Menguatkan Kembali Cita Kebangsaan
A
A
A
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo
Salah satu kalimat yang seharusnya melekat dalam memori bangsa ini adalah tujuan untuk apa bangsa dan negara ini berdiri.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea terakhir disebutkan bahwa negara dan bangsa ini, melalui pemerintahnya, memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial Untuk menuju dan merealisasikan tujuan tersebut, bangsa ini sudah membekali dirinya dengan UUD 1945 yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan,
serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sinilah esensi demokrasi menemukan perannya. Sila pertama Pancasila menjadi inspirasi bagi sila-sila yang lain. Sementara aktivitas operasionalnya lebih dimainkan oleh sila keempat yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi. Dalamilmupolitik, demokrasi dipahami dalam dua aspek yaitu substansi dan prosedural.
Esensi substantif demokrasi, meminjam apa yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln: ”government from the people, by the people and for the people”. Demokrasi itu sejatinya kegiatan pemerintahan yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sayangnya, demokrasi tidak berhenti di dalam kerangka substansi. Demokrasi harus dilihat juga dari sisi praktik di lapangan.
Di sinilah peran demokrasi sebagai prosedural mendapatkan perhatian. Adalah Joseph Schumpeter (1942) yang mencoba melengkapi pendekatan substansi tentang demokrasi yang cenderung klasik. Shcumpeter menawarkan sebuah” teori lain mengenai demokrasi” (metode demokrasi).
Demokrasi dipahami sebagai sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai kekuasaan yang diraih melalui kontestasi politik. Sementara Samuel Huntington mengemukakan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat.
Dengan mengikuti tradisi Shcumpeterian, Huntington mendefinisikan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui proses pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala.
Semua calon bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih. Dengan demikian, esensi sistem politik demokrasi adalah terwujudnya kebebasan politik rakyat dalam mengekspresikan preferensi dan hakhak politiknya serta ada rekrutmen politik terbuka dan pemilihan umum yang langsung, bebas, dan adil.
Pertarungan Politik
Tidak jarang kemudian yang terjadi dalam tataran praktik lapangan, demokrasi ibarat sekadar pertarungan, panggung kontestasi elite. Konflik di sejumlah partai politik terkait dualisme kepengurusan partai seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya, polemik pemilihan Kapolri, sampai pada tarik-menarik dukungan di legislatif seperti ketegangan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi suguhan politik dari elite kepada publik.
Namun, satu yang terkesan hilang, yaitu partisipasi publik. Berpijak dari hal tersebut menjadi maklum jika kemudian muncul kecenderungan sistem politik yang memunculkan dua arus besar yaitu arus yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (populis), tapi juga ada kecenderungan munculnya arus yang berorientasi pada kepentingan kelompok kekuasaan elite (elitis).
Di mata sentimen publik selama ini arus kedua yang cenderung mendominasi panggung politik di negeri ini. Arus populis dimaknai sebagai kekuatan dinamika publik yang di dalamnya ada masyarakat sipil yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik dan perubahan. Munculnya berbagai kekuatan civil society dalam tataran masyarakat menjadi simbol arus ini meski akses terhadap kekuasaan cenderung relatif tidak dekat.
Sementara kecenderungan arus elite tentu lebih dikuasai oleh kaum elite. Mereka lebih menonjolkan perilaku elite politik maupun birokrat yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme cenderung lahir atas kuatnya arus elite ini. Dalam pendekatan transisi demokrasi seperti yang dialami Indonesia pascaruntuh rezim politik Orde Baru Soeharto yang otoriter pada 1998, duaarustersebut bertarung dalam sebuah kondisi liberalisasi politik.
Ini disebut oleh ilmuwan politik O’Donnell dan Schmitter sebagai fase yang secara teoritis sebagai ”fase transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana.” Liberalisasi ini tidak lepas dari pemaknaan demokrasi sebagai hak dan kebebasan yang ”sebebas-bebasnya” sehingga yang muncul kemudian bukanlah perilaku yang memberikan kontribusi bagi upaya demokratisasi dan reformasi.
Perilaku politik para elite yang kurang beretika, institusi legislatif, pers, dan masyarakat sipil yang menjalankan demokrasi cenderung masih kurang menjunjung tinggi nilai-nilai etika berdemokrasi akhirnya melahirkan perilaku dan kondisi yang ”korup dan chaos”. Kondisi ini dikhawatirkan akan memunculkan arus balik demokrasi menuju otoritarianisme baru.
Otoritarianisme baru jangan sekadar dibayangkan kita kembali ke era Soeharto dengan munculnya sosok dari generasi Soeharto atau sosok yang mendewakan kekuasaan Orde Baru. Tidak sekadar itu. Otoritarianisme model baru juga berlaku ketika kondisi politik cenderung lebih banyak dikuasai oleh arus politik yang lebih mengutamakan kepentingan politiknya.
Arus politik yang mengingkari janji-janji reformasi. Arus politik yang mengingkari kepentingan rakyat. Untuk itu, penulis melihat arus ini memang tidak bisa dihindari dan dicegah, namun bisa dilawan dengan membangun kembali kesadaran bahwa bangsa ini masih memiliki nilai yang diperjuangkan, melebihi nafsu politik berjangka pendek.
Politik kebangsaan menjadi kebutuhan sekaligus kerinduan di tengah semakin jauhnya harapan rakyat dengan elitenya, semakin berjaraknya kebutuhan rakyat dengan pemenuhannya, semakin terkikisnya kesadaran berbangsa karena terkalahkan oleh sentimen kelompok. Setiap energi bangsa harus membangun komitmen kebangsaan dan menyadari bahwa era transisi demokrasi harus dapat memberikan iklim yang kondusif bagi berlangsungnya konsolidasi demokrasi di semua aspek kehidupan bangsa.
Konsolidasi demokrasi yang berjalan baik akan memberikan jaminan bagi upaya pemantapan dan pengembangan sistem politik demokratis sebagai landasan bagi berlangsungnya proses reformasi yang sudah berlangsung hampir 17 tahun terakhir ini.
Pemerintahan Baik
Penulis melihat salah satu upaya yang relatif efektif untuk menata kembali gerak arus reformasi, agar tetap didominasi arus kekuatan publik sebagai pemilik saham reformasi, bisa dimulai dari terbukanya partisipasi publik pada penataan dan pengelolaan pemerintahan yang baik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan keterlibatan publik pada upaya melahirkan pemimpin yang baik, berkarakter, dan tentu saja bersih.
Selama ini keterlibatan publik sekadar menjadi konsumen dari apa yang sudah disediakan oleh partai politik. Pemilihan kepada daerah misalnya cenderung pada tahap penjaringan calon didominasi oleh partai politik. Mestinya mulai dibuka ruang agar publik turut berperan dalam calon-calon yang dilahirkan. Publik bisa menilai apakah seseorang layak menjadi calon kepala daerah atau tidak.
Publik bisa menjadikan rekam jejak kinerja sang calon sebagai ukuran. Seperti yang digagas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu hasil risetnya yang menyebut perlunya skor pro bonopublik sebagai syarat untuk menjadi anggota Dewan atau kepala pemerintahan. Wakil rakyat harus mempunyai skor pro bono publik agar nanti perihal substantif seperti akuntabilitas, representabilitas, dan responsibilitas terwakili dalam diri orang yang mewakili rakyat.
Skor pro bono publik ini dimaknai sebagai syarat di mana calon wakil rakyat atau calon kepala daerah yang sudah bekerjadulu untuk masyarakat, baru ikut kompetisi. Selama ini yang menjadi calon wakil rakyat, mereka berkampanye dulu dengan janji-janji yang pada akhirnya membuat publik seperti membeli kucing dalam karung. Kita tak tahu siapa dan kualitasnya bagaimana.
Tentu ini menjadi bagian dari agenda untuk memperbaiki agar proses politik tidak lagi terdominasi oleh perilaku elite yang korup, konflik kepentingan partai, sampai pada pertarungan politik yang tidak produktif. Upaya-upaya ini lebih dimaksudkan untuk mengupayakan kembali agar bangsa ini menata lagi cita dan kehendaknya ketika bangsa dan negara ini didirikan.
Seperti yang diungkap oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis, yang mengatakan nasionalisme sebagai ”le desire d’entre ensemble” (kehendak untuk bersatu). Demokrasi yang kita bangun semestinya mengembalikan sekaligus menguatkan kehendak kebangsaan tersebut yang menjadi cita-cita besar bagi negeri ini. Semoga!
Ketua DPP Partai Perindo
Salah satu kalimat yang seharusnya melekat dalam memori bangsa ini adalah tujuan untuk apa bangsa dan negara ini berdiri.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea terakhir disebutkan bahwa negara dan bangsa ini, melalui pemerintahnya, memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial Untuk menuju dan merealisasikan tujuan tersebut, bangsa ini sudah membekali dirinya dengan UUD 1945 yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan,
serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sinilah esensi demokrasi menemukan perannya. Sila pertama Pancasila menjadi inspirasi bagi sila-sila yang lain. Sementara aktivitas operasionalnya lebih dimainkan oleh sila keempat yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi. Dalamilmupolitik, demokrasi dipahami dalam dua aspek yaitu substansi dan prosedural.
Esensi substantif demokrasi, meminjam apa yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln: ”government from the people, by the people and for the people”. Demokrasi itu sejatinya kegiatan pemerintahan yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sayangnya, demokrasi tidak berhenti di dalam kerangka substansi. Demokrasi harus dilihat juga dari sisi praktik di lapangan.
Di sinilah peran demokrasi sebagai prosedural mendapatkan perhatian. Adalah Joseph Schumpeter (1942) yang mencoba melengkapi pendekatan substansi tentang demokrasi yang cenderung klasik. Shcumpeter menawarkan sebuah” teori lain mengenai demokrasi” (metode demokrasi).
Demokrasi dipahami sebagai sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai kekuasaan yang diraih melalui kontestasi politik. Sementara Samuel Huntington mengemukakan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat.
Dengan mengikuti tradisi Shcumpeterian, Huntington mendefinisikan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui proses pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala.
Semua calon bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih. Dengan demikian, esensi sistem politik demokrasi adalah terwujudnya kebebasan politik rakyat dalam mengekspresikan preferensi dan hakhak politiknya serta ada rekrutmen politik terbuka dan pemilihan umum yang langsung, bebas, dan adil.
Pertarungan Politik
Tidak jarang kemudian yang terjadi dalam tataran praktik lapangan, demokrasi ibarat sekadar pertarungan, panggung kontestasi elite. Konflik di sejumlah partai politik terkait dualisme kepengurusan partai seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya, polemik pemilihan Kapolri, sampai pada tarik-menarik dukungan di legislatif seperti ketegangan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi suguhan politik dari elite kepada publik.
Namun, satu yang terkesan hilang, yaitu partisipasi publik. Berpijak dari hal tersebut menjadi maklum jika kemudian muncul kecenderungan sistem politik yang memunculkan dua arus besar yaitu arus yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (populis), tapi juga ada kecenderungan munculnya arus yang berorientasi pada kepentingan kelompok kekuasaan elite (elitis).
Di mata sentimen publik selama ini arus kedua yang cenderung mendominasi panggung politik di negeri ini. Arus populis dimaknai sebagai kekuatan dinamika publik yang di dalamnya ada masyarakat sipil yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik dan perubahan. Munculnya berbagai kekuatan civil society dalam tataran masyarakat menjadi simbol arus ini meski akses terhadap kekuasaan cenderung relatif tidak dekat.
Sementara kecenderungan arus elite tentu lebih dikuasai oleh kaum elite. Mereka lebih menonjolkan perilaku elite politik maupun birokrat yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme cenderung lahir atas kuatnya arus elite ini. Dalam pendekatan transisi demokrasi seperti yang dialami Indonesia pascaruntuh rezim politik Orde Baru Soeharto yang otoriter pada 1998, duaarustersebut bertarung dalam sebuah kondisi liberalisasi politik.
Ini disebut oleh ilmuwan politik O’Donnell dan Schmitter sebagai fase yang secara teoritis sebagai ”fase transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana.” Liberalisasi ini tidak lepas dari pemaknaan demokrasi sebagai hak dan kebebasan yang ”sebebas-bebasnya” sehingga yang muncul kemudian bukanlah perilaku yang memberikan kontribusi bagi upaya demokratisasi dan reformasi.
Perilaku politik para elite yang kurang beretika, institusi legislatif, pers, dan masyarakat sipil yang menjalankan demokrasi cenderung masih kurang menjunjung tinggi nilai-nilai etika berdemokrasi akhirnya melahirkan perilaku dan kondisi yang ”korup dan chaos”. Kondisi ini dikhawatirkan akan memunculkan arus balik demokrasi menuju otoritarianisme baru.
Otoritarianisme baru jangan sekadar dibayangkan kita kembali ke era Soeharto dengan munculnya sosok dari generasi Soeharto atau sosok yang mendewakan kekuasaan Orde Baru. Tidak sekadar itu. Otoritarianisme model baru juga berlaku ketika kondisi politik cenderung lebih banyak dikuasai oleh arus politik yang lebih mengutamakan kepentingan politiknya.
Arus politik yang mengingkari janji-janji reformasi. Arus politik yang mengingkari kepentingan rakyat. Untuk itu, penulis melihat arus ini memang tidak bisa dihindari dan dicegah, namun bisa dilawan dengan membangun kembali kesadaran bahwa bangsa ini masih memiliki nilai yang diperjuangkan, melebihi nafsu politik berjangka pendek.
Politik kebangsaan menjadi kebutuhan sekaligus kerinduan di tengah semakin jauhnya harapan rakyat dengan elitenya, semakin berjaraknya kebutuhan rakyat dengan pemenuhannya, semakin terkikisnya kesadaran berbangsa karena terkalahkan oleh sentimen kelompok. Setiap energi bangsa harus membangun komitmen kebangsaan dan menyadari bahwa era transisi demokrasi harus dapat memberikan iklim yang kondusif bagi berlangsungnya konsolidasi demokrasi di semua aspek kehidupan bangsa.
Konsolidasi demokrasi yang berjalan baik akan memberikan jaminan bagi upaya pemantapan dan pengembangan sistem politik demokratis sebagai landasan bagi berlangsungnya proses reformasi yang sudah berlangsung hampir 17 tahun terakhir ini.
Pemerintahan Baik
Penulis melihat salah satu upaya yang relatif efektif untuk menata kembali gerak arus reformasi, agar tetap didominasi arus kekuatan publik sebagai pemilik saham reformasi, bisa dimulai dari terbukanya partisipasi publik pada penataan dan pengelolaan pemerintahan yang baik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan keterlibatan publik pada upaya melahirkan pemimpin yang baik, berkarakter, dan tentu saja bersih.
Selama ini keterlibatan publik sekadar menjadi konsumen dari apa yang sudah disediakan oleh partai politik. Pemilihan kepada daerah misalnya cenderung pada tahap penjaringan calon didominasi oleh partai politik. Mestinya mulai dibuka ruang agar publik turut berperan dalam calon-calon yang dilahirkan. Publik bisa menilai apakah seseorang layak menjadi calon kepala daerah atau tidak.
Publik bisa menjadikan rekam jejak kinerja sang calon sebagai ukuran. Seperti yang digagas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu hasil risetnya yang menyebut perlunya skor pro bonopublik sebagai syarat untuk menjadi anggota Dewan atau kepala pemerintahan. Wakil rakyat harus mempunyai skor pro bono publik agar nanti perihal substantif seperti akuntabilitas, representabilitas, dan responsibilitas terwakili dalam diri orang yang mewakili rakyat.
Skor pro bono publik ini dimaknai sebagai syarat di mana calon wakil rakyat atau calon kepala daerah yang sudah bekerjadulu untuk masyarakat, baru ikut kompetisi. Selama ini yang menjadi calon wakil rakyat, mereka berkampanye dulu dengan janji-janji yang pada akhirnya membuat publik seperti membeli kucing dalam karung. Kita tak tahu siapa dan kualitasnya bagaimana.
Tentu ini menjadi bagian dari agenda untuk memperbaiki agar proses politik tidak lagi terdominasi oleh perilaku elite yang korup, konflik kepentingan partai, sampai pada pertarungan politik yang tidak produktif. Upaya-upaya ini lebih dimaksudkan untuk mengupayakan kembali agar bangsa ini menata lagi cita dan kehendaknya ketika bangsa dan negara ini didirikan.
Seperti yang diungkap oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis, yang mengatakan nasionalisme sebagai ”le desire d’entre ensemble” (kehendak untuk bersatu). Demokrasi yang kita bangun semestinya mengembalikan sekaligus menguatkan kehendak kebangsaan tersebut yang menjadi cita-cita besar bagi negeri ini. Semoga!
(bbg)