Stop Membegal Lahan Pertanian
A
A
A
Rahmat Mustakim
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ekonomi, Pengurus Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM). Universitas Negeri Jakarta
Desaku yang kucinta, pujaan hatiku... Tak mudah kulupakan, tak mudah bercerai. Selalu kurindukan, desaku yang permai .
Selepas menyimak penggalan lirik lagu semasa kecil tadi, imajinasi kita berhasil menangkap keadaan kampung halaman yang begitu asri dan damai.
Lagu Desaku yang Kucinta itu merepresentasikan identitas desa sebagai tempat hijau penuh ladang persawahan. Pemandangan sawah dengan ditumbuhi tanaman padi menyejukkan mata dan bersih dari polusi yang menggerogoti udara kota. Bagi negara kita yang agraris, peran sawah tidak hanya dinilai sebagai lahan untuk bercocok tanam, tetapi lebih dari itu bahwa sektor pertanian menjadi salah satu pedal untuk memutar laju roda perekonomian kita meski tidak seberapa dibandingkan genjotan daripada industrialisasi di masa kini.
Arus modernisme yang justru menjadi penyebab mentalitas manusia bergeser dari agraris ke industri. Kini berhektare-hektare lahan pertanian banyak yang disulap fungsinya menjadi lahan nonpertanian sehingga tidak lagi dikatakan produktif. Kementrian Pertanian yang dihimpun lewat situs bumn.go.id mencatat bahwa derasnya laju alih fungsi lahan pertanian di berbagai daerah membuat sekitar 100.000 hektare lahan pertanian per tahunnya beralih fungsi menjadi lahan komersial nonpertanian.
Sementara itu, kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 40.000 hektare per tahun. Jika tidak ada upaya untuk menghentikan laju alih fungsi ini, ketahanan pangan di negeri kita dikhawatirkan akan terancam. Dengan limpahan tanah yang subur, modal gemah ripah loh jinawi seharusnya bisa membuat negeri ini berkedaulatan pangan. Nyatanya kebijakan pemerintah yang mengimpor komoditas seperti beras, kedelai, dan gula masih dilakukan guna mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan.
Kalau sebuah negeri yang secara alamiah kaya, tetapi pola makannya masih bergantung pada impor, maka seperti dikatakan Hermen Malik (2014) bahwa negeri itu tidak layak disebut sebagai negeri yang mandiri. Maka dari itu penjagaan terhadap lahan pertanian perlu digalakkan agar harapan ketercapaian swasembada pangan yang ditargetkan Presiden Joko Widodo selama tiga tahun ke depan bisa terwujud seperti mengulang kejadian tahun 1984.
Kita harus memerdekakan lahan pertanian. Kita harus melepaskan diri dari jeratan impor pangan. Demi kelangsungan pangan anak cucu kita nanti, jangan sampai berkah alam itu terus dibegal, lagi-lagi demi alasan alih fungsi lahan kepada sektor industri dan perumahan.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ekonomi, Pengurus Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM). Universitas Negeri Jakarta
Desaku yang kucinta, pujaan hatiku... Tak mudah kulupakan, tak mudah bercerai. Selalu kurindukan, desaku yang permai .
Selepas menyimak penggalan lirik lagu semasa kecil tadi, imajinasi kita berhasil menangkap keadaan kampung halaman yang begitu asri dan damai.
Lagu Desaku yang Kucinta itu merepresentasikan identitas desa sebagai tempat hijau penuh ladang persawahan. Pemandangan sawah dengan ditumbuhi tanaman padi menyejukkan mata dan bersih dari polusi yang menggerogoti udara kota. Bagi negara kita yang agraris, peran sawah tidak hanya dinilai sebagai lahan untuk bercocok tanam, tetapi lebih dari itu bahwa sektor pertanian menjadi salah satu pedal untuk memutar laju roda perekonomian kita meski tidak seberapa dibandingkan genjotan daripada industrialisasi di masa kini.
Arus modernisme yang justru menjadi penyebab mentalitas manusia bergeser dari agraris ke industri. Kini berhektare-hektare lahan pertanian banyak yang disulap fungsinya menjadi lahan nonpertanian sehingga tidak lagi dikatakan produktif. Kementrian Pertanian yang dihimpun lewat situs bumn.go.id mencatat bahwa derasnya laju alih fungsi lahan pertanian di berbagai daerah membuat sekitar 100.000 hektare lahan pertanian per tahunnya beralih fungsi menjadi lahan komersial nonpertanian.
Sementara itu, kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 40.000 hektare per tahun. Jika tidak ada upaya untuk menghentikan laju alih fungsi ini, ketahanan pangan di negeri kita dikhawatirkan akan terancam. Dengan limpahan tanah yang subur, modal gemah ripah loh jinawi seharusnya bisa membuat negeri ini berkedaulatan pangan. Nyatanya kebijakan pemerintah yang mengimpor komoditas seperti beras, kedelai, dan gula masih dilakukan guna mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan.
Kalau sebuah negeri yang secara alamiah kaya, tetapi pola makannya masih bergantung pada impor, maka seperti dikatakan Hermen Malik (2014) bahwa negeri itu tidak layak disebut sebagai negeri yang mandiri. Maka dari itu penjagaan terhadap lahan pertanian perlu digalakkan agar harapan ketercapaian swasembada pangan yang ditargetkan Presiden Joko Widodo selama tiga tahun ke depan bisa terwujud seperti mengulang kejadian tahun 1984.
Kita harus memerdekakan lahan pertanian. Kita harus melepaskan diri dari jeratan impor pangan. Demi kelangsungan pangan anak cucu kita nanti, jangan sampai berkah alam itu terus dibegal, lagi-lagi demi alasan alih fungsi lahan kepada sektor industri dan perumahan.
(ars)