Mimpi PDIP Menyapu Pilkada
A
A
A
Didik Supriyanto
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Presiden Jokowi meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada September 2015. Pilkada ini meliputi pemilihan 8 gubernur, 26 wali kota, dan 170 bupati, yang tersebar di 23 provinsi.
Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai menghadap Presiden di Istana, Rabu (4/2). Permintaan Jokowi ini terasa aneh di tengah usulan banyak pihak untuk memundurkan jadwal pilkada serentak pada 2016. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu No 1/2014) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 1/2015).
Namun, undang-undang ini tidak bisa langsung diimplementasikan karena banyaknya materi muatan yang bermasalah: kekosongan hukum, tumpang tindih, kontradiksi, dan pelanggaran konstitusi. Beberapa kegiatan dan tahapan diatur berpanjang- panjang sampai seluruh tahapan (tanpa putaran kedua) membutuhkan waktu 13 bulan sehingga berpotensi menimbulkan masalah baru.
Oleh karena itu, DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tersebut. Menurut Pasal 201 ayat (1) UU No 1/2015, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015. Berdasarkan ketentuan ini, KPU merencanakan pilkada serentak pada Desember 2015. Jika rencana itu diwujudkan, tahapan pertama pilkada yakni pendaftaran bakal calon, dimulai pada 26 Februari.
Namun, Komisi II DPR meminta KPU tidak menyiapkan peraturan- peraturan teknis penyelenggaraan pilkada, termasuk tentang jadwal tahapan, sampai revisi UU No 1/2015 selesai. Komisi II DPR me-nargetkan revisi undang-undang akan diketuk pada sidang paripurna DPR pada 17 Februari nanti.
Terhadap situasi di atas ada beberapa kemungkinan. Jika DPR dan pemerintah gagal menyepakati revisi UU No 1/ 2015 maka bisa dipastikan pilkada serentak tidak bisa segera dilaksanakan; jikapun KPU dipaksa melaksanakan berdasarkan UU No 1/2015 maka akan banyak masalah karena undang-undangnya tidak bisa diimplementasikan.
Sebaliknya, jika DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU No 1/2015 maka ada dua kemungkinan: pertama, jika waktu tahapan tetap (tidak direvisi) maka sesuai rencana KPU, tahapan pertama pil-kada dimulai 26 Februari agar pemungutan suara bisa Desember; kedua, jika waktu pendaftaran bakal calon hingga pemungutan suara diperpendek menjadi enam bulan (seperti pengalaman pilkada sebelumnya), mengacu rencana KPU (pemungutan suara Desember 2015) maka tahapan pertama bisa dimulai Juni; sedangkan jika hendak memenuhi permintaan Presiden (pemungutan suara September 2015), tahapan pertama mulai Februari.
Salah Informasi?
Katakanlah, revisi UU No 1/2015 benar disahkan pada 17 Februari dan KPU berusaha keras memenuhi permintaan Presiden untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015; maka langkah pertama KPU adalah membuat peraturan KPU tentang pedoman pelaksanaan teknis pilkada yang jumlahnya puluhan.
Peraturan ini harus diselesaikan dalam waktu sepekan, mengingat tahapan pertama pilkada harus dimulai akhir Februari. Masalahnya, apa mungkin hal itu dilakukan KPU? Jawabannya, tidak! Sebab dalam membuat peraturan, KPU tidak bisa memutuskan sendiri.
Sebelum disahkan, semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah. Jadi, permintaan Presiden Jokowi untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015 mustahil bisa dipenuhi. Sebagai politisi yang sudah tiga kali mengikuti pilkada langsung (dua kali di Solo dan satu kali di DKI Jakarta), Jokowi mestinya tahu bahwa pelaksanaan tahapan pilkada tak bisa serta-merta dilakukan begitu undang-undang disahkan.
Butuh waktu untuk penyusunan peraturan teknis, perencanaan, penganggaran, dan persiapan operasional lain. Namun karena dalam pilkada keterlibatannya hanya sebatas sebagai calon, mungkin saja Jokowi tidak paham sepenuhnya tentang manajemen pelaksanaan pilkada tersebut. Oleh karena itu, saya menduga Jokowi mendapat masukan yang salah dari anak buahnya sehingga dia meminta agar pilkada serentak digelar pada September 2015.
Di sinilah peran penting Mendagri Tjahjo Kumolo. Sebagai menteri yang membawahi urusan pemerintah daerah, sudah semestinya dia mengetahui tentang berbagai macam masalah penyelenggaraan pilkada sehingga masukan yang disampaikan ke presiden tepat. Rasanya tidak mungkin sebagai politisi senior yang membidangi politik dan pemerintahan, Tjahjo tidak memahami kompleksitas penyelenggaraan pilkada serentak.
Saya justru curiga, sebagai mantan sekretaris jenderal PDIP, Tjahjo menyelipkan kepentingan partai dalam memberi masukan ke Presiden agar pilkada serentak digelar September 2015. Apalagi, kehendak untuk tidak menunda pelaksanaan pilkada serentak juga disuarakan dengan keras oleh Fraksi PDIP di DPR. Tujuannya tidak lain adalah PDIP menang dalam pilkada serentak nanti.
Tjahjo meyakini bahwa semakin cepat pilkada serentak digelar, semakin besar peluang partainya memenangkan pilkada di banyak daerah. Mengapa? Karena Tjahjo dan PDIP percaya kemenangan PDIP dan Jokowi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh positif terhadap kemenangan dalam pilkada serentak. Dan, pengaruh itu semakin kuat manakala jadwal pelaksanaan pilkada serentak lebih dekat dengan jadwal Pemilu 2014.
Mengulang Taktik SBY
Situasi politik menjelang pilkada saat ini hampir sama dengan lima tahun lalu, pasca Pemilu 2009. Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai pada Juni 2010, terjadi kesemrawutan dalam pengaturan teknis, menyusul berlakunya UU No 12/2008 yang mengubah UU No 32/2004.
Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan anggaran, sampai- sampai Komisi II DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sepakat untuk memundurkan jadwal ke tahun berikutnya. Namun atas usulan ini, rupanya Presiden SBY menolak. SBY yang juga ketua dewan penasihat Partai Demokrat bersikeras agar pilkada dipaksakan tetap sesuai jadwal, mulai Juni 2010.
Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal terlihat lebih menguntungkan karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada Pemilu 2009 akan bisa mengatrol perolehan suara calon-calon yang didukung Partai Demokrat. Kenyataannya harapan itu jauh panggang dari api. Jika kali ini Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP menghendaki pilkada digelar pada September 2015, alasan sebenarnya kurang lebih sama dengan SBY dan Partai Demokrat lima tahun lalu.
Pelaksanaan pilkada tanpa persiapan matang itulah yang menyebabkan pilkada gelombang kedua (2010-2013) menurun kualitasnya juga dibandingkan dengan gelombang pertama (2005-2008). Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku penyelenggara pilkada diintervensi kepala daerah dengan memainkan politik anggaran akibat bolong-bolong peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada.
Karena KPU daerah bekerja dalam tekanan, mereka tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan kecurangan. MahkamahKonstitusi pun kebanjiran perkara sengketa hasil pilkada.
Permintaan Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP untuk memaksakan pelaksanaan pilkada serentak pada September 2015, tentu tidak akan terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan pilkada Juni 2010. Apalagi, kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat, juga tidak terjadi.
Dalam hal ini kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi, mestinya jadi pertimbangan utama.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Presiden Jokowi meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada September 2015. Pilkada ini meliputi pemilihan 8 gubernur, 26 wali kota, dan 170 bupati, yang tersebar di 23 provinsi.
Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai menghadap Presiden di Istana, Rabu (4/2). Permintaan Jokowi ini terasa aneh di tengah usulan banyak pihak untuk memundurkan jadwal pilkada serentak pada 2016. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu No 1/2014) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 1/2015).
Namun, undang-undang ini tidak bisa langsung diimplementasikan karena banyaknya materi muatan yang bermasalah: kekosongan hukum, tumpang tindih, kontradiksi, dan pelanggaran konstitusi. Beberapa kegiatan dan tahapan diatur berpanjang- panjang sampai seluruh tahapan (tanpa putaran kedua) membutuhkan waktu 13 bulan sehingga berpotensi menimbulkan masalah baru.
Oleh karena itu, DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tersebut. Menurut Pasal 201 ayat (1) UU No 1/2015, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015. Berdasarkan ketentuan ini, KPU merencanakan pilkada serentak pada Desember 2015. Jika rencana itu diwujudkan, tahapan pertama pilkada yakni pendaftaran bakal calon, dimulai pada 26 Februari.
Namun, Komisi II DPR meminta KPU tidak menyiapkan peraturan- peraturan teknis penyelenggaraan pilkada, termasuk tentang jadwal tahapan, sampai revisi UU No 1/2015 selesai. Komisi II DPR me-nargetkan revisi undang-undang akan diketuk pada sidang paripurna DPR pada 17 Februari nanti.
Terhadap situasi di atas ada beberapa kemungkinan. Jika DPR dan pemerintah gagal menyepakati revisi UU No 1/ 2015 maka bisa dipastikan pilkada serentak tidak bisa segera dilaksanakan; jikapun KPU dipaksa melaksanakan berdasarkan UU No 1/2015 maka akan banyak masalah karena undang-undangnya tidak bisa diimplementasikan.
Sebaliknya, jika DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU No 1/2015 maka ada dua kemungkinan: pertama, jika waktu tahapan tetap (tidak direvisi) maka sesuai rencana KPU, tahapan pertama pil-kada dimulai 26 Februari agar pemungutan suara bisa Desember; kedua, jika waktu pendaftaran bakal calon hingga pemungutan suara diperpendek menjadi enam bulan (seperti pengalaman pilkada sebelumnya), mengacu rencana KPU (pemungutan suara Desember 2015) maka tahapan pertama bisa dimulai Juni; sedangkan jika hendak memenuhi permintaan Presiden (pemungutan suara September 2015), tahapan pertama mulai Februari.
Salah Informasi?
Katakanlah, revisi UU No 1/2015 benar disahkan pada 17 Februari dan KPU berusaha keras memenuhi permintaan Presiden untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015; maka langkah pertama KPU adalah membuat peraturan KPU tentang pedoman pelaksanaan teknis pilkada yang jumlahnya puluhan.
Peraturan ini harus diselesaikan dalam waktu sepekan, mengingat tahapan pertama pilkada harus dimulai akhir Februari. Masalahnya, apa mungkin hal itu dilakukan KPU? Jawabannya, tidak! Sebab dalam membuat peraturan, KPU tidak bisa memutuskan sendiri.
Sebelum disahkan, semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah. Jadi, permintaan Presiden Jokowi untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015 mustahil bisa dipenuhi. Sebagai politisi yang sudah tiga kali mengikuti pilkada langsung (dua kali di Solo dan satu kali di DKI Jakarta), Jokowi mestinya tahu bahwa pelaksanaan tahapan pilkada tak bisa serta-merta dilakukan begitu undang-undang disahkan.
Butuh waktu untuk penyusunan peraturan teknis, perencanaan, penganggaran, dan persiapan operasional lain. Namun karena dalam pilkada keterlibatannya hanya sebatas sebagai calon, mungkin saja Jokowi tidak paham sepenuhnya tentang manajemen pelaksanaan pilkada tersebut. Oleh karena itu, saya menduga Jokowi mendapat masukan yang salah dari anak buahnya sehingga dia meminta agar pilkada serentak digelar pada September 2015.
Di sinilah peran penting Mendagri Tjahjo Kumolo. Sebagai menteri yang membawahi urusan pemerintah daerah, sudah semestinya dia mengetahui tentang berbagai macam masalah penyelenggaraan pilkada sehingga masukan yang disampaikan ke presiden tepat. Rasanya tidak mungkin sebagai politisi senior yang membidangi politik dan pemerintahan, Tjahjo tidak memahami kompleksitas penyelenggaraan pilkada serentak.
Saya justru curiga, sebagai mantan sekretaris jenderal PDIP, Tjahjo menyelipkan kepentingan partai dalam memberi masukan ke Presiden agar pilkada serentak digelar September 2015. Apalagi, kehendak untuk tidak menunda pelaksanaan pilkada serentak juga disuarakan dengan keras oleh Fraksi PDIP di DPR. Tujuannya tidak lain adalah PDIP menang dalam pilkada serentak nanti.
Tjahjo meyakini bahwa semakin cepat pilkada serentak digelar, semakin besar peluang partainya memenangkan pilkada di banyak daerah. Mengapa? Karena Tjahjo dan PDIP percaya kemenangan PDIP dan Jokowi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh positif terhadap kemenangan dalam pilkada serentak. Dan, pengaruh itu semakin kuat manakala jadwal pelaksanaan pilkada serentak lebih dekat dengan jadwal Pemilu 2014.
Mengulang Taktik SBY
Situasi politik menjelang pilkada saat ini hampir sama dengan lima tahun lalu, pasca Pemilu 2009. Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai pada Juni 2010, terjadi kesemrawutan dalam pengaturan teknis, menyusul berlakunya UU No 12/2008 yang mengubah UU No 32/2004.
Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan anggaran, sampai- sampai Komisi II DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sepakat untuk memundurkan jadwal ke tahun berikutnya. Namun atas usulan ini, rupanya Presiden SBY menolak. SBY yang juga ketua dewan penasihat Partai Demokrat bersikeras agar pilkada dipaksakan tetap sesuai jadwal, mulai Juni 2010.
Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal terlihat lebih menguntungkan karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada Pemilu 2009 akan bisa mengatrol perolehan suara calon-calon yang didukung Partai Demokrat. Kenyataannya harapan itu jauh panggang dari api. Jika kali ini Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP menghendaki pilkada digelar pada September 2015, alasan sebenarnya kurang lebih sama dengan SBY dan Partai Demokrat lima tahun lalu.
Pelaksanaan pilkada tanpa persiapan matang itulah yang menyebabkan pilkada gelombang kedua (2010-2013) menurun kualitasnya juga dibandingkan dengan gelombang pertama (2005-2008). Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku penyelenggara pilkada diintervensi kepala daerah dengan memainkan politik anggaran akibat bolong-bolong peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada.
Karena KPU daerah bekerja dalam tekanan, mereka tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan kecurangan. MahkamahKonstitusi pun kebanjiran perkara sengketa hasil pilkada.
Permintaan Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP untuk memaksakan pelaksanaan pilkada serentak pada September 2015, tentu tidak akan terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan pilkada Juni 2010. Apalagi, kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat, juga tidak terjadi.
Dalam hal ini kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi, mestinya jadi pertimbangan utama.
(ars)