Memperkukuh Otot Rupiah
A
A
A
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih tampak loyo hingga mencapai level Rp13.000.
Padahal pemerintah telah memainkan aneka jurus ampuh untuk meredam pelemahan rupiah. Apa saja implikasi pelemahan rupiah? Bagaimana alternatif solusinya? Bukan hanya rupiah yang tak berdaya. Ambil contoh, dolar Australia melemah 6,95%, dolar Hong Kong 0,13%, rupiah Indonesia 5,75%, yen Jepang 1,42%, ringgit Malaysia 5,96%, dolar Selandia Baru 6,17%, dolar Singapura 5,21%, won Korea Selatan 4,08% dan euro Eropa 15,27%.
Untuk memperbaiki nilai tukar rupiah yang terpuruk itu, pemerintah telah menerbitkan paket kebijakan ekonomi. Satu, fasilitas keringanan pajak (tax allowances) untuk perusahaan yang melakukan reinvestasi dividennya di Indonesia, perusahaan yang menciptakan lapangan kerja, perusahaan berorientasi ekspor dan perusahaan yang melakukan penelitian dan pengembangan.
Pemerintah juga akan memberikan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap industri galangan kapal dan beberapa industri produk pertanian. Dua, menerapkan kebijakan tentang antidumping, mengenakan bea masuk antidumping sementara dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk-produk industri nasional, terhadap produk impor yang unfair trade karena ada dumping.
Tiga, memberikan bebas visa kunjungan singkat untuk wisatawan kepada 30 negara baru sehingga terdapat 45 negara. Empat, kewajiban untuk menggunakan biofuel hingga 15%. Lima, memberlakukan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam yakni produk batubara, migas dan crudepalmoil (CPO).
Enam, melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri asuransi domestik. Namun boleh dikatakan sebagian besar paket kebijakan ekonomi tersebut baru akan berbuah minimal enam bulan ke depan kecuali pemberlakuan wajib L/C.
Implikasi
Lagi-lagi, implikasi apa saja yang akan muncul? Pertama, menekan kredit valuta asing (valas). Ingat, sumber dana valas antara lain dari pinjaman luar negeri. Lantaran suku bunga valas dari luar negeri lebih rendah daripada pinjaman valas domestik.
Tengok saja, suku bunga acuan Jepang 0,00%, AS 0,25%, Jerman, Prancis, Italia, dan Belanda 0,05%, Singapura 0,39%, Australia, Hong Kong dan Inggris 0,50%, Kanada 0,60%, Meksiko dan Spanyol 0,70%, Thailand 1,75%, Malaysia dan Korea Selatan 2,00%, Filipina 4,00%, China 5,35%.
Bandingkan dengan BI Rate yang mencapai 7,50%. Oleh karena itu, bank nasional yang banyak bermain valas dan memiliki kredit valas mulai deg-degan. Mengapa? Karena makin tinggi pelemahan nilai tukar rupiah, makin tinggi pula potensi risiko bagi bank nasional.
Begini ilustrasinya. Kalau bank mempunyai kredit valas Rp1 miliar maka kredit valas itu akan langsung terbang tinggi menjadi Rp1 triliun ketika nilai tukar rupiah melemah dari Rp12.000 naik menjadi Rp13.000 per USD. Artinya, bank nasional terpaksa merogoh kantongnya lebih dalam manakala nilai tukar rupiah terus melemah.
Potensi risiko lainnya akan muncul ketika nasabah kredit valas mulai kurang mampu membayar kewajiban mereka setiap bulan. Kewajiban nasabah yang mulai melambat itu akan menjadi potensi risiko kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Bagaimana posisi NPL?
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 20 Februari 2015 menunjukkan NPL bank umum naik 0,39% dari Rp58,28 triliun (1,77%) dari total kredit Rp3.292,87 triliun per Desember 2013 menjadi Rp79,39 triliun (2,16%) dari total kredit Rp3.674,31 triliun per Desember 2014.
Menurut penggunaan kredit, NPL Rp79,39 triliun (2,16%) tersebut didorong oleh NPL kredit modal kerja Rp43,84 triliun (55,22%), kredit investasi Rp21,22 triliun (26,73%) dan kredit konsumsi Rp14,33 triliun (18,05%) per Desember 2014. Hal itu wajib menjadi perhatian serius bagi bank nasional untuk lebih berhatihati.
Kedua , mengurangi gerak importir. Bukan berhenti di situ. Pelemahan nilai tukar rupiah pasti akan menekan gurihnya transaksi impor. Kok bisa? Lantaran, importir harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk membayar kewajiban transaksi impor dari luar negeri. Sebaliknya, eksportir gembira karena transaksi ekspor melesat jauh lebih tinggi. Defisit transaksi berjalan akan makin rendah. Ini segi positifnya!
Ketiga, menggerogoti daya beli masyarakat. Pelemahan nilai tukar rupiah itu pun akan memperlemah daya beli (purchasing power) masyarakat. Daya beli masyarakat mulai goyang manakala inflasi melonjak gara-gara kenaikan harga BBM. Akibatnya, hampir semua bahan pokok ikut terdorong naik karena biaya transportasi naik.
Meskipun harga BBM kemudian menurun sejalan dengan laju harga minyak dunia, harga bahan pokok enggan untuk turun. Dengan bahasa lebih bening, daya beli masyarakat lapis menengah ke bawah akan menipis. Apa akibat lebih lanjut? Pelan namun pasti, kredit konsumsi yang merupakan kredit individual akan tertekan.
Sebut saja, kredit pemilikan rumah (KPR) tipe kecil akan tersendat. Juga kredit kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor) bisa tertekan. Hal ini akan menekan pertumbuhan kredit konsumsi. Bagaimana pertumbuhan kredit konsumsi? Data SPI mencatat kredit konsumsi hanya tumbuh 9,11% (year on year) dari Rp929,06 triliun per Desember 2013 menjadi Rp1.013,67 triliun per Desember 2014.
Pertumbuhan kredit konsumsi itu masih lebih rendah daripada kredit modal kerja10,83% dari Rp1.585,67 menjadi Rp1.757,45 triliun. Kredit investasi justru tumbuh lebih tinggi 13,16% dari Rp798,16 triliun menjadi Rp903,19 triliun pada periode yang sama.
Alternatif Solusi
Lantas, bagaimana alternatif solusinya? Pertama, pemerintah terus memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sampai di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Sayangnya, pembangunan infrastruktur akan mendatangkan banyak barang modal yang dapat mengancam kenaikan CAD.
Kedua, sebaliknya BI menekan inflasi sedemikian rendah sehingga BI Rate juga tertekan rendah. Ini penting untuk mencegah timbulnya perang suku bunga deposito yang berujung kenaikan suku bunga kredit. Ketiga, pemerintah memperbaiki iklim investasi. Hal ini bagai memberikan jalan tol bagi investor global untuk lebih banyak berinvestasi di Indonesia.
Makin banyak investasi, makin banyak dolar AS masuk pasar keuangan. Ujungnya, cadangan devisa yang mencapai USD115,5 miliar akan terkerek naik. Keempat, pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur. Pemerintah selain menggunakan sebagian ruang fiskal Rp250 triliun juga dapat memanfaatkan peran Bank Infrastruktur Asia (Asian Infratructure Investment Bank/ AIIB).
Ini jalan pintas yang jitu daripada membentuk bank infrastruktur yang memerlukan dana amat besar dan waktu yang relatif lama. Sarinya, terdapat harmonisasi antara kebijakan pemerintah dan BI. Alhasil, otot rupiah kian perkasa.
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
Padahal pemerintah telah memainkan aneka jurus ampuh untuk meredam pelemahan rupiah. Apa saja implikasi pelemahan rupiah? Bagaimana alternatif solusinya? Bukan hanya rupiah yang tak berdaya. Ambil contoh, dolar Australia melemah 6,95%, dolar Hong Kong 0,13%, rupiah Indonesia 5,75%, yen Jepang 1,42%, ringgit Malaysia 5,96%, dolar Selandia Baru 6,17%, dolar Singapura 5,21%, won Korea Selatan 4,08% dan euro Eropa 15,27%.
Untuk memperbaiki nilai tukar rupiah yang terpuruk itu, pemerintah telah menerbitkan paket kebijakan ekonomi. Satu, fasilitas keringanan pajak (tax allowances) untuk perusahaan yang melakukan reinvestasi dividennya di Indonesia, perusahaan yang menciptakan lapangan kerja, perusahaan berorientasi ekspor dan perusahaan yang melakukan penelitian dan pengembangan.
Pemerintah juga akan memberikan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap industri galangan kapal dan beberapa industri produk pertanian. Dua, menerapkan kebijakan tentang antidumping, mengenakan bea masuk antidumping sementara dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk-produk industri nasional, terhadap produk impor yang unfair trade karena ada dumping.
Tiga, memberikan bebas visa kunjungan singkat untuk wisatawan kepada 30 negara baru sehingga terdapat 45 negara. Empat, kewajiban untuk menggunakan biofuel hingga 15%. Lima, memberlakukan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam yakni produk batubara, migas dan crudepalmoil (CPO).
Enam, melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri asuransi domestik. Namun boleh dikatakan sebagian besar paket kebijakan ekonomi tersebut baru akan berbuah minimal enam bulan ke depan kecuali pemberlakuan wajib L/C.
Implikasi
Lagi-lagi, implikasi apa saja yang akan muncul? Pertama, menekan kredit valuta asing (valas). Ingat, sumber dana valas antara lain dari pinjaman luar negeri. Lantaran suku bunga valas dari luar negeri lebih rendah daripada pinjaman valas domestik.
Tengok saja, suku bunga acuan Jepang 0,00%, AS 0,25%, Jerman, Prancis, Italia, dan Belanda 0,05%, Singapura 0,39%, Australia, Hong Kong dan Inggris 0,50%, Kanada 0,60%, Meksiko dan Spanyol 0,70%, Thailand 1,75%, Malaysia dan Korea Selatan 2,00%, Filipina 4,00%, China 5,35%.
Bandingkan dengan BI Rate yang mencapai 7,50%. Oleh karena itu, bank nasional yang banyak bermain valas dan memiliki kredit valas mulai deg-degan. Mengapa? Karena makin tinggi pelemahan nilai tukar rupiah, makin tinggi pula potensi risiko bagi bank nasional.
Begini ilustrasinya. Kalau bank mempunyai kredit valas Rp1 miliar maka kredit valas itu akan langsung terbang tinggi menjadi Rp1 triliun ketika nilai tukar rupiah melemah dari Rp12.000 naik menjadi Rp13.000 per USD. Artinya, bank nasional terpaksa merogoh kantongnya lebih dalam manakala nilai tukar rupiah terus melemah.
Potensi risiko lainnya akan muncul ketika nasabah kredit valas mulai kurang mampu membayar kewajiban mereka setiap bulan. Kewajiban nasabah yang mulai melambat itu akan menjadi potensi risiko kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Bagaimana posisi NPL?
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 20 Februari 2015 menunjukkan NPL bank umum naik 0,39% dari Rp58,28 triliun (1,77%) dari total kredit Rp3.292,87 triliun per Desember 2013 menjadi Rp79,39 triliun (2,16%) dari total kredit Rp3.674,31 triliun per Desember 2014.
Menurut penggunaan kredit, NPL Rp79,39 triliun (2,16%) tersebut didorong oleh NPL kredit modal kerja Rp43,84 triliun (55,22%), kredit investasi Rp21,22 triliun (26,73%) dan kredit konsumsi Rp14,33 triliun (18,05%) per Desember 2014. Hal itu wajib menjadi perhatian serius bagi bank nasional untuk lebih berhatihati.
Kedua , mengurangi gerak importir. Bukan berhenti di situ. Pelemahan nilai tukar rupiah pasti akan menekan gurihnya transaksi impor. Kok bisa? Lantaran, importir harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk membayar kewajiban transaksi impor dari luar negeri. Sebaliknya, eksportir gembira karena transaksi ekspor melesat jauh lebih tinggi. Defisit transaksi berjalan akan makin rendah. Ini segi positifnya!
Ketiga, menggerogoti daya beli masyarakat. Pelemahan nilai tukar rupiah itu pun akan memperlemah daya beli (purchasing power) masyarakat. Daya beli masyarakat mulai goyang manakala inflasi melonjak gara-gara kenaikan harga BBM. Akibatnya, hampir semua bahan pokok ikut terdorong naik karena biaya transportasi naik.
Meskipun harga BBM kemudian menurun sejalan dengan laju harga minyak dunia, harga bahan pokok enggan untuk turun. Dengan bahasa lebih bening, daya beli masyarakat lapis menengah ke bawah akan menipis. Apa akibat lebih lanjut? Pelan namun pasti, kredit konsumsi yang merupakan kredit individual akan tertekan.
Sebut saja, kredit pemilikan rumah (KPR) tipe kecil akan tersendat. Juga kredit kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor) bisa tertekan. Hal ini akan menekan pertumbuhan kredit konsumsi. Bagaimana pertumbuhan kredit konsumsi? Data SPI mencatat kredit konsumsi hanya tumbuh 9,11% (year on year) dari Rp929,06 triliun per Desember 2013 menjadi Rp1.013,67 triliun per Desember 2014.
Pertumbuhan kredit konsumsi itu masih lebih rendah daripada kredit modal kerja10,83% dari Rp1.585,67 menjadi Rp1.757,45 triliun. Kredit investasi justru tumbuh lebih tinggi 13,16% dari Rp798,16 triliun menjadi Rp903,19 triliun pada periode yang sama.
Alternatif Solusi
Lantas, bagaimana alternatif solusinya? Pertama, pemerintah terus memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sampai di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Sayangnya, pembangunan infrastruktur akan mendatangkan banyak barang modal yang dapat mengancam kenaikan CAD.
Kedua, sebaliknya BI menekan inflasi sedemikian rendah sehingga BI Rate juga tertekan rendah. Ini penting untuk mencegah timbulnya perang suku bunga deposito yang berujung kenaikan suku bunga kredit. Ketiga, pemerintah memperbaiki iklim investasi. Hal ini bagai memberikan jalan tol bagi investor global untuk lebih banyak berinvestasi di Indonesia.
Makin banyak investasi, makin banyak dolar AS masuk pasar keuangan. Ujungnya, cadangan devisa yang mencapai USD115,5 miliar akan terkerek naik. Keempat, pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur. Pemerintah selain menggunakan sebagian ruang fiskal Rp250 triliun juga dapat memanfaatkan peran Bank Infrastruktur Asia (Asian Infratructure Investment Bank/ AIIB).
Ini jalan pintas yang jitu daripada membentuk bank infrastruktur yang memerlukan dana amat besar dan waktu yang relatif lama. Sarinya, terdapat harmonisasi antara kebijakan pemerintah dan BI. Alhasil, otot rupiah kian perkasa.
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
(ftr)