Menyelami Pusaran Banjir Ibu Kota

Rabu, 18 Februari 2015 - 11:54 WIB
Menyelami Pusaran Banjir Ibu Kota
Menyelami Pusaran Banjir Ibu Kota
A A A
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo Indonesia


Sampai saat ini Jakarta sebagai ibu kota negara masih saja terendam banjir. Bukan kabar baru memang, mengingat Jakarta sesungguhnya sudah pernah dinyatakan darurat banjir, sejak pertengahan Januari (2014) tahun lalu.

Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memulai program rekayasa cuaca. Agaknya penanggulangan bencana banjir tidak cukup hanya dengan manajemen dan teknologi pengurangan genangan, tetapi juga penataan lingkungan, termasuk menegakkan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).

Presiden pun sudah pernah menyingsingkan celana (sampai lutut), karena Istana Negara kebanjiran. Andai Istana akan terus kebanjiran, toh takkan sampai mengganggu aktivitas ekonomi maupun politik. Boleh jadi, cukup baik untuk pencitraan politik, yakni yang dirasakan rakyat, dirasakan pula oleh ”penghuni” Istana (walau tidak membutuhkan bantuan pangan).

Program rekayasa cuaca pernah dicoba, yakni menghardik awan ke arah laut agar hujan jatuh di perairan Laut Jawa. Kawasan sekitar Ibu Kota (Tangerang dan Bekasi) juga mesti dimitigasi untuk mengurangi banjir. Jika tidak, dampaknya pasti menghambat perekonomian dan menyebabkan inflasi (terutama harga bahan pangan).

Tetapi rekayasa cuaca dilakukan bagai ”setengah hati”. Trauma banjir Jakarta, siapa tak miris? Sampai Ibu Kota dinyatakan dalam situasi darurat banjir. Istana Merdeka pun tak luput dari genangan air setinggi 20 cm. Lebih lagi curah hujan di Ibu Kota selalu menunjukkan tren terus meningkat rata-rata lebih dari 20 milimeter per bulan dibanding normalnya.

Paradigma meteorologi memastikan, bahwa peningkatancurah hujan disebabkan naiknya suhu udara. Saat ini Jakarta semakin hangat. Suhu yang semakin hangat ini mengundang massa uap udara berpindah dari tempat rendah ke tempat yang semakin tinggi, dalam hal ini dari lautan ke daratan Jakarta.

Sehingga semestinya seluruh masyarakat (terutama pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota) mewaspadai tren cuaca ekstrem. Termasuk mitigasi untuk mengurangi dampak banjir. Dulu pernah digagas (dan sudah dipraktikkan) rekayasa cuaca. Konon hanya dengan 100 ton garam, sudah cukup untuk menghindarkan Ibu Kota dari banjir bandang.

Setahun berlalu, saat ini, ancaman dampak bencana banjir masih tetap. Boleh jadi, Istana Negara juga tetap terancam banjir. Bahkan, Gubernur DKI (saat itu Jokowi) sudah memerintahkan pintu air yang mengarah ke Istana dibuka. Ini untuk mengurangi banjir di daerah yang paling parah terdampak.

Tetapi sesungguhnya, bencana tak pernah datang tibatiba. Selalu ada semacam early warning alamiah, berupa gejala bencana. Namun, sejak banjir bandang (besar) pertama, satu dekade lalu, permasalahannya tetap. Curah hujan tinggi yang tak terserap bumi dari daerah Puncak (Bogor) tak terbendung masuk Jakarta.

Selalu seperti itu. Yang berbeda, kawasan yang terendam makin meluas. Seolah-olah pemerintah (dan pemerintah DKI) tidak berbuat apa pun. Masyarakat daerah di luar Ibu Kota juga menghadapi situasi serupa. Karena daya dukung wilayah daerah aliran sungai (DAS) semakin menyusut. Ini yang menyebabkan selalu meluberkan air. Antara lain Sungai Bengawan Solo tidak hanya mengalir sampai (akhirnya) ke laut, melainkan juga menerjang sawah dan merendam perkampungan.

Cara sistemik (penerapan teknologi rekayasa cuaca) mesti dilaksanakan lebih masif. Namun DAS juga harus tetap dijaga ketat, tidak boleh ”ditanami” pabrik dan rumah tinggal. Sebagaimana amanat UU Nomor 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mestilah kukuh menjaga lingkungan hidup.

Spirit Hadapi Banjir

Kerugian yang diakibatkan banjir sungguh besar secara keekonomian. Sering pula diiringi inflasi karena gagal panen dan terhambatnya jalur distribusi. Tetapi inilah periode (musim) yang cukup efektif untuk mengendurkan eksploitasi perekonomian oleh masyarakat. Sebagai gantinya, pemerintah mestilah bekerja lebih keras memberi stimulus berupa proyek infrastruktur.

Serta program karitatif menjaga daya beli masyarakat. Di berbagai negara yang kerap menghadapi bencana, masyarakat dilatih menghadapi bencana, sejak dini. Bahkan melalui kurikulum sekolah. Di Amerika Serikat diajarkan kurikulum menghadapi badai dan kebakaran. Sedangkan di Jepang dan Korea Selatan, sekolah-sekolah mengajarkan menghadapi banjir akibat tsunami.

Termasuk pengajaran pengelolaan sumber makanan pada saat gempa. UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 9 huruf (b) memberikan kewenangan memasukkan penanggulangan bencana pada perencanaan pembangunan. Karena itu, seyogianya dalam penyusunan RPJMD tingkat kabupaten dan kota, juga memasukkan aspek penanggulangan dampak bencana.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan regulasi yang ditetapkan menjadi peraturan daerah. Penetapannya tak lama setelah pelantikan kepala daerah (baru) yang memenangi pilkada. Februari ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks harga konsumen. Terdapat kenaikan harga-harga total hampir sebesar 10% selama Januari 2015, walau pada sebulan itu inflasi tercatat ”hanya” 1,07%.

Kenaikan inflasi dan indeks harga konsumen (IHK) tergolong rutin, tetapi tahun ini terjadi tren semakin naik. Januari tahun (2014) lalu inflasi tercatat tak lebih dari 0,9%. Pada saat sama, banjir menyebabkan seluruh moda transportasi (darat, laut, dan udara) mengalami kendala di jalan. Dus, mengurangi suplai bahan pangan. Ujung-ujungnya biaya transportasi juga naik.

Bahkan menurut data BPS, karena cuaca pula, upah jasa tukang dan upah pembantu rumah tangga turut naik. Karena itu, pemerintah daerah mesti bersiap-siap menggencarkan operasi pasar. Inovasi dan kreasi tim BPBD harus selalu dilakukan, termasuk memasukkan aspek rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Sebab berdasar mapping bencana, seluruh daerah di Jawa Timur tanpa terkecuali, (di 38 kabupaten dan kota), rawan terhadap bencana banjir. Ancaman peringkat kedua, berupa badai di 31kabupaten/ kota, sertapotensi gempa bumi di 23 kabupaten/ kota. Lalu bencana susulan berupa tanah longsor mengancam di 20 kabupaten/kota.

Terlepas dari budaya politik kita yang lebih meletakkan bencana dan berbagai peristiwa memilukan sebagai ajang narsis partai politik, yang justru dikhawatirkan adalah bahwa bencana khususnya di Jakarta, bukan sesuatu yang harus diselesaikan, tetapi malah sekadar sebagai alat mencari keuntungan politik. Artinya, bencana yang terjadi di Ibu Kota acap menjadi pintu masuk bagi kepentingan politik tertentu untuk mendapatkan keuntungan.

Bahkan sering terjadi bencana atau persoalan lain di Ibu Kota menjadi panggung pertarungan politik di level provinsi Jakarta dengan pusat. Apalagi secara politik, penguasa Jakarta alias gubernur DKI Jakarta tidak akur dengan presiden RI. Maka kemudian yang terjadi adalah ada pertarungan kepentingan politik antara DKI-1 dan RI-1.

Kondisi itu sesungguhnya bukan kabar baru, bahwa penanganan bencana atau permasalahan apa pun di Jakarta tidak pernah murni sebagai penanganan bencana, tetapi selalu melakukan melibatkan faktor kepentingan politik di dalamnya.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5837 seconds (0.1#10.140)