Mencari Pemutus Sengketa Hasil Pilkada
A
A
A
Pembentuk undang-undang seperti kehabisan akal untuk mencari jawaban hendak diberikan ke institusi apa kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, memberikan kembali wewenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). Aspirasi ini sangat disokong oleh pemerintah (baca: Kementerian Dalam Negeri) karena berupaya mengembalikan pilkada ke dalam rezim pemerintahan daerah, bukan lagi rezim pemilihan langsung.
Keinginan Kemendagri tersebut ternyata tidak didukung oleh DPR. Melalui revisi terbatas UU Nomor1/2015, merekatetap menginginkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Terlebih MA sudah menyatakan keberatannya karena menerima dan masih menunggak banyak perkara.
Persoalannya, dalam putusan Tahun 2013, MK sudah pernah menyatakan bahwa menempatkan sengketa pilkada ke MK bertentangan dengan UUD 1945 karena pilkada bukan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Kontroversi MA
Awalnya, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, undangundang yang mengubah pilkada melalui DPRD menjadi pilkada langsung oleh rakyat, penyelesaian sengketa hasil pilkada memang diserahkan kepada MA. Untuk sengketa hasil pemilihan gubernur, MA langsung mengadili sendiri, tetapi untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota diserahkan kepada pengadilan-pengadilan tinggi.
Selama sengketa hasil pilkada disidangkan MA sejak 2005 hingga 2008 mencuat beberapa kontroversi. Yang paling menonjol Pilkada Depok 2005, Pilkada Maluku Utara 2007, dan Pilkada Sulsel 2007. Tiga pilkada tersebut telah memunculkan pertikaian antarkubu yang bersaing dan semakin diperuncing dengan putusan pengadilan yang justru tidak menyelesaikan masalah, tetapi malahan memancing masalah baru.
Pada Pilkada Depok 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah membuat putusan yang tidak masuk akal yaitu memenangkan gugatan pasangan yang kalah dengan hanya berbekal asumsi. Salah satunya menghitung suara mereka yang tidak memilih.
Akibat itu, meski undang-undang tidak mengatur mekanisme peninjauan kembali (PK) karena putusan sangat tidak rasional, MA akhirnya membatalkan putusan PT Jabar. Pada Pilkada Sulsel 2007, putusan MA menyulut kontroversi karena memerintahkan pilkada ulang, padahal maksudnya pemungutan suara ulang.
Karena perintahnya pilkada ulang, yang artinya proses mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pelantikan pasangan calon terpilih, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. KPU Sulsel pun mengajukan PK dan akhirnya MA mengabulkan PK tersebut. Pada Pilkada Maluku Utara, MA tidak memberikan putusan yang pasti terhadap kubu yang dimenangkan.
MA hanya memberikan perintah menghitung ulang suara, padahal KPU Maluku Utara telah terbelah. Penghitungan ulang dilakukan, tetapi hasilnya tetap tidak jelas siapa yang menang karena ada dua versi KPU Maluku Utara dengan dua versi hasil penghitungan pula. Kontroversi di MA telah menyulutkan tuntutan untuk menggeser penyelesaian sengketa ke MK yang dipandang lebih kredibel.
Secara resmi, sejak pertengahan 2008, melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32/2004, MK menyidangkan sengketa hasil pilkada yang telah bergeser maknanya menjadi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Banyak apresiasi yang dialamatkan ke MK selama menyidangkan sengketa hasil pemilukada.
Ratusan kasus telah diselesaikan tanpa riak berarti karena tingkat kepercayaan masyarakat yangtinggi. Hingga, pada 2 Oktober 2013, Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih. Akil dibui dan diganjar hukuman seumur hidup, hukuman tertinggi bagi koruptor hingga saat ini.
Kendati persoalan Akil sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK hingga titik nadir, perlahan tapi pasti di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK merebut kembali kepercayaan masyarakat. Secara umum masyarakat tidakmenolak kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa pemilukada hingga MK sendiri yang menghapuskan kewenangan tersebut dalam putusan pada 2013.
Alhasil, ketika pembentuk undang-undang mencari lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada (setelah undang-undang mengembalikan lagi terminologi pemilukada menjadi pilkada), pilihan menjadi begitu sempit. Karena sudah ada putusan MK, logikanya penanganan harus balik lagi ke MA.
Masalahnya, MA berkeberatan dan masyarakat sipil penggiat pemilu juga tidak ingin MA. Sebagai jalan tengahnya, pembentuk undangundang memerintahkan penanganan sengketa hasil pilkada kepada badan pengadilan khusus. Namun, selama badan tersebut belum terbentuk, MK kembali diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.
Wewenang Bawaslu
Dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu, termasuk sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional. Yang terakhir pernah terjadi di Afghanistan karena institusi lokal sudah ambruk sehingga penyelesaian diserahkan kepada instrumen-instrumen internasional yang membantu pelaksanaan pemilu di negara itu.
Dalam konteks Indonesia, pilihan selain pengadilan masih terbuka untuk penyelesaian oleh penyelenggara pemilu. Oleh parlemen sangat tidak mungkin karena level kepercayaan terhadap parlemen sangat rendah, terlebih bila dikaitkan dengan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan pilkada.
Sementara instrumen internasionalsangat tidakdiperlukan karena institusi lokal masih mungkin berjalan normal. Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kepada lembaga mana penyelesaian sengketa hasil pilkada hendak diberikan?
Saya lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil pilkada tersebut diserahkan kepada Bawaslu. Saat ini Bawaslu diberikan tiga kewenangan yaitu melakukan pengawasan, penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif. Bisa dikatakan, bisnis inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di sinilah letak persoalannya.
Pengawasan tidak jelas ukurannya. Antara input dan ouptput tidak terukur. Tidak heran banyak pihak yang menyatakan lebih baik peran pengawasan Bawaslu diserahkan kepada masyarakat, pemantau, parpol, dan kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu juga tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak menentukan.
Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu, yang jelas sangat bisa diukur tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu legislatif dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus diserahkan kepada MK.
Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian sengketa hasil pilkada oleh Bawaslu akan jauh lebih baik bila dibandingkan menyerahkannya kembali ke MA sebagaimana disebut dalam UU Nomor 1/2015. Terlebih MA menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota ke pengadilan tinggi. Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal.
Para pecundang dan pengacara siap-siap menunggu di tikungan untuk mempersoalkan sengketa hasil pilkada ke MA atau pengadilan tinggi. Dambaan pilkada murah menjadi hanya menggantang asap. Terhadap keputusan untuk mengembalikan ke MK untuk sementara waktu sebelum terbentuknya badan pengadilan khusus, saya termasuk yang sepakat.
Namun, bila putusan MK pada 2013 menghalangi lembaga ini untuk menangani sengketa hasil pilkada secara permanen, Bawaslu yang direformasi dari sisi kelembagaan dan personel dapat menjadi pilihan.
Tidak perlu membentuk lembaga baru yang pastinya akan memakan biaya, padahal ada lembaga yang masih bisa dimaksimalkan fungsinya.
Refly Harun
Ahli Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, memberikan kembali wewenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). Aspirasi ini sangat disokong oleh pemerintah (baca: Kementerian Dalam Negeri) karena berupaya mengembalikan pilkada ke dalam rezim pemerintahan daerah, bukan lagi rezim pemilihan langsung.
Keinginan Kemendagri tersebut ternyata tidak didukung oleh DPR. Melalui revisi terbatas UU Nomor1/2015, merekatetap menginginkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Terlebih MA sudah menyatakan keberatannya karena menerima dan masih menunggak banyak perkara.
Persoalannya, dalam putusan Tahun 2013, MK sudah pernah menyatakan bahwa menempatkan sengketa pilkada ke MK bertentangan dengan UUD 1945 karena pilkada bukan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Kontroversi MA
Awalnya, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, undangundang yang mengubah pilkada melalui DPRD menjadi pilkada langsung oleh rakyat, penyelesaian sengketa hasil pilkada memang diserahkan kepada MA. Untuk sengketa hasil pemilihan gubernur, MA langsung mengadili sendiri, tetapi untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota diserahkan kepada pengadilan-pengadilan tinggi.
Selama sengketa hasil pilkada disidangkan MA sejak 2005 hingga 2008 mencuat beberapa kontroversi. Yang paling menonjol Pilkada Depok 2005, Pilkada Maluku Utara 2007, dan Pilkada Sulsel 2007. Tiga pilkada tersebut telah memunculkan pertikaian antarkubu yang bersaing dan semakin diperuncing dengan putusan pengadilan yang justru tidak menyelesaikan masalah, tetapi malahan memancing masalah baru.
Pada Pilkada Depok 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah membuat putusan yang tidak masuk akal yaitu memenangkan gugatan pasangan yang kalah dengan hanya berbekal asumsi. Salah satunya menghitung suara mereka yang tidak memilih.
Akibat itu, meski undang-undang tidak mengatur mekanisme peninjauan kembali (PK) karena putusan sangat tidak rasional, MA akhirnya membatalkan putusan PT Jabar. Pada Pilkada Sulsel 2007, putusan MA menyulut kontroversi karena memerintahkan pilkada ulang, padahal maksudnya pemungutan suara ulang.
Karena perintahnya pilkada ulang, yang artinya proses mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pelantikan pasangan calon terpilih, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. KPU Sulsel pun mengajukan PK dan akhirnya MA mengabulkan PK tersebut. Pada Pilkada Maluku Utara, MA tidak memberikan putusan yang pasti terhadap kubu yang dimenangkan.
MA hanya memberikan perintah menghitung ulang suara, padahal KPU Maluku Utara telah terbelah. Penghitungan ulang dilakukan, tetapi hasilnya tetap tidak jelas siapa yang menang karena ada dua versi KPU Maluku Utara dengan dua versi hasil penghitungan pula. Kontroversi di MA telah menyulutkan tuntutan untuk menggeser penyelesaian sengketa ke MK yang dipandang lebih kredibel.
Secara resmi, sejak pertengahan 2008, melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32/2004, MK menyidangkan sengketa hasil pilkada yang telah bergeser maknanya menjadi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Banyak apresiasi yang dialamatkan ke MK selama menyidangkan sengketa hasil pemilukada.
Ratusan kasus telah diselesaikan tanpa riak berarti karena tingkat kepercayaan masyarakat yangtinggi. Hingga, pada 2 Oktober 2013, Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih. Akil dibui dan diganjar hukuman seumur hidup, hukuman tertinggi bagi koruptor hingga saat ini.
Kendati persoalan Akil sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK hingga titik nadir, perlahan tapi pasti di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK merebut kembali kepercayaan masyarakat. Secara umum masyarakat tidakmenolak kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa pemilukada hingga MK sendiri yang menghapuskan kewenangan tersebut dalam putusan pada 2013.
Alhasil, ketika pembentuk undang-undang mencari lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada (setelah undang-undang mengembalikan lagi terminologi pemilukada menjadi pilkada), pilihan menjadi begitu sempit. Karena sudah ada putusan MK, logikanya penanganan harus balik lagi ke MA.
Masalahnya, MA berkeberatan dan masyarakat sipil penggiat pemilu juga tidak ingin MA. Sebagai jalan tengahnya, pembentuk undangundang memerintahkan penanganan sengketa hasil pilkada kepada badan pengadilan khusus. Namun, selama badan tersebut belum terbentuk, MK kembali diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.
Wewenang Bawaslu
Dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu, termasuk sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional. Yang terakhir pernah terjadi di Afghanistan karena institusi lokal sudah ambruk sehingga penyelesaian diserahkan kepada instrumen-instrumen internasional yang membantu pelaksanaan pemilu di negara itu.
Dalam konteks Indonesia, pilihan selain pengadilan masih terbuka untuk penyelesaian oleh penyelenggara pemilu. Oleh parlemen sangat tidak mungkin karena level kepercayaan terhadap parlemen sangat rendah, terlebih bila dikaitkan dengan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan pilkada.
Sementara instrumen internasionalsangat tidakdiperlukan karena institusi lokal masih mungkin berjalan normal. Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kepada lembaga mana penyelesaian sengketa hasil pilkada hendak diberikan?
Saya lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil pilkada tersebut diserahkan kepada Bawaslu. Saat ini Bawaslu diberikan tiga kewenangan yaitu melakukan pengawasan, penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif. Bisa dikatakan, bisnis inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di sinilah letak persoalannya.
Pengawasan tidak jelas ukurannya. Antara input dan ouptput tidak terukur. Tidak heran banyak pihak yang menyatakan lebih baik peran pengawasan Bawaslu diserahkan kepada masyarakat, pemantau, parpol, dan kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu juga tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak menentukan.
Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu, yang jelas sangat bisa diukur tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu legislatif dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus diserahkan kepada MK.
Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian sengketa hasil pilkada oleh Bawaslu akan jauh lebih baik bila dibandingkan menyerahkannya kembali ke MA sebagaimana disebut dalam UU Nomor 1/2015. Terlebih MA menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota ke pengadilan tinggi. Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal.
Para pecundang dan pengacara siap-siap menunggu di tikungan untuk mempersoalkan sengketa hasil pilkada ke MA atau pengadilan tinggi. Dambaan pilkada murah menjadi hanya menggantang asap. Terhadap keputusan untuk mengembalikan ke MK untuk sementara waktu sebelum terbentuknya badan pengadilan khusus, saya termasuk yang sepakat.
Namun, bila putusan MK pada 2013 menghalangi lembaga ini untuk menangani sengketa hasil pilkada secara permanen, Bawaslu yang direformasi dari sisi kelembagaan dan personel dapat menjadi pilihan.
Tidak perlu membentuk lembaga baru yang pastinya akan memakan biaya, padahal ada lembaga yang masih bisa dimaksimalkan fungsinya.
Refly Harun
Ahli Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM
(ftr)