Membendung Radikalisme di Dunia Maya
A
A
A
Terorisme merupakan kejahatan transnasional yang tidak kenal batas negara. Hubungan kuat antara jaringan teroris di dalam dan di luar negeri menempatkan terorisme sebagai persoalan kompleks yang membutuhkan penanganan komprehensif dan integratif antarlini.
Empat tahun belakangan, pemerintah telah berupaya cukup maksimal dalam memutus mata rantai jaringan tersebut. Sejauh ini upaya tersebut sudah mampu melokalisasi kekuatan dalam negeri dengan jaringan internasional. Meski demikian, perubahan lingkungan strategis baik skala nasional maupun internasional serta kemajuan teknologi dan informasi yang begitu kencang membuat pola dinamika terorisme pun berubah.
Pola transnasional terorisme justru semakin menemukan momentumnya ketika teknologi informasi seperti internet menjadi alat komunikasi populer di tengah masyarakat. Tak ayal, ancaman terorisme menjadi meningkat drastis karena teknologi dan informasi menyebabkan batasbatas negara menjadi semakin kabur. Sebuah kejadian di negara tertentu dapat dengan mudah diakses pada belahan bumi yang lain.
Ayman al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan kepada pimpinan Al-Qaeda di Irak (AQI), Abu Musab al-Zarqawi: ”Kita sedang dalam peperangan dan separuh lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita sedang dalam peperangan media demi merebut hati dan pikiran umat kita”. Jelas sekali, peperangan media telah lama ditabuh oleh kelompok teroris sebagai medan dan sekaligus strategi baru.
Pada 1988 Osama bahkan telah membentuk Departemen Media di dalam struktur organisasinya. Kini kehadiran media internet telah membuat medan perang itu semakin rumit. Media internet dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai kontranarasi dari media mainstream.
Jika media mainstream meliput kekerasan terorisme, media teroris menarasikannya sebagai tugas suci dan legitimasi tindakan dengan harapan mendapatkan simpati publik. Internet dengan demikian dijadikan jalan pintasuntukmenyampaikanpesan langsung ke audiens tanpa melalui media mainstream.
Selain website, media sosial juga telah menjadi alat cukup efektif bagi kelompok radikal terorisme sebagai instrumen propaganda, pembangunan jaringan, dan rekrutmen keanggotaan yang bersifat lintas batas negara. Kelompok ISIS menjadi satu model gerakan terorisme yang secara cerdas dan fasih menggunakan kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen keanggotaannya.
Melalui media sosial seseorang dapat menjadi radikal dengan tidak harus keluar rumah. Kelompok teroris telah menyediakan berbagai situs dan media sosial yang memandu seseorang secara online.
Pengalaman dari berbagai negara termasuk tiga remaja dari Inggris yang kabur untuk bergabung dengan ISIS menjadi salah satu bukti betapa efektif proses radikalisasi yang terjadi di dunia maya. Seseorang bisa menjadi radikal dan memutuskan untuk mengambil tindakan bergabung dengan kelompok teroris akibat infiltrasi terorisme di dunia maya.
Arus Radikalisme Baru
Radikalisasi bukan suatu proses yang instan dan sederhana. Proses itu sangat kompleks dari proses pengenalan, identifikasi diri, indoktrinasi, radikalisasi, hingga tindakan teror. Dulu keseluruhan proses itu bisa dikatakan sebagai mata rantai dari proses radikalisasi ke arah tindakan terorisme melalui jaringan dan sel tertutup.
Dulu instrumen radikalisme dapat diidentifikasi melalui berbagai tempat seperti rumah ibadah, pendidikan, atau tempat rentan lain yang mudah dijangkau. Saat ini kehadiran media sosial seakan membuka ruang tertutup itu menjadi terbuka. Semua kalangan bisa dengan mudah mengakses situs radikal, bertatap muka secara online, hingga memungkinkan proses radikalisasi berlangsung di dunia maya.
Karena itulah, media sosial sebagai instrumen kelompok teroris tidak hanya menghadirkan propaganda baru terorisme, tetapi lebih jauh dari itu ada pola dan bentuk radikalisme baru yang perlu diwaspadai.
Pertama, radikalisme di lingkungan remaja. Pilihan media sosial sebagai media propaganda dan rekrutmen oleh kelompok teroris bukan sekadar karena alasan praktis dan mudah, tetapi mereka sadar bahwa secara demografis para penghuni arena media sosial tersebut adalah kelompok remaja.
Beberapa contoh dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS ke Suriah adalah kalangan remaja dengan kisaran 18-25 tahun yang sebagian karena terpengaruh melalui media sosial.
Kedua, radikalisasi pada kalangan terdidik. Profesor Rommel Banlaoi ketika meneliti anggota kelompok terorisme di Filipina menegaskan bahwa anak muda yang terpengaruh dan masuk dalam jaringan terorisme kebanyakan mereka yang putus sekolah, buta huruf, miskin, dan pengangguran.
Walaupun teori ini sepenuhnya tidak bisa dipatahkan, kehadiran propaganda melalui media sosial menandai suatu pola baru radikalisasi di kalangan terdidik dan kelas menengah yang tidak semata terimingi oleh sejumlah uang.
Ketiga, radikalisasi di ruang terbuka. Media online dan media sosial merupakan ruang publik baru yang terbuka dan bebas. Jika dahulu proses rekrutmen dan indoktrinasi terjadi di ruang tertutup melalui berbagai perantara orang terdekat, saat ini proses rekrutmen menjadi sangat terbuka.
Pertemanan online antarnegara bahkan dapat mengajak seseorang untuk bergabung dalam jaringan teroris. Radikalisasi tidak lagi membutuhkan tempat dan ruang rahasia dan tertutup. Proses seseorang menjadi radikal dapat terjadi di ruang belajar, kamar tidur, ruang sekolah, dan ruang santai lain yang memungkinkan seorang mengakses situs dan media sosial kelompok radikal.
Keterpengaruhan melalui media online memang tidak bisa dijadikan variabel tunggal yang menentukan sikap radikal seseorang. Metode konvensional propaganda dan perekrutan jaringan terorisme harus tetap diwaspadai.
Namun, propaganda terorisme melalui media online tidak bisa dianggap remeh. Melalui media online perubahan pola propaganda terorisme berlangsung lebih masif dan terbuka. Arus radikalisme baru ini tentu saja menjadi tantangan baru bagi pemerintah dan masyarakat secara umum.
Mencegah Bersama
Kehadiran fenomena radikalisme di dunia maya seakan membangunkan kesadaran kita bahwa ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan oleh kelompok teroris. Harus disadari, dibandingkan dengan negara-negara Barat, Indonesia sedikit lebih terlambat dalam menyadari ancaman terorisme di media online .
Amerika pasca-Tragedi September Kelabu telah menyadari kehadiran ancaman cyber terrorism. Mereka melalui semacam konsorsium beberapa perguruan tinggi dengan pemerintah bahkan membentuk komite yang khusus menangani terorisme melalui teknologi dan informasi.
Tampaknya, bukan hal yang terlambat bila kita saat ini memberikan porsi besar terhadap arus radikalisme di dunia maya ini. Dalam beberapa tahun terakhir, dalam membendung paham radikal di tengah masyarakat, pemerintah dengan melibatkan semua komponen meliputi tokoh ulama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan lain-lain telah bergerilya bersama dalam mengampanyekan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat di semua sektor.
Program pencegahan itu banyak diakui telah mampu membendung derasnya arus radikalisme yang kencang beredar di tengah masyarakat khususnya pasca reformasi. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat bahwa masyarakat telah menjadikan terorisme sebagai musuh bersama dan ancaman bagi keutuhan bangsa.
Semangat yang sama dan kekuatan bersama yang telah terbangun selama ini harus tetap solid dalam bingkai strategi baru dalam menghadapi ancaman terorisme di dunia maya. Apa yang bisa dilakukan? Pada level struktural, pemerintah harus segera memikirkan formulasi kebijakan dan regulasi yang lebih tepat dan efektif dalam menangani penyebaran propaganda radikalisme dan terorisme.
Tumpulnya regulasi menjadi angin segar bagi kelompok teroris yang dengan bebas menyebarkan paham dan ajaran radikal di dunia maya. Pada level kultural, masyarakat dari berbagai latar belakang keahlian dan organisasi harus memberikan kontribusi dan proaktif dalam membendung arus radikalisme baru tersebut.
Sebenarnya sudah banyak situs dan akun media sosial yang telah lama menjadi pembanding sekaligus pembendung paham radikal di dunia maya. Hanya, upaya saat ini masih parsial dan harus dikonsolidisikan untuk membentuk suatu kekuatan bersama.
Kami berharap seluruh kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil di dunia maya mampu membentuk gerakan sinergis dalam mencegah dan membendung radikalisme dan terorisme di dunia maya. Mari bersama mencegah terorisme.
Agus Surya Bakti
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT
Empat tahun belakangan, pemerintah telah berupaya cukup maksimal dalam memutus mata rantai jaringan tersebut. Sejauh ini upaya tersebut sudah mampu melokalisasi kekuatan dalam negeri dengan jaringan internasional. Meski demikian, perubahan lingkungan strategis baik skala nasional maupun internasional serta kemajuan teknologi dan informasi yang begitu kencang membuat pola dinamika terorisme pun berubah.
Pola transnasional terorisme justru semakin menemukan momentumnya ketika teknologi informasi seperti internet menjadi alat komunikasi populer di tengah masyarakat. Tak ayal, ancaman terorisme menjadi meningkat drastis karena teknologi dan informasi menyebabkan batasbatas negara menjadi semakin kabur. Sebuah kejadian di negara tertentu dapat dengan mudah diakses pada belahan bumi yang lain.
Ayman al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan kepada pimpinan Al-Qaeda di Irak (AQI), Abu Musab al-Zarqawi: ”Kita sedang dalam peperangan dan separuh lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita sedang dalam peperangan media demi merebut hati dan pikiran umat kita”. Jelas sekali, peperangan media telah lama ditabuh oleh kelompok teroris sebagai medan dan sekaligus strategi baru.
Pada 1988 Osama bahkan telah membentuk Departemen Media di dalam struktur organisasinya. Kini kehadiran media internet telah membuat medan perang itu semakin rumit. Media internet dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai kontranarasi dari media mainstream.
Jika media mainstream meliput kekerasan terorisme, media teroris menarasikannya sebagai tugas suci dan legitimasi tindakan dengan harapan mendapatkan simpati publik. Internet dengan demikian dijadikan jalan pintasuntukmenyampaikanpesan langsung ke audiens tanpa melalui media mainstream.
Selain website, media sosial juga telah menjadi alat cukup efektif bagi kelompok radikal terorisme sebagai instrumen propaganda, pembangunan jaringan, dan rekrutmen keanggotaan yang bersifat lintas batas negara. Kelompok ISIS menjadi satu model gerakan terorisme yang secara cerdas dan fasih menggunakan kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen keanggotaannya.
Melalui media sosial seseorang dapat menjadi radikal dengan tidak harus keluar rumah. Kelompok teroris telah menyediakan berbagai situs dan media sosial yang memandu seseorang secara online.
Pengalaman dari berbagai negara termasuk tiga remaja dari Inggris yang kabur untuk bergabung dengan ISIS menjadi salah satu bukti betapa efektif proses radikalisasi yang terjadi di dunia maya. Seseorang bisa menjadi radikal dan memutuskan untuk mengambil tindakan bergabung dengan kelompok teroris akibat infiltrasi terorisme di dunia maya.
Arus Radikalisme Baru
Radikalisasi bukan suatu proses yang instan dan sederhana. Proses itu sangat kompleks dari proses pengenalan, identifikasi diri, indoktrinasi, radikalisasi, hingga tindakan teror. Dulu keseluruhan proses itu bisa dikatakan sebagai mata rantai dari proses radikalisasi ke arah tindakan terorisme melalui jaringan dan sel tertutup.
Dulu instrumen radikalisme dapat diidentifikasi melalui berbagai tempat seperti rumah ibadah, pendidikan, atau tempat rentan lain yang mudah dijangkau. Saat ini kehadiran media sosial seakan membuka ruang tertutup itu menjadi terbuka. Semua kalangan bisa dengan mudah mengakses situs radikal, bertatap muka secara online, hingga memungkinkan proses radikalisasi berlangsung di dunia maya.
Karena itulah, media sosial sebagai instrumen kelompok teroris tidak hanya menghadirkan propaganda baru terorisme, tetapi lebih jauh dari itu ada pola dan bentuk radikalisme baru yang perlu diwaspadai.
Pertama, radikalisme di lingkungan remaja. Pilihan media sosial sebagai media propaganda dan rekrutmen oleh kelompok teroris bukan sekadar karena alasan praktis dan mudah, tetapi mereka sadar bahwa secara demografis para penghuni arena media sosial tersebut adalah kelompok remaja.
Beberapa contoh dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS ke Suriah adalah kalangan remaja dengan kisaran 18-25 tahun yang sebagian karena terpengaruh melalui media sosial.
Kedua, radikalisasi pada kalangan terdidik. Profesor Rommel Banlaoi ketika meneliti anggota kelompok terorisme di Filipina menegaskan bahwa anak muda yang terpengaruh dan masuk dalam jaringan terorisme kebanyakan mereka yang putus sekolah, buta huruf, miskin, dan pengangguran.
Walaupun teori ini sepenuhnya tidak bisa dipatahkan, kehadiran propaganda melalui media sosial menandai suatu pola baru radikalisasi di kalangan terdidik dan kelas menengah yang tidak semata terimingi oleh sejumlah uang.
Ketiga, radikalisasi di ruang terbuka. Media online dan media sosial merupakan ruang publik baru yang terbuka dan bebas. Jika dahulu proses rekrutmen dan indoktrinasi terjadi di ruang tertutup melalui berbagai perantara orang terdekat, saat ini proses rekrutmen menjadi sangat terbuka.
Pertemanan online antarnegara bahkan dapat mengajak seseorang untuk bergabung dalam jaringan teroris. Radikalisasi tidak lagi membutuhkan tempat dan ruang rahasia dan tertutup. Proses seseorang menjadi radikal dapat terjadi di ruang belajar, kamar tidur, ruang sekolah, dan ruang santai lain yang memungkinkan seorang mengakses situs dan media sosial kelompok radikal.
Keterpengaruhan melalui media online memang tidak bisa dijadikan variabel tunggal yang menentukan sikap radikal seseorang. Metode konvensional propaganda dan perekrutan jaringan terorisme harus tetap diwaspadai.
Namun, propaganda terorisme melalui media online tidak bisa dianggap remeh. Melalui media online perubahan pola propaganda terorisme berlangsung lebih masif dan terbuka. Arus radikalisme baru ini tentu saja menjadi tantangan baru bagi pemerintah dan masyarakat secara umum.
Mencegah Bersama
Kehadiran fenomena radikalisme di dunia maya seakan membangunkan kesadaran kita bahwa ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan oleh kelompok teroris. Harus disadari, dibandingkan dengan negara-negara Barat, Indonesia sedikit lebih terlambat dalam menyadari ancaman terorisme di media online .
Amerika pasca-Tragedi September Kelabu telah menyadari kehadiran ancaman cyber terrorism. Mereka melalui semacam konsorsium beberapa perguruan tinggi dengan pemerintah bahkan membentuk komite yang khusus menangani terorisme melalui teknologi dan informasi.
Tampaknya, bukan hal yang terlambat bila kita saat ini memberikan porsi besar terhadap arus radikalisme di dunia maya ini. Dalam beberapa tahun terakhir, dalam membendung paham radikal di tengah masyarakat, pemerintah dengan melibatkan semua komponen meliputi tokoh ulama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan lain-lain telah bergerilya bersama dalam mengampanyekan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat di semua sektor.
Program pencegahan itu banyak diakui telah mampu membendung derasnya arus radikalisme yang kencang beredar di tengah masyarakat khususnya pasca reformasi. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat bahwa masyarakat telah menjadikan terorisme sebagai musuh bersama dan ancaman bagi keutuhan bangsa.
Semangat yang sama dan kekuatan bersama yang telah terbangun selama ini harus tetap solid dalam bingkai strategi baru dalam menghadapi ancaman terorisme di dunia maya. Apa yang bisa dilakukan? Pada level struktural, pemerintah harus segera memikirkan formulasi kebijakan dan regulasi yang lebih tepat dan efektif dalam menangani penyebaran propaganda radikalisme dan terorisme.
Tumpulnya regulasi menjadi angin segar bagi kelompok teroris yang dengan bebas menyebarkan paham dan ajaran radikal di dunia maya. Pada level kultural, masyarakat dari berbagai latar belakang keahlian dan organisasi harus memberikan kontribusi dan proaktif dalam membendung arus radikalisme baru tersebut.
Sebenarnya sudah banyak situs dan akun media sosial yang telah lama menjadi pembanding sekaligus pembendung paham radikal di dunia maya. Hanya, upaya saat ini masih parsial dan harus dikonsolidisikan untuk membentuk suatu kekuatan bersama.
Kami berharap seluruh kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil di dunia maya mampu membentuk gerakan sinergis dalam mencegah dan membendung radikalisme dan terorisme di dunia maya. Mari bersama mencegah terorisme.
Agus Surya Bakti
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT
(ftr)