Kriminalisasi dalam Pemberantasan Korupsi
A
A
A
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus)
Universitas Padjadjaran (Unpad)
Hiruk-pikuk jargon kriminalisasi terkait pimpinan KPK dan pendukung KPK telah menyeruak di beberapa media nasional. Kriminalisasi dalam doktrin hukum pidana adalah suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana kemudian merupakan tindak pidana berdasarkan UU yang berlaku.
Sebaliknya, ada dekriminalisasi yaitu perbuatan yang semula diancam pidana kemudian menjadi tidak diancam pidana berdasarkan UU yang berlaku. Mengikuti doktrin tersebut, tidak ada yang keliru tentang kriminalisasi sepanjang dilaksanakan berdasarkan UU yang berlaku, bukan kehendak penyidik semata.
Dalam konteks jargon kriminalisasi yang telanjur keliru seharusnya sebagai warga negara yang baik menjunjung tinggi dan menghormati asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dan di sisi lain penyidik harus mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Asas hukum pidana pertama dan kedua tersebut dicantumkan di dalam UUD 1945 selain konvensi internasional tentang hak sipil dan hak politik. Dua asas hukum pidana tersebut harus berada dalam suatu keseimbangan dan mencegah prinsip tujuan menghalalkan cara karena bertentangan dengan prinsip proporsionalitas (Remmelink, 2003) yaitu harus sesuai antara tujuan dan cara mencapai tujuan.
Prinsip hukum ini rambu-rambu bagi setiap langkah penyidikan dan di sisi lain seharusnya menjadi pegangan bagi se-tiap orang yang (akan) diperiksa penyidik. Jika ada orang yang menolak diperiksa penyidik sepanjang dilaksanakan berdasarkan perintah UU, terhadapnya sesuai UU dapat dilakukan upaya paksa untuk diperiksa.
Sebaliknya, penyidik dapat dipraperadilankan jika terperiksa (tersangka) berpendapat bahwa langkah hukum penyidikan, penahanan, penuntutan, atau penghentian penyidikan dan penuntutan atau tuntutan ganti rugi/rehabilitasi telah melanggar ketentuan Pasal 77 KUHAP.
Selain alasan-alasan tersebut, mereka dapat merujuk putusan hakim Sarpin Rizaldi, penetapan tersangka secara melawan hukum. Mekanisme hukum praperadilan adalah satu-satunya yang dibenarkan berdasarkan UU yang berlaku di Indonesia ketika hakhak asasi setiap orang telah dilanggar atau dirampas dari diri kita, tidak ada lain lagi.
Cara-cara DI yang mengaku pendukung KPK dari sudut hukum justru tindakan melawan UU yang berlaku. Di dalam KUHAP kepatuhan untuk memenuhi panggilan penyidik merupakan kewajiban setiap orang. Saat ini yang kita saksikan telah di luar akal sehat kita sebagai ahli hukum (pidana) karena telah terjadi perlawanan terhadap asas persamaan di muka hukum yang telah dicantumkan di dalam UUD 1945, bukan hanya UU KUHAP;
dan itu hanya dapat dibenarkan jika asas praduga tak bersalah telah dilanggar penyidik; tapi harus melalui me-kanisme praperadilan. Cara-cara aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi khususnya DI, BW, dan YH mengadu ke Istana bukan cara-cara berdasarkan hukum yang berlaku.
Langkah itu cara-cara politis untuk ”memaksa” Presiden selaku kekuasaan eksekutif memengaruhi atau mengintervensi proses penyidikan terhadap mereka. Langkah dan tindakan mereka justru tidak dapat diterima dari sudut etika pengampu ilmu hukum dan bertentangan sama sekali dengan asas-asas dan kaidah yang berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Cara tersebut bahkan bertentangan dengan sistem ketatanegaraan yang diakui UUD 1945 di mana telah diakui pemisahan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif. Merujuk pada uraian ini saya mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden Joko Widodo yang telah menyatakan tidak akan ikut campur dengan proses hukum yang tengah dilakukan oleh Bareskrim.
Adapun yang dinyatakan oleh Presiden untuk hentikan kriminalisasi adalah jika proses penyidikan dilakukan tanpa dasar fakta dan ketentuan hukum yang berlaku. Penyalahgunaan wewenang dimaksud adalah tindakan yang telah melampaui batas kewenangan, tindakan yang telah mencampuradukkan wewenang atau penyidik bertindak sewenang-wenang (tanpa dasar hukum yang berlaku) sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 17 tentang Larangan Penyalahgunaan Wewenang (UU RI Nomor 30 Tahun 2014).
Jika kita bandingkan tindakan hukum yang telah dilakukan oleh KPK terhadap setiap tersangka korupsi yang juga berdasarkan UU yang berlaku, penulis melihat tidak ada bedanya dengan tindakan hukum yang telah dilakukan Bareskrim Polri misalnya pemborgolan. Sedangkan penyidik KPK adalah anggota Polri juga sehingga tidak ada alasan apa pun untuk memojokkan penyidik Bareskrim telah melakukan kriminalisasi.
Justru ”kriminalisasi” yang kasatmata adalah ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa yang bersangkutan memperoleh informasi pertama dari penyidik KPK dan tanpa sprindik (kasus MSG) atau tidak semua pimpinan membubuhkan tanda tangan menyepakati dan menyetujui penetapan dimaksud atau penetapan tersangka karena alasan-alasan pribadi atau untuk kepentingan politik.
Saya mengimbau mereka yang telah ditetapkan tersangka atau calon tersangka oleh Bareskrim bersikap ikhlas dan melawan melalui mekanisme praperadilan atau menyiapkan diri untuk membela diri di sidang pengadilan tipikor dengan penasihat hukum dan ahli-ahli yang tepercaya. Di dalam sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum itulah, kita semua dapat menyaksikan kebenaran ”kriminalisasi” yang telah Anda tuduhkan kepada Bareskrim.
Guru Besar (Emeritus)
Universitas Padjadjaran (Unpad)
Hiruk-pikuk jargon kriminalisasi terkait pimpinan KPK dan pendukung KPK telah menyeruak di beberapa media nasional. Kriminalisasi dalam doktrin hukum pidana adalah suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana kemudian merupakan tindak pidana berdasarkan UU yang berlaku.
Sebaliknya, ada dekriminalisasi yaitu perbuatan yang semula diancam pidana kemudian menjadi tidak diancam pidana berdasarkan UU yang berlaku. Mengikuti doktrin tersebut, tidak ada yang keliru tentang kriminalisasi sepanjang dilaksanakan berdasarkan UU yang berlaku, bukan kehendak penyidik semata.
Dalam konteks jargon kriminalisasi yang telanjur keliru seharusnya sebagai warga negara yang baik menjunjung tinggi dan menghormati asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dan di sisi lain penyidik harus mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Asas hukum pidana pertama dan kedua tersebut dicantumkan di dalam UUD 1945 selain konvensi internasional tentang hak sipil dan hak politik. Dua asas hukum pidana tersebut harus berada dalam suatu keseimbangan dan mencegah prinsip tujuan menghalalkan cara karena bertentangan dengan prinsip proporsionalitas (Remmelink, 2003) yaitu harus sesuai antara tujuan dan cara mencapai tujuan.
Prinsip hukum ini rambu-rambu bagi setiap langkah penyidikan dan di sisi lain seharusnya menjadi pegangan bagi se-tiap orang yang (akan) diperiksa penyidik. Jika ada orang yang menolak diperiksa penyidik sepanjang dilaksanakan berdasarkan perintah UU, terhadapnya sesuai UU dapat dilakukan upaya paksa untuk diperiksa.
Sebaliknya, penyidik dapat dipraperadilankan jika terperiksa (tersangka) berpendapat bahwa langkah hukum penyidikan, penahanan, penuntutan, atau penghentian penyidikan dan penuntutan atau tuntutan ganti rugi/rehabilitasi telah melanggar ketentuan Pasal 77 KUHAP.
Selain alasan-alasan tersebut, mereka dapat merujuk putusan hakim Sarpin Rizaldi, penetapan tersangka secara melawan hukum. Mekanisme hukum praperadilan adalah satu-satunya yang dibenarkan berdasarkan UU yang berlaku di Indonesia ketika hakhak asasi setiap orang telah dilanggar atau dirampas dari diri kita, tidak ada lain lagi.
Cara-cara DI yang mengaku pendukung KPK dari sudut hukum justru tindakan melawan UU yang berlaku. Di dalam KUHAP kepatuhan untuk memenuhi panggilan penyidik merupakan kewajiban setiap orang. Saat ini yang kita saksikan telah di luar akal sehat kita sebagai ahli hukum (pidana) karena telah terjadi perlawanan terhadap asas persamaan di muka hukum yang telah dicantumkan di dalam UUD 1945, bukan hanya UU KUHAP;
dan itu hanya dapat dibenarkan jika asas praduga tak bersalah telah dilanggar penyidik; tapi harus melalui me-kanisme praperadilan. Cara-cara aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi khususnya DI, BW, dan YH mengadu ke Istana bukan cara-cara berdasarkan hukum yang berlaku.
Langkah itu cara-cara politis untuk ”memaksa” Presiden selaku kekuasaan eksekutif memengaruhi atau mengintervensi proses penyidikan terhadap mereka. Langkah dan tindakan mereka justru tidak dapat diterima dari sudut etika pengampu ilmu hukum dan bertentangan sama sekali dengan asas-asas dan kaidah yang berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Cara tersebut bahkan bertentangan dengan sistem ketatanegaraan yang diakui UUD 1945 di mana telah diakui pemisahan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif. Merujuk pada uraian ini saya mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden Joko Widodo yang telah menyatakan tidak akan ikut campur dengan proses hukum yang tengah dilakukan oleh Bareskrim.
Adapun yang dinyatakan oleh Presiden untuk hentikan kriminalisasi adalah jika proses penyidikan dilakukan tanpa dasar fakta dan ketentuan hukum yang berlaku. Penyalahgunaan wewenang dimaksud adalah tindakan yang telah melampaui batas kewenangan, tindakan yang telah mencampuradukkan wewenang atau penyidik bertindak sewenang-wenang (tanpa dasar hukum yang berlaku) sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 17 tentang Larangan Penyalahgunaan Wewenang (UU RI Nomor 30 Tahun 2014).
Jika kita bandingkan tindakan hukum yang telah dilakukan oleh KPK terhadap setiap tersangka korupsi yang juga berdasarkan UU yang berlaku, penulis melihat tidak ada bedanya dengan tindakan hukum yang telah dilakukan Bareskrim Polri misalnya pemborgolan. Sedangkan penyidik KPK adalah anggota Polri juga sehingga tidak ada alasan apa pun untuk memojokkan penyidik Bareskrim telah melakukan kriminalisasi.
Justru ”kriminalisasi” yang kasatmata adalah ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa yang bersangkutan memperoleh informasi pertama dari penyidik KPK dan tanpa sprindik (kasus MSG) atau tidak semua pimpinan membubuhkan tanda tangan menyepakati dan menyetujui penetapan dimaksud atau penetapan tersangka karena alasan-alasan pribadi atau untuk kepentingan politik.
Saya mengimbau mereka yang telah ditetapkan tersangka atau calon tersangka oleh Bareskrim bersikap ikhlas dan melawan melalui mekanisme praperadilan atau menyiapkan diri untuk membela diri di sidang pengadilan tipikor dengan penasihat hukum dan ahli-ahli yang tepercaya. Di dalam sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum itulah, kita semua dapat menyaksikan kebenaran ”kriminalisasi” yang telah Anda tuduhkan kepada Bareskrim.
(bbg)