Sibuk Berseteru, Rakyat Terlupakan
A
A
A
Sepertinya perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) versus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta belum akan cepat usai.
Bahkan perseteruan ini mengarah ke serangan-serangan personal dengan segala macam stigma yang dilontarkan dari masing-masing kubu terhadap lawannya. Kondisi penuh stigma dan juga kecurigaan tentunya tak akan berujung pada penyelesaian atau solusi.
Kedua kubu masih sibuk melempar tudingan dan cercaan yang menyesaki media massa di negeri ini. Seperti layaknya semua perseteruan, kedua kubu juga merasa paling benar dengan segala macam argumen pendukungnya. Baik bagi Gubernur Ahok maupun mayoritas anggota DPRD DKI Jakarta, apapun yang dikatakan seterunya seperti tidak ada derajat kebenarannya.
Ada pepatah asing yang perlu diingat oleh Gubernur Ahok: the ends don’t justify the means. Andaikata Pak Gubernur merasa ada yang tidak beres, dalam sistem bernegara harus ada jalur yang diikuti. Konsep Pak Gubernur yang ingin mengedepankan e-budgetting adalah hal yang sangat baik bagi perkembangan demokrasi Indonesia.
Namun jika secara politik– yang bagaimanapun harus disadari ada tarik-menarik kepentingan/ power interplay–maka kita tak akan bisa memaksakan bahwa semua hal berjalan sesuai dengan keinginan kita. Masih banyak cara bagi Gubernur Ahok untuk menjaga anggarannya agar tidak diselewengkan.
Misalnya jika Pak Ahok merasa ada angka- angka yang aneh dalam anggarannya, dia dan jajarannya bisa lebih serius dalam mengawasi pemanfaatan dana tersebut. Ahok juga bisa meminta audit yang lebih menyeluruh dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang jika dilaksanakan serius akan bisa menemukan segala macam kecurangan yang ada.
Daripada ribut di awal dan yang dianggap koruptor tak tertangkap, tentu akan lebih baik menangkap tangan para koruptor. Ahok juga harus sadar bahwa dalam politik dia tidak bisa one man show . Cara Ahok yang sering kali bermusuhan dengan jajaran SKPD DKI Jakarta juga bukanlah jalan yang baik untuk pembangunan.
Kekuatan birokrasi yang besar dalam menghadapi kekuatan politik– seperti dalam hal ini kemampuan birokrasi SKPD dibandingkan kewenangan dan otoritas yang dimiliki Ahok–sering kali menempatkan para politisi di posisi yang sulit. Ahok harus merangkul jajaran birokratnya. Kalaupun ada yang dianggap korup, Ahok bisa mengganti atau minimal memberikan pengawasan yang ketat.
Marah-marah atau mengamuk tak berkesudahan di hadapan publik tidak akan menyelesaikan masalah karena tetap saja para birokrat yang akan menjalankan arahan politik Ahok. Kalau melihat kondisi ini tentunya kita tak bisa menyalahkan salah satu pihak saja. Kedua pihak jelas salah karena politik itu adalah masalah cara mencari titik temu.
Kalau masing-masing ngotot , buat apa berpolitik? Masalah ini harus disadari baik oleh Gubernur Ahok maupun DPRD DKIJakarta. Karena Ibu Kota ini sudah menghadapi deadline penyerahan APBD 2015 pada Jumat 13 Maret. Jika pada tanggal itu belum ada kesepakatan, maka harus digunakan APBD-P 2014.
Memang nilai APBDPerubahan 2014 DKI Jakarta tidak jauh berbeda dengan RAPBD 2015 yang sedang diributkan ini. Pada tahun 2014 nilainya Rp72,9 triliun, sementara pada RAPBD DKI 2015 nilainya adalah Rp73,08 triliun. Namun tentunya peruntukan pembangunannya berbeda-beda sehingga sudah barang tentu akan menghambat pembangunan Ibu Kota.
Para elite politik harus sadar bahwa perseteruan tak berujung seperti yang terjadi di Ibu Kota ini tak akan membawa kebaikan bagi masyarakat. Masyarakat pun jadinya terharu biru karena haknya untuk mendapatkan pembangunan yang berderap cepat harus tersingkirkan karena elite politiknya sibuk saling mencerca.
Bahkan perseteruan ini mengarah ke serangan-serangan personal dengan segala macam stigma yang dilontarkan dari masing-masing kubu terhadap lawannya. Kondisi penuh stigma dan juga kecurigaan tentunya tak akan berujung pada penyelesaian atau solusi.
Kedua kubu masih sibuk melempar tudingan dan cercaan yang menyesaki media massa di negeri ini. Seperti layaknya semua perseteruan, kedua kubu juga merasa paling benar dengan segala macam argumen pendukungnya. Baik bagi Gubernur Ahok maupun mayoritas anggota DPRD DKI Jakarta, apapun yang dikatakan seterunya seperti tidak ada derajat kebenarannya.
Ada pepatah asing yang perlu diingat oleh Gubernur Ahok: the ends don’t justify the means. Andaikata Pak Gubernur merasa ada yang tidak beres, dalam sistem bernegara harus ada jalur yang diikuti. Konsep Pak Gubernur yang ingin mengedepankan e-budgetting adalah hal yang sangat baik bagi perkembangan demokrasi Indonesia.
Namun jika secara politik– yang bagaimanapun harus disadari ada tarik-menarik kepentingan/ power interplay–maka kita tak akan bisa memaksakan bahwa semua hal berjalan sesuai dengan keinginan kita. Masih banyak cara bagi Gubernur Ahok untuk menjaga anggarannya agar tidak diselewengkan.
Misalnya jika Pak Ahok merasa ada angka- angka yang aneh dalam anggarannya, dia dan jajarannya bisa lebih serius dalam mengawasi pemanfaatan dana tersebut. Ahok juga bisa meminta audit yang lebih menyeluruh dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang jika dilaksanakan serius akan bisa menemukan segala macam kecurangan yang ada.
Daripada ribut di awal dan yang dianggap koruptor tak tertangkap, tentu akan lebih baik menangkap tangan para koruptor. Ahok juga harus sadar bahwa dalam politik dia tidak bisa one man show . Cara Ahok yang sering kali bermusuhan dengan jajaran SKPD DKI Jakarta juga bukanlah jalan yang baik untuk pembangunan.
Kekuatan birokrasi yang besar dalam menghadapi kekuatan politik– seperti dalam hal ini kemampuan birokrasi SKPD dibandingkan kewenangan dan otoritas yang dimiliki Ahok–sering kali menempatkan para politisi di posisi yang sulit. Ahok harus merangkul jajaran birokratnya. Kalaupun ada yang dianggap korup, Ahok bisa mengganti atau minimal memberikan pengawasan yang ketat.
Marah-marah atau mengamuk tak berkesudahan di hadapan publik tidak akan menyelesaikan masalah karena tetap saja para birokrat yang akan menjalankan arahan politik Ahok. Kalau melihat kondisi ini tentunya kita tak bisa menyalahkan salah satu pihak saja. Kedua pihak jelas salah karena politik itu adalah masalah cara mencari titik temu.
Kalau masing-masing ngotot , buat apa berpolitik? Masalah ini harus disadari baik oleh Gubernur Ahok maupun DPRD DKIJakarta. Karena Ibu Kota ini sudah menghadapi deadline penyerahan APBD 2015 pada Jumat 13 Maret. Jika pada tanggal itu belum ada kesepakatan, maka harus digunakan APBD-P 2014.
Memang nilai APBDPerubahan 2014 DKI Jakarta tidak jauh berbeda dengan RAPBD 2015 yang sedang diributkan ini. Pada tahun 2014 nilainya Rp72,9 triliun, sementara pada RAPBD DKI 2015 nilainya adalah Rp73,08 triliun. Namun tentunya peruntukan pembangunannya berbeda-beda sehingga sudah barang tentu akan menghambat pembangunan Ibu Kota.
Para elite politik harus sadar bahwa perseteruan tak berujung seperti yang terjadi di Ibu Kota ini tak akan membawa kebaikan bagi masyarakat. Masyarakat pun jadinya terharu biru karena haknya untuk mendapatkan pembangunan yang berderap cepat harus tersingkirkan karena elite politiknya sibuk saling mencerca.
(ftr)