Deflasi dan Nilai Tukar
A
A
A
Bagi sejumlah negara, baik di Eropa maupun di Asia, saat ini menghadapi fenomena spiral ekonomi yang menarik untuk kita cermati bersama yaitu kondisi di mana tren deflasi atau inflasi rendah dan tekanan terhadap nilai tukar mata uang terjadi secara simultan.
Meski memiliki faktor penyebab yang berbeda, tren kedua hal ini mengandung konsekuensi yang hampir sama dalam jangka menengah. Kombinasi dari kedua hal tersebut dikhawatirkan mengakibatkan pelemahan pertumbuhan ekonomi, terbatasnya penyerapan lapangan kerja, menurunnya kinerja industri manufaktur, dan desinsentif bagi investasi.
Bagi sejumlah negara, utamanya Eropa dan Jepang, instrumen suku bunga ultrarendah, mendekati 0%, tidak lagi memadai untuk meningkatkan angka inflasi. Sementara kebijakan stimulus moneter nonkonvensional untuk keluar dari deflation-trap menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang. Secara teoritis, dalam makroekonomi, tidak semua deflasi atau inflasi sangat rendah berakibat buruk bagi perekonomian.
Misalnya penurunan harga akibat meningkatnya efisiensi dan produktivitas merupakan indikasi positif bagi perekonomian suatu negara. Namun, ketika penurunan harga disebabkan oleh pelemahan sisi permintaan secara tajam dan mendadak (negative demand shock), seperti yang sekarang terjadi di banyak negara, berpotensi berakibat buruk bagi perekonomian.
Sementara itu, gelombang deflasi atau inflasi sangat rendah di banyak negara, utamanya disebabkan oleh menurunnya harga minyak mentah dunia lebih dari 60% dari posisi tertinggi Juni 2014 sebesar USD115/ barel menjadi di bawah USD50/barel.
Dalam jangka pendek, penurunan tajam harga minyak mentah dunia menjadi windfall bagi konsumen, di mana dengan pendapatan yang sama, konsumen mendapatkan barang dan jasa yang lebih murah (consumer surplus). Namun, dalam jangka menengah dan panjang, di kawasan Eropa misalnya konsumen mulai berhati- hati dan bahkan menunda pembelian akibat ketidakpastian dari sektor ketenagakerjaan.
Melemahnya permintaan membuat banyak perusahaan menunda, membatalkan, atau bahkan mengalami kesulitan keuangan yang berpotensi pengurangan tenaga kerja. Kondisi di atas terjadi bersamaan dengan tren pelemahan nilai tukar mata uang di banyak negara.
Meskipun memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda, pelemahan nilai tukar mata uang terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sangat merepotkan, baik otoritas moneter maupun fiskal di banyak negara, termasuk Indonesia.
Fenomena depresiasi nilai tukar disebabkan mulai dari ketidakseimbangan antara demand-supply valas di pasar domestik sampai akibat membanjirnya likuiditas mata uang tertentu setelah penerapan kebijakan stimulus moneter (quantitative easing) seperti yang dilakukan European Central Bank (ECB) maupun Bank of Japan (BoJ) saat ini.
Di satu sisi, pelemahan mata uang dapat berakibat positif bagi kinerja ekspor, namun di sisi lain berakibat buruk bagi perekonomian yang memiliki eksposur impor tinggi dan utang dalam mata uang asing, utamanya dolar AS, sangat tinggi. Beberapa negara atau kawasan yang memiliki tren deflasi dan pelemahan nilai tukar mata uang dapat kita temui di sejumlah negara Eropa dan Jepang.
Kawasan Eropa secara rata-rata mencatatkan inflasi sangat rendah sejak Desember 2014 sebesar -0,2%, Januari 2015 -0,6%, dan Februari 2015 -0,3%. Sementara itu, target inflasi dari ECB untuk sepanjang 2015 ditetapkan di Zona Eropa sebesar 0%. Sementara Jepang melihat tren inflasi rendah akan terjadi sepanjang 2015.
Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda juga telah memberikan sinyal untuk memperpanjang penerapan moneter longgar nonkonvensional (quantitative easing) yang selama ini berjalan sebesar 80 triliun yen sebagai respons terhadap inflasi yang sangat rendah di Jepang.
Diharapkan, dengan ada kebijakan ini, Jepang dapat keluar dari jebakan inflasi sangat rendah sehingga proses pemulihan ekonomi (recovery) dapat terakselerasi. Inflasi yang moderat sangat dibutuhkan oleh sejumlah negara untuk menjamin perekonomian terus bergerak.
Bagi Indonesia, kedua tren tersebut juga terjadi meski dengan latar belakang yang agak berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi di Eropa dan Jepang. Setelah inflasi pada Desember 2014 yang cukup tinggi akibat kebijakan penyesuaian BBM bersubsidi, sebesar 2,46%, inflasi bulan berikutnya tercatat sangat rendah setelah pemerintah menurunkan harga BBM akibat menurunnya harga minyak mentah dunia.
Di mana inflasi pada Januari 2015 tercatat sebesar -0,24% dan Februari 2015 tercatat sebesar -0,36%. Diproyeksikan, tren inflasi rendah bertahan sampai meningkatnya permintaan jelang liburan sekolah dan Hari Raya Idul Fitri 2015. Namun, yang perlu diwaspadai adalah data BPS menunjukkan indeks pertumbuhan perusahaan menengah dan besar pada Januari 2015 tumbuh -0.35%.
Sementara indeks manufaktur dari sejumlah analis juga menunjukkan pelemahan. Misalnya, indeks manufaktur dari Markit Economics dan HSBC menunjukkan indeks manufaktur Februari 2015 jatuh menjadi 47,50 lebih rendah dari posisi Januari sebesar 48,50 dan Desember 2014 sebesar 47,60.
Meski masih memerlukan analisis lebih dalam, tren deflasi dan inflasi sangat rendah di Indonesia diiringi dengan pelemahan kinerja industri manufaktur nasional. Kemungkinan pelemahan indeks manufaktur industri nasional juga disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar mata uang rupiah.
Mengingat komponen impor dalam industri nasional cukup tinggi, melemahnya rupiah juga berdampak pada meningkatnya biaya produksi. Nilai tukar rupiah terus menunjukkan tren pelemahan terhadap dolar AS.
Pada penutupan pasar Jumat (13/3), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 37 poin menjadi Rp13.187 dan kurs tengah Bank Indonesia juga melemah menjadi Rp13.191 per dolar AS. Koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah-BIOJK- LPS yang secara intens dilakukan dalam beberapa hari terakhir masih belum mampu menahan tren pelemahan rupiah.
Beberapa kalangan dan pelaku pasar bahkan memprediksi tren pelemahan rupiah masih akan terus berlanjut sampai The Fed mengumumkan secara pasti kenaikan suku bunga pascaberakhir kebijakan quantitative easing III. Sampai saat ini kita semua masih belum dapat memastikan secara persis bagaimana perekonomian dunia akan menemukan keseimbangan baru.
Namun, paket kebijakan yang tepat, efektif, dan terukur sangat dibutuhkan untuk mengelola volatilitas nilai tukar rupiah, menjaga daya beli masyarakat, mendorong terus tumbuhnya industri nasional, serta memperkuat struktur industri nasional. Tren inflasi rendah bahkan deflasi perlu terus dimonitor untuk menghindarkan dari pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah juga perlu terus diwaspadai seiring pelemahan permintaan produk ekspor nasional di pasar global. Penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi juga perlu terus didorong dengan tetap menjaga makroprudensial dan stabilitas sistem keuangan.
Memastikan harga-harga kebutuhan pokok tersedia dan terjangkau juga akan sangat membantu menurunkan potensi gejolakakibattidakmenentunya situasi perekonomian global dan kawasan.
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina,Guru Besar FEB Universitas Indonesia
Meski memiliki faktor penyebab yang berbeda, tren kedua hal ini mengandung konsekuensi yang hampir sama dalam jangka menengah. Kombinasi dari kedua hal tersebut dikhawatirkan mengakibatkan pelemahan pertumbuhan ekonomi, terbatasnya penyerapan lapangan kerja, menurunnya kinerja industri manufaktur, dan desinsentif bagi investasi.
Bagi sejumlah negara, utamanya Eropa dan Jepang, instrumen suku bunga ultrarendah, mendekati 0%, tidak lagi memadai untuk meningkatkan angka inflasi. Sementara kebijakan stimulus moneter nonkonvensional untuk keluar dari deflation-trap menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang. Secara teoritis, dalam makroekonomi, tidak semua deflasi atau inflasi sangat rendah berakibat buruk bagi perekonomian.
Misalnya penurunan harga akibat meningkatnya efisiensi dan produktivitas merupakan indikasi positif bagi perekonomian suatu negara. Namun, ketika penurunan harga disebabkan oleh pelemahan sisi permintaan secara tajam dan mendadak (negative demand shock), seperti yang sekarang terjadi di banyak negara, berpotensi berakibat buruk bagi perekonomian.
Sementara itu, gelombang deflasi atau inflasi sangat rendah di banyak negara, utamanya disebabkan oleh menurunnya harga minyak mentah dunia lebih dari 60% dari posisi tertinggi Juni 2014 sebesar USD115/ barel menjadi di bawah USD50/barel.
Dalam jangka pendek, penurunan tajam harga minyak mentah dunia menjadi windfall bagi konsumen, di mana dengan pendapatan yang sama, konsumen mendapatkan barang dan jasa yang lebih murah (consumer surplus). Namun, dalam jangka menengah dan panjang, di kawasan Eropa misalnya konsumen mulai berhati- hati dan bahkan menunda pembelian akibat ketidakpastian dari sektor ketenagakerjaan.
Melemahnya permintaan membuat banyak perusahaan menunda, membatalkan, atau bahkan mengalami kesulitan keuangan yang berpotensi pengurangan tenaga kerja. Kondisi di atas terjadi bersamaan dengan tren pelemahan nilai tukar mata uang di banyak negara.
Meskipun memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda, pelemahan nilai tukar mata uang terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sangat merepotkan, baik otoritas moneter maupun fiskal di banyak negara, termasuk Indonesia.
Fenomena depresiasi nilai tukar disebabkan mulai dari ketidakseimbangan antara demand-supply valas di pasar domestik sampai akibat membanjirnya likuiditas mata uang tertentu setelah penerapan kebijakan stimulus moneter (quantitative easing) seperti yang dilakukan European Central Bank (ECB) maupun Bank of Japan (BoJ) saat ini.
Di satu sisi, pelemahan mata uang dapat berakibat positif bagi kinerja ekspor, namun di sisi lain berakibat buruk bagi perekonomian yang memiliki eksposur impor tinggi dan utang dalam mata uang asing, utamanya dolar AS, sangat tinggi. Beberapa negara atau kawasan yang memiliki tren deflasi dan pelemahan nilai tukar mata uang dapat kita temui di sejumlah negara Eropa dan Jepang.
Kawasan Eropa secara rata-rata mencatatkan inflasi sangat rendah sejak Desember 2014 sebesar -0,2%, Januari 2015 -0,6%, dan Februari 2015 -0,3%. Sementara itu, target inflasi dari ECB untuk sepanjang 2015 ditetapkan di Zona Eropa sebesar 0%. Sementara Jepang melihat tren inflasi rendah akan terjadi sepanjang 2015.
Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda juga telah memberikan sinyal untuk memperpanjang penerapan moneter longgar nonkonvensional (quantitative easing) yang selama ini berjalan sebesar 80 triliun yen sebagai respons terhadap inflasi yang sangat rendah di Jepang.
Diharapkan, dengan ada kebijakan ini, Jepang dapat keluar dari jebakan inflasi sangat rendah sehingga proses pemulihan ekonomi (recovery) dapat terakselerasi. Inflasi yang moderat sangat dibutuhkan oleh sejumlah negara untuk menjamin perekonomian terus bergerak.
Bagi Indonesia, kedua tren tersebut juga terjadi meski dengan latar belakang yang agak berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi di Eropa dan Jepang. Setelah inflasi pada Desember 2014 yang cukup tinggi akibat kebijakan penyesuaian BBM bersubsidi, sebesar 2,46%, inflasi bulan berikutnya tercatat sangat rendah setelah pemerintah menurunkan harga BBM akibat menurunnya harga minyak mentah dunia.
Di mana inflasi pada Januari 2015 tercatat sebesar -0,24% dan Februari 2015 tercatat sebesar -0,36%. Diproyeksikan, tren inflasi rendah bertahan sampai meningkatnya permintaan jelang liburan sekolah dan Hari Raya Idul Fitri 2015. Namun, yang perlu diwaspadai adalah data BPS menunjukkan indeks pertumbuhan perusahaan menengah dan besar pada Januari 2015 tumbuh -0.35%.
Sementara indeks manufaktur dari sejumlah analis juga menunjukkan pelemahan. Misalnya, indeks manufaktur dari Markit Economics dan HSBC menunjukkan indeks manufaktur Februari 2015 jatuh menjadi 47,50 lebih rendah dari posisi Januari sebesar 48,50 dan Desember 2014 sebesar 47,60.
Meski masih memerlukan analisis lebih dalam, tren deflasi dan inflasi sangat rendah di Indonesia diiringi dengan pelemahan kinerja industri manufaktur nasional. Kemungkinan pelemahan indeks manufaktur industri nasional juga disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar mata uang rupiah.
Mengingat komponen impor dalam industri nasional cukup tinggi, melemahnya rupiah juga berdampak pada meningkatnya biaya produksi. Nilai tukar rupiah terus menunjukkan tren pelemahan terhadap dolar AS.
Pada penutupan pasar Jumat (13/3), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 37 poin menjadi Rp13.187 dan kurs tengah Bank Indonesia juga melemah menjadi Rp13.191 per dolar AS. Koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah-BIOJK- LPS yang secara intens dilakukan dalam beberapa hari terakhir masih belum mampu menahan tren pelemahan rupiah.
Beberapa kalangan dan pelaku pasar bahkan memprediksi tren pelemahan rupiah masih akan terus berlanjut sampai The Fed mengumumkan secara pasti kenaikan suku bunga pascaberakhir kebijakan quantitative easing III. Sampai saat ini kita semua masih belum dapat memastikan secara persis bagaimana perekonomian dunia akan menemukan keseimbangan baru.
Namun, paket kebijakan yang tepat, efektif, dan terukur sangat dibutuhkan untuk mengelola volatilitas nilai tukar rupiah, menjaga daya beli masyarakat, mendorong terus tumbuhnya industri nasional, serta memperkuat struktur industri nasional. Tren inflasi rendah bahkan deflasi perlu terus dimonitor untuk menghindarkan dari pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah juga perlu terus diwaspadai seiring pelemahan permintaan produk ekspor nasional di pasar global. Penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi juga perlu terus didorong dengan tetap menjaga makroprudensial dan stabilitas sistem keuangan.
Memastikan harga-harga kebutuhan pokok tersedia dan terjangkau juga akan sangat membantu menurunkan potensi gejolakakibattidakmenentunya situasi perekonomian global dan kawasan.
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina,Guru Besar FEB Universitas Indonesia
(ftr)