Pak Menko, Melautlah!
A
A
A
M RIZA DAMANIK
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Tidak terasa, Kabinet Kerja yang prioritas kemaritiman sebagai salah satu cirinya telah menghabiskan empat bulan pertama periode pemerintahannya. Meski telah membentuk kementerian koordinator khusus di bidang kemaritiman, persoalan klasik seputar ”koordinasi” masih terus menghadang.
Merujuk pada Pasal 2 Peraturan Presiden RI No 10 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kemenko ini memiliki tugas pokok menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman.
Sedangkan di Pasal 4 disebutkan, lingkup koordinasinya meliputi: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementeriaan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, dan instansi lain yang dianggap perlu. Mengapa tidak? Nyatanya, urusan laut dan kelautan nyaris tak pernah berdiri sendiri. Selalu beririsan dengan dinamika ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan hidup, termasuk pertahanan dan keamanan, baik ditingkatlokal, nasional, bahkan (tidak jarang) internasional.
Minus Koordinasi
Kasus paling aktual terkait efektivitas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI; beserta gejolak ikutannya. Terdapat beberapa indikasi lemahnya kinerja koordinasi tersebut. Pertama, gagal menyegerakan sinergi antara KKP dan Kementerian Perhubungan terkait pemantapan-ukuran gross akte sejumlah kapal ikan cantrang.
Hasil pemantauan acak Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP ditiga pelabuhan perikanan pantai masing-masing Tasik Agung, Tegalsari, dan Bajomulyo, Provinsi Jawa Tengah ditemukan selisih gross akte kapal ikan cantrang bervariasi, mulai dari 11 hingga 102 GT. Celakanya, nyaris tiga bulan sejak temuan ini diungkap ke publik, belum ada strategi komprehensif yang ditawarkan pemerintah untuk menyegerakan pengukuran ulang sederet kapal ikan tersebut.
Padahal, tanpa akurasi gross akte, mustahil KKP (maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah) dapat mengeluarkan izin baru. Kedua, terkait sinergi dengan sektor perbankan. Pada medio Maret 2015, seorang ibu pemilik kapal cantrang asal Kabupaten Rembang menemui saya. Ibu ini (bersama enam orang anggota kelompoknya) menamakan diri sebagai kelompok cantrang-pemula.
Mereka beralih menggunakan cantrang baru empat bulan sebelum Menteri Susi Pudjiastuti mengeluarkan Permen 2/2015. Motivasinya pun sangat sederhana, sebatas keinginan untuk membenahi perekonomian keluarga dan mempersiapkan biaya sekolah anak masuk perguruan tinggi tahun depan. Celakanya lagi, untuk beralih ke cantrang, mereka (baca: si ibu bersama enam orang anggota kelompoknya) tidak cukup hanya dengan menjual kapal-kapal ikan milik mereka yang berukuran kecil.
Juga, harus ditambah dengan mengagunkan sejumlahsurattanahdanrumahke bank untuk mendapatkan pinjaman modal pada kisaran Rp1,1-1,5 miliar. Nah, kini cantrang berhenti beroperasi! Mereka pun kesulitan untuk membayar cicilan utang ke bank sebesar Rp49 juta setiap bulannya. Terdapat ratusan atau bahkan ribuan keluarga pengguna cantrang tengah menghadapi persoalan pelik serupa.
Saya percaya, apa pun alasannya, tidaklah adil membiarkan pemilik cantrang-pemula sendirian menghadapi beban ini. Apalagi ketidakmampuannya membayar utang lebih disebabkan ketidaktegasan pemerintah masa lalu maupun keputusan pemerintahan hari ini yang mengeluarkan PermenKP 2/2015. Begitu juga halnya keterlibatan pihak perbankan.
Baik langsung ataupun tidak langsung, bank telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dengan membiarkan nasabahnya (secara jamak) menggunakan dana kredit untuk melakukan aktivitas yang dilarang pemerintah. Di sinilah peran koordinasi antara kementerian teknis dan pihak perbankan menjadi sangat strategis guna melindungi dan menyelamatkan masa depan perikanan rakyat.
Terakhir, koordinasi juga diperlukan dalam rangka pengawalan masa transisi. Pasal 6 PermenKP 2/2015 menyatakan surat izin penangkapan ikan (SIPI) dengan pukat hela dan tarik yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 masih tetap berlaku hingga habis masanya. Tanpa ada koordinasi dengan aparat penegak hukum, kepastian dan kenyamanan dalam berusaha semakin sulit dinikmati para nelayan dan pemilik kapal.
Solusi Cepat
Selain membutuhkan visi untuk (kembali) melaut, bangsa ini juga membutuhkan safety untuk melaut dengan selamat. Begitu pun strategi pemerintah memastikan keberlanjutan pengelolaan perikanan Indonesia: membutuhkan pertimbangan sosiologis dan antropologis guna mengefektifkan strategi konservasi sumber daya perairan Indonesia.
Secara lebih operasional, Kemenko Maritim seharusnya dapat memfasilitasi KKP dan Kementerian Perhubungan untuk menuntaskan rencana aksi pemantapan- akurasi gross akte kapal ikan di seluruh Indonesia, termasuk dengan skema perizinan mudah, murah, dan transparan. Menko maritim bahkan dapat ikut mengawal efektivitas nota kesepahaman bersama (NKB) antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan seluruh Kementerian dan Lembaga Tinggi Negara,
khususnya yang di bawah koordinasi langsung menko maritim (baca: KKP dan Kementerian Perhubungan) untuk mencegah kebocoran dari sektor perizinan kapal ikan. Apalagi, Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi telah mengatakan, saat ini sekitar 70% dari 1.444 perusahaan pemilik kapal di atas 30 GT belum memiliki NPWP.
Selanjutnya menko maritim juga dapat berkoordinasi dengan menko perekonomian untuk memfasilitasi KKP dan (setidaktidaknya) dengan sejumlah bank ”plat merah” seperti BRI dan Mandiri terkait upaya restrukturisasi utang pemilik kapal cantrang. Harapannya, sembari menunggu proses peralihan alat tangkapdanpemulihanekonomi nelayan, pada periode enam bulan hingga satu tahun ke depan, pemilik cantrang diharapkan boleh menunda pembayaran utangnya tanpa dikenakan denda.
Jika substansi ini dapat disepakati oleh bank milik pemerintah, di kemudian hari akan memudahkan pemerintah mengajak bank swasta merestrukturisasi utang nelayan cantrang lainnya. Terakhir, bersama-sama menteri koordinator bidang politik, hukum, dan HAM, memfasilitasi KKP, aparat keamanan dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk bersama-sama memastikan tidak terjadi diskriminasi dan kriminalisasi selama masa transisi.
Dengan begitu, ada kepastian atas izin yang telah didapatkan oleh para pemilik kapal cantrang sebelum PermenKP 2/2015 ditandatangani menteri. Sulit membayangkan peran strategis Kemenko Maritim dapat mendukung tekad Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia bila gagal menyinergikan penyelesaian polemik cantrang secara adil dan tuntas. Kita tidak boleh lagi mundur meski maju pun akan selalu mendapati masalah klasik: koordinasi. Pak Menko, melautlah!
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Tidak terasa, Kabinet Kerja yang prioritas kemaritiman sebagai salah satu cirinya telah menghabiskan empat bulan pertama periode pemerintahannya. Meski telah membentuk kementerian koordinator khusus di bidang kemaritiman, persoalan klasik seputar ”koordinasi” masih terus menghadang.
Merujuk pada Pasal 2 Peraturan Presiden RI No 10 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kemenko ini memiliki tugas pokok menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman.
Sedangkan di Pasal 4 disebutkan, lingkup koordinasinya meliputi: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementeriaan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, dan instansi lain yang dianggap perlu. Mengapa tidak? Nyatanya, urusan laut dan kelautan nyaris tak pernah berdiri sendiri. Selalu beririsan dengan dinamika ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan hidup, termasuk pertahanan dan keamanan, baik ditingkatlokal, nasional, bahkan (tidak jarang) internasional.
Minus Koordinasi
Kasus paling aktual terkait efektivitas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI; beserta gejolak ikutannya. Terdapat beberapa indikasi lemahnya kinerja koordinasi tersebut. Pertama, gagal menyegerakan sinergi antara KKP dan Kementerian Perhubungan terkait pemantapan-ukuran gross akte sejumlah kapal ikan cantrang.
Hasil pemantauan acak Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP ditiga pelabuhan perikanan pantai masing-masing Tasik Agung, Tegalsari, dan Bajomulyo, Provinsi Jawa Tengah ditemukan selisih gross akte kapal ikan cantrang bervariasi, mulai dari 11 hingga 102 GT. Celakanya, nyaris tiga bulan sejak temuan ini diungkap ke publik, belum ada strategi komprehensif yang ditawarkan pemerintah untuk menyegerakan pengukuran ulang sederet kapal ikan tersebut.
Padahal, tanpa akurasi gross akte, mustahil KKP (maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah) dapat mengeluarkan izin baru. Kedua, terkait sinergi dengan sektor perbankan. Pada medio Maret 2015, seorang ibu pemilik kapal cantrang asal Kabupaten Rembang menemui saya. Ibu ini (bersama enam orang anggota kelompoknya) menamakan diri sebagai kelompok cantrang-pemula.
Mereka beralih menggunakan cantrang baru empat bulan sebelum Menteri Susi Pudjiastuti mengeluarkan Permen 2/2015. Motivasinya pun sangat sederhana, sebatas keinginan untuk membenahi perekonomian keluarga dan mempersiapkan biaya sekolah anak masuk perguruan tinggi tahun depan. Celakanya lagi, untuk beralih ke cantrang, mereka (baca: si ibu bersama enam orang anggota kelompoknya) tidak cukup hanya dengan menjual kapal-kapal ikan milik mereka yang berukuran kecil.
Juga, harus ditambah dengan mengagunkan sejumlahsurattanahdanrumahke bank untuk mendapatkan pinjaman modal pada kisaran Rp1,1-1,5 miliar. Nah, kini cantrang berhenti beroperasi! Mereka pun kesulitan untuk membayar cicilan utang ke bank sebesar Rp49 juta setiap bulannya. Terdapat ratusan atau bahkan ribuan keluarga pengguna cantrang tengah menghadapi persoalan pelik serupa.
Saya percaya, apa pun alasannya, tidaklah adil membiarkan pemilik cantrang-pemula sendirian menghadapi beban ini. Apalagi ketidakmampuannya membayar utang lebih disebabkan ketidaktegasan pemerintah masa lalu maupun keputusan pemerintahan hari ini yang mengeluarkan PermenKP 2/2015. Begitu juga halnya keterlibatan pihak perbankan.
Baik langsung ataupun tidak langsung, bank telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dengan membiarkan nasabahnya (secara jamak) menggunakan dana kredit untuk melakukan aktivitas yang dilarang pemerintah. Di sinilah peran koordinasi antara kementerian teknis dan pihak perbankan menjadi sangat strategis guna melindungi dan menyelamatkan masa depan perikanan rakyat.
Terakhir, koordinasi juga diperlukan dalam rangka pengawalan masa transisi. Pasal 6 PermenKP 2/2015 menyatakan surat izin penangkapan ikan (SIPI) dengan pukat hela dan tarik yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 masih tetap berlaku hingga habis masanya. Tanpa ada koordinasi dengan aparat penegak hukum, kepastian dan kenyamanan dalam berusaha semakin sulit dinikmati para nelayan dan pemilik kapal.
Solusi Cepat
Selain membutuhkan visi untuk (kembali) melaut, bangsa ini juga membutuhkan safety untuk melaut dengan selamat. Begitu pun strategi pemerintah memastikan keberlanjutan pengelolaan perikanan Indonesia: membutuhkan pertimbangan sosiologis dan antropologis guna mengefektifkan strategi konservasi sumber daya perairan Indonesia.
Secara lebih operasional, Kemenko Maritim seharusnya dapat memfasilitasi KKP dan Kementerian Perhubungan untuk menuntaskan rencana aksi pemantapan- akurasi gross akte kapal ikan di seluruh Indonesia, termasuk dengan skema perizinan mudah, murah, dan transparan. Menko maritim bahkan dapat ikut mengawal efektivitas nota kesepahaman bersama (NKB) antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan seluruh Kementerian dan Lembaga Tinggi Negara,
khususnya yang di bawah koordinasi langsung menko maritim (baca: KKP dan Kementerian Perhubungan) untuk mencegah kebocoran dari sektor perizinan kapal ikan. Apalagi, Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi telah mengatakan, saat ini sekitar 70% dari 1.444 perusahaan pemilik kapal di atas 30 GT belum memiliki NPWP.
Selanjutnya menko maritim juga dapat berkoordinasi dengan menko perekonomian untuk memfasilitasi KKP dan (setidaktidaknya) dengan sejumlah bank ”plat merah” seperti BRI dan Mandiri terkait upaya restrukturisasi utang pemilik kapal cantrang. Harapannya, sembari menunggu proses peralihan alat tangkapdanpemulihanekonomi nelayan, pada periode enam bulan hingga satu tahun ke depan, pemilik cantrang diharapkan boleh menunda pembayaran utangnya tanpa dikenakan denda.
Jika substansi ini dapat disepakati oleh bank milik pemerintah, di kemudian hari akan memudahkan pemerintah mengajak bank swasta merestrukturisasi utang nelayan cantrang lainnya. Terakhir, bersama-sama menteri koordinator bidang politik, hukum, dan HAM, memfasilitasi KKP, aparat keamanan dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk bersama-sama memastikan tidak terjadi diskriminasi dan kriminalisasi selama masa transisi.
Dengan begitu, ada kepastian atas izin yang telah didapatkan oleh para pemilik kapal cantrang sebelum PermenKP 2/2015 ditandatangani menteri. Sulit membayangkan peran strategis Kemenko Maritim dapat mendukung tekad Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia bila gagal menyinergikan penyelesaian polemik cantrang secara adil dan tuntas. Kita tidak boleh lagi mundur meski maju pun akan selalu mendapati masalah klasik: koordinasi. Pak Menko, melautlah!
(bbg)