengalami kematian seorang penjahat, kematian paling hina yang dikenal orang pada masa itu. Itulah sebabnya, kepada orang-orang pada zaman kita yang memikul beban berat akibat berbagai macam penderitaan Dia berpesan: ”Datanglah kepadaku. Aku adalah saudaramu dalam penderitaan.
Tidak ada penghinaan dan kepahitan yang tidak Aku kenal”. (Khotbah Paus Yohanes Paulus II di Aqueduct Racetrack, 1995). Nah, kalau Yesus saja sudah menunjukkan contoh mau solider dengan orang-orang menderita, setiap murid-Nya juga seharusnya berbuat seperti Dia. Kalau kita punya komitmen seperti ini, sebenarnya tidak perlu jurang kaya-miskin makin menganga.
Maka dengan kata lain, siapa pun yang menapaki jalan salib Yesus dan diizinkan menikmati buah paskah-Nya serta menikmati berkat kehidupan yang berkelimpahan tidak boleh menjadi egois, tamak, atau serakah. Namun, Yesus tidak ingin orang kaya yang berkelimpahan hanya memberi uang receh dijalanan pada pengemis atau anak jalanan.
Yesus ingin para murid-Nya bisa membangunsebuahtatananmasyarakat yang berkeadilan dalam persaudaraan seperti cara hidup jemaat perdana. Jangan lupa, kesenjangan lahir karena ada ketidakadilan. Karena itu, solusinya, tidak pernah bisa hanya dengan memberi uang receh. Akar dari ketidakadilan yakni minimnya belas kasih dan egoisme harus disalibkan dan dibabat habis.
(bbg)