Penyalur Mobil Tetangga?
A
A
A
Hendrik Kawilarang Luntungan
Wakil Sekjen Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
Entah apa yang salah dengan negeri ini. Belum selesai kisruh KPK-Polri. Sepanjang pekan lalu, publik dikejutkan lagi dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kunjungan kerjanya ke Malaysia, Jumat (6/2), Jokowi bersama Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyaksikan penandatanganan MoU pembuatan mobil nasional. Setidaknya itu terlihat dari spanduk yang terpampang di belakang mereka. Yang kerja sama adalah PT Proton Holding Berhad dengan PT Adiperkasa Citra Lestari.
Yang pertama, semua sudah tahu adalah produsen mobil Proton (kependekan dari Perusahaan Otomotif Nasional). Tapi PT ACL milik orang dekat Jokowi, AM Hendropriyono, belum sekali pun terdengar kiprahnya di bidang automotif. Sontak muncul kritik dan protes luas di dalam negeri, terutama kepada Jokowi.
Tapi tak lama berselang, pemerintah ”meluruskan” bahwa itu bukan program mobil nasional. Itu hanya kerja sama business to business seperti diungkap Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil. Namun, tetap saja kontroversi berlanjut. Ingatan rakyat kemudian mengarah kepada mobil Esemka, produk anakanak sekolah menengah kejuruan (SMK) asal Solo.
Soal Esemka ini sebenarnya Presiden tak boleh lupa. Ketika Jokowi masih menjabat wali Kota Solo diarak menggunakan mobil Esemka dengan nopol AD 1 A. Bahkan saat jadi gubernur DKI Jakarta, dia terus melempar mimpi akan menjadikan Esemka sebagai mobil kebanggaan nasional. Dan, mimpi mobil nasional ini juga yang membawa Pak Jokowi kini menjabat RI 1.
Namun yang terjadi kemudian, impian itu tinggal mimpi belaka. Setidaknya hingga kini belum ada kebijakan pemerintah mengembangkan industri mobil nasional. Kucuran keringat dan semangat anak-anak bangsa (baca: SMK) rupanya hanya dijadikan kendaraan politik untuk mengangkat citra.
Bukan untuk benar-benar membangun industri mobil nasional. Kesepakatan itu menyatakan pada tahap awal Malaysia akan mengekspor kendaraan utuh ke Indonesia. Berikutnya kedua perusahaan akan merakit mobil dan membuat pabrik komponen di Indonesia. ”Nantinya akan menjadi mobil buatan Indonesia,” kata Mahathir seperti dikutip Bernama .
Proton Berhad dipimpin bekas orang kuat Malaysia, bekas Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Berdiri sejak 1983, Proton awalnya menggandeng Mitsubishi (Jepang). Kini perusahaan ini menggandeng Lotus (Inggris). Mitsubishi dan Lotus memasok mesin. Rangka bodi dan desain dikerjakan Proton. Proton memang sempat meraih angka produksi satu juta unit pada 1996 dan mengakuisisi mayoritas saham dari Grup Lotus.
Bahkan pada 2001, dia menguasai pasar automotif Malaysia hingga mencapai 53%. Tapi sejak Januari 2012, perusahaan kebanggaan Malaysia ini ditake over satu konglomerasi sana, DRB-HicomBerhad, milikTanSri Syed Mokhtar Albukhary. Musababnya sederhana: kesulitan keuangan. Mengapa bisa? Rupanya Proton tak lagi berjaya di tanah airnya. Nama besarnya tergerus kendaraan lokal Malaysia lainnya, Perodua.
Berdasarkan data Malaysian Automotive Institute (MAI) Review and Insight 2014-2015, pangsa pasar Perodua mencapai 29% sementara Proton 17,4%. Selama ini Proton memiliki tempat istimewa di industri automotif Malaysia. Mungkin karena peran Mahathir Mohammad. Selain disubsidi negara, harga jual Proton jauh lebih murah dibandingkan kendaraan bermerek nonnasional.
Tapi tetap saja proteksi itu tak membuat Proton tambah bersinar. Proton juga bisa dibilang gagal meraih pasar di beberapa negara, seperti Australia, Turki, dan Indonesia. Singkat cerita, Proton tengah meredup. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dijadwalkan berjalan akhir 2015 ini. Dari sekitar 600 juta penduduk ASEAN, Indonesia masih menjadi pasar yang menggiurkan. Jumlahnya mencapai 50%.
Lebih dari setengah populasi ASEAN adalah penduduk negeri ini. Jadi wajar di balik itu semua Proton mengincar pasar Indonesia dengan bantuan pemerintah Jokowi. Sementara itu, soal PT ACL dan Hendropriyono masih menyimpan tanda tanya. PT ACL tak tercatat sebagai perusahaan automotif. Alamatnya pun tidak jelas. Tentang Hendropriyono agaknya semua sudah paham.
Dia sempat menjadi komisaris utama PT KIA Motor Indonesia (KMI), penyalur 12 jenis produk KIA, perusahaan Korea Selatan. KIA adalah singkatan dari Korean International Automotive atau Korea Industrial Autocar. Atau dalam bahasa Korea-nya adalah ”Terbit di Asia”. Menurut catatan George JunusAditjondro, diperusahaan (PT KMI) ini bergabung anaknya dan anak mantan Menteri Sekretaris Negara Muladi.
Aditjondro mengulas sebelumnya KIA dibawa Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) untuk menggarap mobil nasional. Sedangkan Tommy Soeharto melansir nama Timor (Teknologi Industri Mobil Rakyat) dengan melibatkan insinyur-insinyur tanah air. Padahal mobil Timor yang digadang-gadang sebagai mobil nasional waktu itu sebenarnya hanyalah produk KIA Sephia rakitan 1995.
Entah apa alasannya. Waktu itu sempat turun peraturan pemerintah yang memberi kelonggaran bisnis putra kesayangan Presiden Soeharto itu, namun tak berlanjut menyusul krisis ekonomi yang berlanjut pergantian kekuasaan. Nah, di tengah ketidakpastian itu, Hendropriyono mencari jalan keluar.
Dia mendirikan PT KMI. Upaya ini, menurut Aditjondro, merupakan langkah strategis Hendro mendekat ke Presiden Megawati Soekarnoputri. Hendro memang dikenal dekat dengan Mega sejak sebelum reformasi. Seusai masa kepresidenan Megawati, nasib PT KMI tak terdengar. Distribusi mobil KIA kemudian diambil alih pusatnya, KIA Motor Company di Korea Selatan.
Definisi mobil nasional sederhana: 100% sahamnya harus dimiliki dalam negeri, dirakit sepenuhnya oleh insinyur dalam negeri. Apakah sudah ada? Rupanya belum. Kementerian Perindustrian mengaku belum memiliki roadmap pembangunan mobil nasional tapi baru roadmap pembinaan automotif nasional. Membuat—apa yang bisa disebut—mobil nasional sebenarnya mudah.
Mungkin hanya butuh beberapa hari saja. Mengingat di sini banyak tenaga ahli, desainer, mekanik, teknisi motor, dan lainnya. Tercatat sudah banyak model mobil nasional yang sudah diciptakan anak negeri kita. Mobnas kita sudah banyak.
Sebut saja Toyota Kijang, Maleo, MR 90, Kalla Motor, Bakrie Beta 97 MPV, Timor, Bimantara, Kancil, Texmaco Macan, Gang Car, Marlip, Arina, Tawon, Komodo, GEA, Esemka (yang dipakai sebagai kendaraan dinas Jokowi saat jadi wali Kota Solo), Texmaco Perkasa, Nuri, Wakaba, Mobil Listrik Ahmadi, Tucuxi (promotor Dahlan Iskan), dan Mobnas Tenaga Listrik. Toyota Kijang mulai diproduksi 1974.
Desain dan mayoritas komponennya produksi lokal. Bayangkan Kijang sudah ada sebelum Proton berdiri (1983). Tapi membangun industri mobil nasional jelas lain masalah. Membuat satu mobil tidak identik dengan membangun industri mobil. Membangun pabrik tak sama dengan membangun industri. Dalam industri, ada mata rantai pasokan dan mata rantai nilai tambah.
Membuat ratusan mobil tidak sama dengan membuat ribuan atau jutaan mobil. Satu mobil saja pada umumnya terdiri atas 20.000-30.000 parts . Tidak ada sebuah negara atau sebuah industri automotif membuat 20.000 parts itu sendirian. Pasti ada mata rantai pemasok atau supply chain .
Di situ diperlukan value chain, mata rantai nilai tambah secara berjenjang dan bertahap. Tiap industri membangun mata rantai itu. Muncul istilah mata rantai pasokan. Dalam konteks ini jelas diperlukan pasokan beragam jenis industri raw material yang berkaitan dengan mata rantai pasokan. Yang paling utama adalah industri baja dasar. Apakah kita sudah memilikinya? Semua industri mobil raksasa sudah membangun mata rantai Global Value Chain yang menggurita.
Mereka bersaing sekaligus saling bekerjasama. Jepang bekerja sama dengan Amerika, Jepang dengan Eropa, dan Jepang dengan China. Juga dengan negara-negara ASEAN. Filipina dan Thailand jadi basis produksi mobil Ford. Bahkan, Hyundai dan KIA (Korea Selatan) pun berkongsi dengan India.
Dengan peta kekuatan industri mobil global seperti di atas menjadi mengherankan jika mengapa untuk membuat mobil nasional kita harus bekerja sama dengan Malaysia. Jika lemah beraliansi dengan lemah, apa bisa kuat? Belajar dari sejarah selalu saja pihak Indonesia dijadikan agen penyalur produk asing, termasuk dalam kasus Proton- PT ACL ini.
Wakil Sekjen Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
Entah apa yang salah dengan negeri ini. Belum selesai kisruh KPK-Polri. Sepanjang pekan lalu, publik dikejutkan lagi dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kunjungan kerjanya ke Malaysia, Jumat (6/2), Jokowi bersama Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyaksikan penandatanganan MoU pembuatan mobil nasional. Setidaknya itu terlihat dari spanduk yang terpampang di belakang mereka. Yang kerja sama adalah PT Proton Holding Berhad dengan PT Adiperkasa Citra Lestari.
Yang pertama, semua sudah tahu adalah produsen mobil Proton (kependekan dari Perusahaan Otomotif Nasional). Tapi PT ACL milik orang dekat Jokowi, AM Hendropriyono, belum sekali pun terdengar kiprahnya di bidang automotif. Sontak muncul kritik dan protes luas di dalam negeri, terutama kepada Jokowi.
Tapi tak lama berselang, pemerintah ”meluruskan” bahwa itu bukan program mobil nasional. Itu hanya kerja sama business to business seperti diungkap Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil. Namun, tetap saja kontroversi berlanjut. Ingatan rakyat kemudian mengarah kepada mobil Esemka, produk anakanak sekolah menengah kejuruan (SMK) asal Solo.
Soal Esemka ini sebenarnya Presiden tak boleh lupa. Ketika Jokowi masih menjabat wali Kota Solo diarak menggunakan mobil Esemka dengan nopol AD 1 A. Bahkan saat jadi gubernur DKI Jakarta, dia terus melempar mimpi akan menjadikan Esemka sebagai mobil kebanggaan nasional. Dan, mimpi mobil nasional ini juga yang membawa Pak Jokowi kini menjabat RI 1.
Namun yang terjadi kemudian, impian itu tinggal mimpi belaka. Setidaknya hingga kini belum ada kebijakan pemerintah mengembangkan industri mobil nasional. Kucuran keringat dan semangat anak-anak bangsa (baca: SMK) rupanya hanya dijadikan kendaraan politik untuk mengangkat citra.
Bukan untuk benar-benar membangun industri mobil nasional. Kesepakatan itu menyatakan pada tahap awal Malaysia akan mengekspor kendaraan utuh ke Indonesia. Berikutnya kedua perusahaan akan merakit mobil dan membuat pabrik komponen di Indonesia. ”Nantinya akan menjadi mobil buatan Indonesia,” kata Mahathir seperti dikutip Bernama .
Proton Berhad dipimpin bekas orang kuat Malaysia, bekas Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Berdiri sejak 1983, Proton awalnya menggandeng Mitsubishi (Jepang). Kini perusahaan ini menggandeng Lotus (Inggris). Mitsubishi dan Lotus memasok mesin. Rangka bodi dan desain dikerjakan Proton. Proton memang sempat meraih angka produksi satu juta unit pada 1996 dan mengakuisisi mayoritas saham dari Grup Lotus.
Bahkan pada 2001, dia menguasai pasar automotif Malaysia hingga mencapai 53%. Tapi sejak Januari 2012, perusahaan kebanggaan Malaysia ini ditake over satu konglomerasi sana, DRB-HicomBerhad, milikTanSri Syed Mokhtar Albukhary. Musababnya sederhana: kesulitan keuangan. Mengapa bisa? Rupanya Proton tak lagi berjaya di tanah airnya. Nama besarnya tergerus kendaraan lokal Malaysia lainnya, Perodua.
Berdasarkan data Malaysian Automotive Institute (MAI) Review and Insight 2014-2015, pangsa pasar Perodua mencapai 29% sementara Proton 17,4%. Selama ini Proton memiliki tempat istimewa di industri automotif Malaysia. Mungkin karena peran Mahathir Mohammad. Selain disubsidi negara, harga jual Proton jauh lebih murah dibandingkan kendaraan bermerek nonnasional.
Tapi tetap saja proteksi itu tak membuat Proton tambah bersinar. Proton juga bisa dibilang gagal meraih pasar di beberapa negara, seperti Australia, Turki, dan Indonesia. Singkat cerita, Proton tengah meredup. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dijadwalkan berjalan akhir 2015 ini. Dari sekitar 600 juta penduduk ASEAN, Indonesia masih menjadi pasar yang menggiurkan. Jumlahnya mencapai 50%.
Lebih dari setengah populasi ASEAN adalah penduduk negeri ini. Jadi wajar di balik itu semua Proton mengincar pasar Indonesia dengan bantuan pemerintah Jokowi. Sementara itu, soal PT ACL dan Hendropriyono masih menyimpan tanda tanya. PT ACL tak tercatat sebagai perusahaan automotif. Alamatnya pun tidak jelas. Tentang Hendropriyono agaknya semua sudah paham.
Dia sempat menjadi komisaris utama PT KIA Motor Indonesia (KMI), penyalur 12 jenis produk KIA, perusahaan Korea Selatan. KIA adalah singkatan dari Korean International Automotive atau Korea Industrial Autocar. Atau dalam bahasa Korea-nya adalah ”Terbit di Asia”. Menurut catatan George JunusAditjondro, diperusahaan (PT KMI) ini bergabung anaknya dan anak mantan Menteri Sekretaris Negara Muladi.
Aditjondro mengulas sebelumnya KIA dibawa Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) untuk menggarap mobil nasional. Sedangkan Tommy Soeharto melansir nama Timor (Teknologi Industri Mobil Rakyat) dengan melibatkan insinyur-insinyur tanah air. Padahal mobil Timor yang digadang-gadang sebagai mobil nasional waktu itu sebenarnya hanyalah produk KIA Sephia rakitan 1995.
Entah apa alasannya. Waktu itu sempat turun peraturan pemerintah yang memberi kelonggaran bisnis putra kesayangan Presiden Soeharto itu, namun tak berlanjut menyusul krisis ekonomi yang berlanjut pergantian kekuasaan. Nah, di tengah ketidakpastian itu, Hendropriyono mencari jalan keluar.
Dia mendirikan PT KMI. Upaya ini, menurut Aditjondro, merupakan langkah strategis Hendro mendekat ke Presiden Megawati Soekarnoputri. Hendro memang dikenal dekat dengan Mega sejak sebelum reformasi. Seusai masa kepresidenan Megawati, nasib PT KMI tak terdengar. Distribusi mobil KIA kemudian diambil alih pusatnya, KIA Motor Company di Korea Selatan.
Definisi mobil nasional sederhana: 100% sahamnya harus dimiliki dalam negeri, dirakit sepenuhnya oleh insinyur dalam negeri. Apakah sudah ada? Rupanya belum. Kementerian Perindustrian mengaku belum memiliki roadmap pembangunan mobil nasional tapi baru roadmap pembinaan automotif nasional. Membuat—apa yang bisa disebut—mobil nasional sebenarnya mudah.
Mungkin hanya butuh beberapa hari saja. Mengingat di sini banyak tenaga ahli, desainer, mekanik, teknisi motor, dan lainnya. Tercatat sudah banyak model mobil nasional yang sudah diciptakan anak negeri kita. Mobnas kita sudah banyak.
Sebut saja Toyota Kijang, Maleo, MR 90, Kalla Motor, Bakrie Beta 97 MPV, Timor, Bimantara, Kancil, Texmaco Macan, Gang Car, Marlip, Arina, Tawon, Komodo, GEA, Esemka (yang dipakai sebagai kendaraan dinas Jokowi saat jadi wali Kota Solo), Texmaco Perkasa, Nuri, Wakaba, Mobil Listrik Ahmadi, Tucuxi (promotor Dahlan Iskan), dan Mobnas Tenaga Listrik. Toyota Kijang mulai diproduksi 1974.
Desain dan mayoritas komponennya produksi lokal. Bayangkan Kijang sudah ada sebelum Proton berdiri (1983). Tapi membangun industri mobil nasional jelas lain masalah. Membuat satu mobil tidak identik dengan membangun industri mobil. Membangun pabrik tak sama dengan membangun industri. Dalam industri, ada mata rantai pasokan dan mata rantai nilai tambah.
Membuat ratusan mobil tidak sama dengan membuat ribuan atau jutaan mobil. Satu mobil saja pada umumnya terdiri atas 20.000-30.000 parts . Tidak ada sebuah negara atau sebuah industri automotif membuat 20.000 parts itu sendirian. Pasti ada mata rantai pemasok atau supply chain .
Di situ diperlukan value chain, mata rantai nilai tambah secara berjenjang dan bertahap. Tiap industri membangun mata rantai itu. Muncul istilah mata rantai pasokan. Dalam konteks ini jelas diperlukan pasokan beragam jenis industri raw material yang berkaitan dengan mata rantai pasokan. Yang paling utama adalah industri baja dasar. Apakah kita sudah memilikinya? Semua industri mobil raksasa sudah membangun mata rantai Global Value Chain yang menggurita.
Mereka bersaing sekaligus saling bekerjasama. Jepang bekerja sama dengan Amerika, Jepang dengan Eropa, dan Jepang dengan China. Juga dengan negara-negara ASEAN. Filipina dan Thailand jadi basis produksi mobil Ford. Bahkan, Hyundai dan KIA (Korea Selatan) pun berkongsi dengan India.
Dengan peta kekuatan industri mobil global seperti di atas menjadi mengherankan jika mengapa untuk membuat mobil nasional kita harus bekerja sama dengan Malaysia. Jika lemah beraliansi dengan lemah, apa bisa kuat? Belajar dari sejarah selalu saja pihak Indonesia dijadikan agen penyalur produk asing, termasuk dalam kasus Proton- PT ACL ini.
(ars)