Hujan Batu di Musim Paceklik
A
A
A
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
Batu merupakan benda yang memiliki watak yang keras, berfungsi untuk membangun keseimbangan di tengah kelabilan tanah, baik yang ada di laut, di gunung, di bukit, di sungai maupun di daratan.
Dalam sejarah peradaban manusia, batu memiliki peran yang sangat penting untuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat kita. Kita pernah memasuki zaman batu atau paleolitikum di mana masyarakat menggunakan perkakas batu sebagai alat untuk mengumpulkan nafkah kehidupan keluarga. Membelah kayu menggunakan perkakas batu, menumbuk menggunakan perkakas batu, memotong daging hewan menggunakan perkakas batu, serta berbagai aktivitas pertanian dan berburu lainnya sampai menciptakan api juga menggunakan batu.
Seiring dengan kemajuan perkembangan manusia, batu tak lagi menjadi teman keseharian masyarakat. Secara umum lebih banyak digunakan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur mulai dari jalan, jembatan, irigasi, gedung hingga peranti infrastruktur lainnya yang tidak pernah terlepas dari kekokohan batu. Peradaban masa lalu biasanya meninggalkan jejak yang tidak lapuk oleh perjalanan waktu dan musim. Batulah yang menjadi saksi sejarah bagi setiap temuan penelitian.
Batu bagi masyarakat Sunda juga mencerminkan watak kepemimpinan yang menggariskan lekuk peradaban. Batu Tulis di Bogor merupakan peranti peninggalan sejarah Kasiliwangian; seorang raja yang adil telah berhasil meletakkan telapak kaki pada benda yang cukup keras. Artinya seorang pemimpin dengan keyakinan dan kerja kerasnya akan mampu meninggalkan jejak sejarah yang cukup kuat bagi kehidupan anak cucunya di masa depan dengan berpegang teguh pada kelembutan hati, kehalusan jiwa yang dalam istilah keseharian masyarakat Sunda disebut Siliwangi: Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih.
Kekuatan kelembutan kepemimpinan akan mampu merajut kehidupan yang beradab. Lembut dalam kata-kata tak berarti dia lemah dalam pengambilan keputusan. Dalam sejarah peradabannya, para raja dahulu selalu meninggalkan karya sastra. Di balik karya sastra itu berdirilah masjid yang kokoh, candi yang megah dan indah, daerah aliran sungai yang tertata serta kehidupan masyarakat yang beradab.
Ucapan seorang adalah seperti pisau terhunus dengan ujung yang tajam, hanya akan melahirkan genderang peperangan tanpa henti. Kita pahami bersama bahwa peperangan tak pernah melahirkan kemakmuran, yang lahir adalah penderitaan. Sesejahtera-sejahteranya masyarakat berperang, adalah semiskin-miskinnya masyarakat dalam kehidupan damai.
*** Kalau bercerita tentang peperangan, Ma Icihlah pakarnya. Dengan mata yang berkaca- kaca, suara lirih Ma Icih terdengar, ”Ema pernah ngalamin hidup susah pake baju dari karung, kalau ada pesawat tempur harus masuk lubang sambil ngegél( menggigit) karet. Makan cukup dengan bodogol (bonggol) pisang. Ah, pokonya mah riweuh (merepotkan)... di sawah tidak tenang, di rumah tidak tenang, di pasar tidak tenang.
Makanya Ema pusing kalau lihat pemimpin dan para elite kerjanya bertengkar aja. Kapan mau ngebangunnya , sementara kehidupan semakin sulit. Habis hujan jalan pada bolong, gas tilu kilo (tiga kilo) langka di pasaran dan harganya jadi mahal, harga béas apung-apungan (harga beras melambung).
Kan tidak mungkin seluruh masalah ini diselesaikan kalau di antara elite dan pemimpin terus berbeda paham atau berbeda pendapat. Ema malah curiga, jangan-jangan perbedaan pendapat ini terjadi karena di antara para pemimpin dan elite beda pendapatan ... Kalau pendapatannya sudah sama, mungkin tak ada lagi perbedaan paham.
Cuman masalahnya satu, mereka tak lagi menjadikan Ema sebagai alasan untuk mengajukan berbagai hak seperti hak angket yang berujung interpelasi. Teuing nanahaon eta teh ... (entah apa itu maksudnya).” Kalau bicara masalah hak, justru hak Ema yang selama ini hilang; hak mendapatkan jalan yang baik, hak kalau malam bisa tidur nyenyak tanpa harus takut kemalingan, hak mendapat listrik yang tidak sering mati kalau ada hujan, hak mendapat pasokan air bersih, ditambah lagi Ema juga pusing karena hak sepatu Mang Udin yang copot, sedangkan tukang sol sepatu langganan Mang Udin yang biasa mangkal di pinggir jalan hari ini tidak ada, katanya diangkut petugas.
Padahal orang Garut berhak juga untuk hidup di Jakarta. Saat ini Ema juga semakin sedih karena hak Ema untuk mendapat perhatian dan kasih sayang dari Mang Udin akhir-akhir ini semakin kurang Ema dapatkan. Mang Udin saat ini hari-harinya habis untuk mencari batu-batu baru; batu kecubung, batu bacan, batu pancawarna, zamrud, safir, jala sutra, biduri.... Mang Udin sekarang ini lebih sering ke sungai, ke gunung, ke laut mencari batu idamannya.
Tak peduli hujan, angin, petir, pokona mah siga nu kaédanan we (pokoknya seperti yang tergila-gila saja).... Kalau pulang sok gagaradah kana kutang (menggeledah baju dalam) Ema . Bukan hendak melakukan petualangan cinta anak muda, tapi dia minta uang untuk membuat watang (batang cincin). Nggak tahu sudah berapa puluh batu tersimpan di rumah. Hari-hari Ema dilanda kesepian karena sentuhan lembut Mang Udin sama Ema makin jarang Ema rasakan.
Mang Udin sibuk menggosok batu ke celana pangsinya sambil berkata penuh janji manis, ”Dengarkan, Ma ... ini batu bacan, bukan batu sembarangan. Kalau peruntungannya sudah tepat, harganya bisa mahal. Bukan hanya puluhan ribu, tapi bisa jutaan bahkan miliaran. Kita bisa kaya dengan menjual batu ini.
” Ceuk (kata) Ema sama Mang Udin, ”Mahal sotéh lamun dipakéna ku Pa SBY, leungeunna bersih, cicingna mun kumpulan téh di hareup. Lamun pidato kasorot ku lampu buburinyayan, jadi hargana mahal sabab nu makéna jelEma terkenal. Tapi lamun dipaké ku manéh, unggal poé ukur buburuh macul, ramona hideung, lamun aya kumpulan diuk pangtukangna. Dipoto dinu medsos gé kalahka rumeuk. Saha atuh nu rek meulina?” (Mahal itu kalau dipakai oleh Pak SBY, tangannya bersih, dalam pertemuan duduknya di depan.
Kalau sedang pidato tersorot lampu tampak berkilauan, jadi harganya malah karena yang memakai orang terkenal. Tapi kalau kamu yang pakai, yang tiap hari cuma buruh nyangkul, jarinya legam, kalau duduk dalam pertemuan paling belakang, difoto di medsos juga malah buram. Siapa dong yang mau membelinya?)
Ma Icih melanjutkan, ”Ngomongnya juta miliar dari batu ali (cincin) kesayangan, kalau makan enak ternyata sama sambel anu direkuh di coét batu ku mutu batu. Asa teungteuingan manéh mah Udin, cul dogdog tinggal igel... Nu lain dienya-enya, nu enya dilain-lain... Aribatualinucantanggu manfaatnaditareangan, ari coet batu di imah geus sapuluh taun teu diganti tepi ka beulah embung meuli nu anyar.” (Ngomongnya juta miliar dari batu cincin kesayangan, kalau makan enak ternyata sama sambal yang dihaluskan pakai ulekan batu di atas cobek batu.
Keterlaluan kamu Udin... yang palsu dianggap asli, yang asli dianggap palsu... Batu akik yang belum tentu manfaatnya terus dicari-cari, tapi cobek batu di rumah yang sudah sepuluh tahun ada di rumah hingga terbelah enggan membeli yang baru). Kalau lihat kelakuan Mang Udin, Ema khawatir nanti taman-taman tak indah lagi, bangunan tanpa fondasi, jalan tanpa landasan, dan dapur bisa berhenti nyambel, karena tak ada lagi pengrajin coét (cobek) batu, pengrajin mutu (ulekan) batu, pembuat jubleg batu, kuli batu belah, kuli batu biskos, dan kuli abu batu... semuanya beralih profesi menekuni batu akik yang lebih menjanjikan. Walah... bisa bahaya yeuh.”
*** Walaupun Ema kesel sama Mang Udin, karena kecintaannya sama batu ali hampir melupakan cintanya sama Ema , tapi Ema menentang juga kalau yang mengatakan make batu ali itu musyrik karena mencintai batu ali adalah mencintai kebudayaan dan kekayaan kita sendiri. Ema tak habis pikir kalau Mang Udin pake gelang bahar ditertawakan, dianggap preman kampung.
Kalau pake batu ali dan bakar kemenyan dianggap dukun dan dimusyrikkan. Tapi ketika orang bangga pake gelang giok impor yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit, terus pake minyak wangi impor, ngga ada tuh yang mengatakan musyrik. Jadi Ema berpandangan, kemusyrikan itu hanya diperuntukkan bagi kebudayaan kita.
Kadang Ema bingung, kok pendapat tentang kemusyrikan hanya diperuntukkan bagi produk budaya dalam negeri, tapi tidak berlaku untuk produk budaya asing. Palebah dieu mah Ema teu ngarti (di bagian ini Ema tidak mengerti)....
Bupati Purwakarta
Batu merupakan benda yang memiliki watak yang keras, berfungsi untuk membangun keseimbangan di tengah kelabilan tanah, baik yang ada di laut, di gunung, di bukit, di sungai maupun di daratan.
Dalam sejarah peradaban manusia, batu memiliki peran yang sangat penting untuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat kita. Kita pernah memasuki zaman batu atau paleolitikum di mana masyarakat menggunakan perkakas batu sebagai alat untuk mengumpulkan nafkah kehidupan keluarga. Membelah kayu menggunakan perkakas batu, menumbuk menggunakan perkakas batu, memotong daging hewan menggunakan perkakas batu, serta berbagai aktivitas pertanian dan berburu lainnya sampai menciptakan api juga menggunakan batu.
Seiring dengan kemajuan perkembangan manusia, batu tak lagi menjadi teman keseharian masyarakat. Secara umum lebih banyak digunakan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur mulai dari jalan, jembatan, irigasi, gedung hingga peranti infrastruktur lainnya yang tidak pernah terlepas dari kekokohan batu. Peradaban masa lalu biasanya meninggalkan jejak yang tidak lapuk oleh perjalanan waktu dan musim. Batulah yang menjadi saksi sejarah bagi setiap temuan penelitian.
Batu bagi masyarakat Sunda juga mencerminkan watak kepemimpinan yang menggariskan lekuk peradaban. Batu Tulis di Bogor merupakan peranti peninggalan sejarah Kasiliwangian; seorang raja yang adil telah berhasil meletakkan telapak kaki pada benda yang cukup keras. Artinya seorang pemimpin dengan keyakinan dan kerja kerasnya akan mampu meninggalkan jejak sejarah yang cukup kuat bagi kehidupan anak cucunya di masa depan dengan berpegang teguh pada kelembutan hati, kehalusan jiwa yang dalam istilah keseharian masyarakat Sunda disebut Siliwangi: Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih.
Kekuatan kelembutan kepemimpinan akan mampu merajut kehidupan yang beradab. Lembut dalam kata-kata tak berarti dia lemah dalam pengambilan keputusan. Dalam sejarah peradabannya, para raja dahulu selalu meninggalkan karya sastra. Di balik karya sastra itu berdirilah masjid yang kokoh, candi yang megah dan indah, daerah aliran sungai yang tertata serta kehidupan masyarakat yang beradab.
Ucapan seorang adalah seperti pisau terhunus dengan ujung yang tajam, hanya akan melahirkan genderang peperangan tanpa henti. Kita pahami bersama bahwa peperangan tak pernah melahirkan kemakmuran, yang lahir adalah penderitaan. Sesejahtera-sejahteranya masyarakat berperang, adalah semiskin-miskinnya masyarakat dalam kehidupan damai.
*** Kalau bercerita tentang peperangan, Ma Icihlah pakarnya. Dengan mata yang berkaca- kaca, suara lirih Ma Icih terdengar, ”Ema pernah ngalamin hidup susah pake baju dari karung, kalau ada pesawat tempur harus masuk lubang sambil ngegél( menggigit) karet. Makan cukup dengan bodogol (bonggol) pisang. Ah, pokonya mah riweuh (merepotkan)... di sawah tidak tenang, di rumah tidak tenang, di pasar tidak tenang.
Makanya Ema pusing kalau lihat pemimpin dan para elite kerjanya bertengkar aja. Kapan mau ngebangunnya , sementara kehidupan semakin sulit. Habis hujan jalan pada bolong, gas tilu kilo (tiga kilo) langka di pasaran dan harganya jadi mahal, harga béas apung-apungan (harga beras melambung).
Kan tidak mungkin seluruh masalah ini diselesaikan kalau di antara elite dan pemimpin terus berbeda paham atau berbeda pendapat. Ema malah curiga, jangan-jangan perbedaan pendapat ini terjadi karena di antara para pemimpin dan elite beda pendapatan ... Kalau pendapatannya sudah sama, mungkin tak ada lagi perbedaan paham.
Cuman masalahnya satu, mereka tak lagi menjadikan Ema sebagai alasan untuk mengajukan berbagai hak seperti hak angket yang berujung interpelasi. Teuing nanahaon eta teh ... (entah apa itu maksudnya).” Kalau bicara masalah hak, justru hak Ema yang selama ini hilang; hak mendapatkan jalan yang baik, hak kalau malam bisa tidur nyenyak tanpa harus takut kemalingan, hak mendapat listrik yang tidak sering mati kalau ada hujan, hak mendapat pasokan air bersih, ditambah lagi Ema juga pusing karena hak sepatu Mang Udin yang copot, sedangkan tukang sol sepatu langganan Mang Udin yang biasa mangkal di pinggir jalan hari ini tidak ada, katanya diangkut petugas.
Padahal orang Garut berhak juga untuk hidup di Jakarta. Saat ini Ema juga semakin sedih karena hak Ema untuk mendapat perhatian dan kasih sayang dari Mang Udin akhir-akhir ini semakin kurang Ema dapatkan. Mang Udin saat ini hari-harinya habis untuk mencari batu-batu baru; batu kecubung, batu bacan, batu pancawarna, zamrud, safir, jala sutra, biduri.... Mang Udin sekarang ini lebih sering ke sungai, ke gunung, ke laut mencari batu idamannya.
Tak peduli hujan, angin, petir, pokona mah siga nu kaédanan we (pokoknya seperti yang tergila-gila saja).... Kalau pulang sok gagaradah kana kutang (menggeledah baju dalam) Ema . Bukan hendak melakukan petualangan cinta anak muda, tapi dia minta uang untuk membuat watang (batang cincin). Nggak tahu sudah berapa puluh batu tersimpan di rumah. Hari-hari Ema dilanda kesepian karena sentuhan lembut Mang Udin sama Ema makin jarang Ema rasakan.
Mang Udin sibuk menggosok batu ke celana pangsinya sambil berkata penuh janji manis, ”Dengarkan, Ma ... ini batu bacan, bukan batu sembarangan. Kalau peruntungannya sudah tepat, harganya bisa mahal. Bukan hanya puluhan ribu, tapi bisa jutaan bahkan miliaran. Kita bisa kaya dengan menjual batu ini.
” Ceuk (kata) Ema sama Mang Udin, ”Mahal sotéh lamun dipakéna ku Pa SBY, leungeunna bersih, cicingna mun kumpulan téh di hareup. Lamun pidato kasorot ku lampu buburinyayan, jadi hargana mahal sabab nu makéna jelEma terkenal. Tapi lamun dipaké ku manéh, unggal poé ukur buburuh macul, ramona hideung, lamun aya kumpulan diuk pangtukangna. Dipoto dinu medsos gé kalahka rumeuk. Saha atuh nu rek meulina?” (Mahal itu kalau dipakai oleh Pak SBY, tangannya bersih, dalam pertemuan duduknya di depan.
Kalau sedang pidato tersorot lampu tampak berkilauan, jadi harganya malah karena yang memakai orang terkenal. Tapi kalau kamu yang pakai, yang tiap hari cuma buruh nyangkul, jarinya legam, kalau duduk dalam pertemuan paling belakang, difoto di medsos juga malah buram. Siapa dong yang mau membelinya?)
Ma Icih melanjutkan, ”Ngomongnya juta miliar dari batu ali (cincin) kesayangan, kalau makan enak ternyata sama sambel anu direkuh di coét batu ku mutu batu. Asa teungteuingan manéh mah Udin, cul dogdog tinggal igel... Nu lain dienya-enya, nu enya dilain-lain... Aribatualinucantanggu manfaatnaditareangan, ari coet batu di imah geus sapuluh taun teu diganti tepi ka beulah embung meuli nu anyar.” (Ngomongnya juta miliar dari batu cincin kesayangan, kalau makan enak ternyata sama sambal yang dihaluskan pakai ulekan batu di atas cobek batu.
Keterlaluan kamu Udin... yang palsu dianggap asli, yang asli dianggap palsu... Batu akik yang belum tentu manfaatnya terus dicari-cari, tapi cobek batu di rumah yang sudah sepuluh tahun ada di rumah hingga terbelah enggan membeli yang baru). Kalau lihat kelakuan Mang Udin, Ema khawatir nanti taman-taman tak indah lagi, bangunan tanpa fondasi, jalan tanpa landasan, dan dapur bisa berhenti nyambel, karena tak ada lagi pengrajin coét (cobek) batu, pengrajin mutu (ulekan) batu, pembuat jubleg batu, kuli batu belah, kuli batu biskos, dan kuli abu batu... semuanya beralih profesi menekuni batu akik yang lebih menjanjikan. Walah... bisa bahaya yeuh.”
*** Walaupun Ema kesel sama Mang Udin, karena kecintaannya sama batu ali hampir melupakan cintanya sama Ema , tapi Ema menentang juga kalau yang mengatakan make batu ali itu musyrik karena mencintai batu ali adalah mencintai kebudayaan dan kekayaan kita sendiri. Ema tak habis pikir kalau Mang Udin pake gelang bahar ditertawakan, dianggap preman kampung.
Kalau pake batu ali dan bakar kemenyan dianggap dukun dan dimusyrikkan. Tapi ketika orang bangga pake gelang giok impor yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit, terus pake minyak wangi impor, ngga ada tuh yang mengatakan musyrik. Jadi Ema berpandangan, kemusyrikan itu hanya diperuntukkan bagi kebudayaan kita.
Kadang Ema bingung, kok pendapat tentang kemusyrikan hanya diperuntukkan bagi produk budaya dalam negeri, tapi tidak berlaku untuk produk budaya asing. Palebah dieu mah Ema teu ngarti (di bagian ini Ema tidak mengerti)....
(ars)