Tan Malaka, J Kasimo dan Gus Dur
A
A
A
Tamu ayahnya pada malam itu menimbulkan tekateki. Pada mulanya, Husen Banten, nama tamu itu, biasa-biasa saja seperti para tamu lain.
Tapi demi melihat ayahnya yang begitu serius, bahkan ada kesan gugup menyambutnya, dia mulai bertanya- tanya. Itulah yang dialaminya pada suatu hari, kira-kira pukul 8.00 malam, ketika dia baru berusia lima tahun. Dia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Bocah itu segera membukanya, dan di depan pintu berdiri seorang lakilaki kurus dengan pakaian biru. Orang yang belum dikenalnya itu bertanya, ”Apakah Bapak ada di rumah?
Tolong bilang pada beliau bahwa Pak Husen Banten datang bertamu.” Gus Dur kecil, bocah berusia lima tahun tadi, segera menemui ayahnya, dan melaporkan kedatangan Pak Husen Banten itu. Sang ayah segera bangun dan menyuruh anaknya itu untuk menyampaikan kedatangan tamu tadi pada ibunya. Gus Dur kaget melihat tanda keseriusan di wajah ayahnya.
Dan sang ayah hanya mengatakan bahwa tamu itu teman lama beliau. Cukup. Hanya itu yang bisa dikatakan pada anaknya yang masih bocah. Tapi, kata Gus Dur setelah dewasa, sebagaimana dapat kita baca pada halaman 57-58 buku Dialog Peradaban: untuk Toleransi dan Perdamaian (2010), beliau baru tahu bahwa tamu yang menyebut dirinya Husen Banten itu ternyata Tan Malaka yang hebat itu.
Tokoh populer, dengan nama besar, bahkan nama besar yang mengagumkan, tak selalu memiliki jaminan bahwa dia pasti dikenal secara luas. Tokoh yang mengambil peran untuk bergerak di bawah tanah selalu memiliki risiko seperti itu. Tapi siapa bilang itu risiko? Tak dikenal itu bagian dari strategi perjuangannya agar lebih leluasa bergerak tanpa diketahui identitasnya.
Sebagai orang bawah tanah, dia memang sengaja, dan menginginkan, dengan penuh kesadaran, untuk tak dikenal. Setidaknya selama yang bersangkutan masih merasa perlu ”bersembunyi.” Ada lagi kenangan masa kecil, yang dilaporkan di halaman 58-59 buku tadi. Gus Dur pernah diajak ayahnya ke rumah temannya, Pak Kasimo, ketua umum Partai Katolik. Di rumah Pak Kasimo, sang ayah mengeluarkan sebuah bungkusan dan diserahkan pada temannya itu.
Gus Dur bertanya apa isi bungkusan tadi sesudah me-reka dalam perjalanan pulang. Ayahnya menjelaskan bahwa itu sumbangan uang untuk seorang teman yang lain lagi. Pak Kasimo sedang mengumpulkan dana pembangunan rumah, untuk diberikan pada Pak Prawoto. Beliau tokoh Partai Masyumi, orang besar, yang belum punya rumah. Gus Dur mengatakan bahwa beliau sangat terkesan pada persahabatan mereka.
Ayahnya tokoh NU, Pak Kasimo tokoh Katolik, sedang Pak Prawoto tokoh Masyumi, yang baru merencanakan mendirikan negara Islam. Kedua temannya itu jelas tak menyetujui rencana tersebut. Tapi teman adalah teman. Ini persahabatan luar biasa. Jenis persahabatan macam ini sekarang sudah tidak ada lagi. Kebesaran jiwa di dalam diri para tokoh sekarang sudah terhapus oleh sikap saling curiga dan sema ngat saling menjegal, saling memfitnah, dan semangat jatuh menjatuhkan.
Sisa kebesaran itu, pendeknya, tidak ada lagi. Kini yang tinggal pada para tokoh hanya perasaan benar sendiri, ingin menang sendiri, dan bahwa orang lain, siapa pun dia, dianggap musuh. Dan musuh harus dibasmi. Di dunia politik basmimembasmi itu berlangsung dengan siapa saja yang dianggap merupakan penghalang cita-cita dan segenap langkah po-litik yang dibuat untuk menguntungkan diri sendiri.
Tak terlintas dalam pikiran para tokoh zaman sekarang untuk mendukung orang lain yang tak sejalan dengan kita. Mereka yang tak sejalan itu disebut musuh. Tokoh besar masa lalu memang sungguh besar. Gus Dur, yang menikmati suasana hidup di dalam keluarganya yang memiliki rasa persahabatan yang dalam dan tulus dengan siapa pun.
Gus Dur menyerap kebesaran ayahnya dan teman-teman ayahnya, tak peduli mereka Katolik, Masyumi, atau PKI seperti Tan Malaka. Orang-orang besar itu memancarkan aura kebesaran jiwa mereka. Maka, anehkah bila Gus Dur di kemudian hari menjalin persahabatan dengan siapa pun, tanpa memedulikan latar belakang mereka? Keanehan Gus Dur, yang sering disebut ”tak mudah dipahami” itu, agaknya, memang merupakan fenomena yang sudah ”didesain” oleh tatanan struktural yang berkembang di zaman itu.
Di kemudian hari kita tahu Gus Dur memanggul banyak tugas besar yang tak mudah dilaksanakan tanpa kebesaran jiwa yang memancar dan menerangi kegelapan tatanan hidup yang sering menjengkelkan. Agaknya, sejak dulu sudah jelas, Gus Dur digiring lebih dulu oleh nasib–mungkin nasib baik– untuk menjadi pewaris kebesaran jiwa para tokoh tadi.
Bila kemudian, seperti kita ketahui sekarang, setelah wafatnya beliau dikukuhkan menjadi wali ke-10, pengukuhan itu hanya formalitas sosial, karena bukankah dasardasarnya sudah ditata sejak dulu? Fenomena itu hanya ingin menyatakan bahwa di atas bumi, di bawah kolong langit ini, tidak ada ”barang” dadakan, tidak ada ”barang” kebetulan.
Tan Malaka menjadi tokoh pejuang yang gigih, tokoh gerakan di bawah tanah yang beroperasi secara sangat rapi, dan memiliki jaringan luas di mana-mana. Jaringan itu bersifat lintas batas etnis, aliran politik, warna dan haluan partai, dan berbeda- beda agama, tapi mereka disatukan oleh agenda bersama: cita-cita keindonesiaan. Ini mungkin terlalu luas.
Jadi bisa juga dirumuskan, setelah kemerdekaan, kita merasa memanggul kewajiban mengisi kemerdekaan itu dengan segenap agenda politik kebudayaan, yang mewujudkan cita-cita kita bernegara, dan memanggul se-penuhnya mandat konstitusi kita. Tan Malaka, orang besar zaman itu, yang mewakili ke-pentingan politik PKI, dan J Kasimo, membawakan agenda politik Partai Katolik, untuk kebesaran Indonesia. Zaman mereka sudah lewat.
Segenap kenangan buat mereka terasa begitu indah, manusiawi, dan penuh semangat untuk bersatu. Jauh di masa depan yang mereka bayangkan hanya satu: sebuah Indonesia yang kuat dan berwibawa. Gus Dur jelas tokoh penting yang merupakan bagian dari zaman ini. Pemikirannya masih sangat berpengaruh.
Sikap politik keagamaannya begitu akomodatif, tidak kaku dan selalu siap memberi orang lain tempat yang nyaman secara psikologis maupun politik. Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur tak memiliki kaitan organisatoris, bukan tokoh-tokoh yang terikat oleh sebuah partai. Tapi mereka terikat, tanpa perjanjian tanpa kontrak, oleh nilai-nilai perjuangan yang sama. Me-reka berjuang dengan cara masingmasing untuk membikin Indonesia ini ”rumah” bagi semua pihak, semua warga negara, tanpa batas etnis, bahasa, partai dan aliran politik.
”Rumah” itu kadang terasa hampir jadi. Tapi kadang kelihatan begitu porak-poranda. Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur sudah tak lagi bersama kita. Kini dicari orang-orang, tokoh- tokoh, yang memiliki kesalehan politik seperti mereka. Kini dicari siapa di antara kita yang merupakan penerus mereka. ?
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Tapi demi melihat ayahnya yang begitu serius, bahkan ada kesan gugup menyambutnya, dia mulai bertanya- tanya. Itulah yang dialaminya pada suatu hari, kira-kira pukul 8.00 malam, ketika dia baru berusia lima tahun. Dia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Bocah itu segera membukanya, dan di depan pintu berdiri seorang lakilaki kurus dengan pakaian biru. Orang yang belum dikenalnya itu bertanya, ”Apakah Bapak ada di rumah?
Tolong bilang pada beliau bahwa Pak Husen Banten datang bertamu.” Gus Dur kecil, bocah berusia lima tahun tadi, segera menemui ayahnya, dan melaporkan kedatangan Pak Husen Banten itu. Sang ayah segera bangun dan menyuruh anaknya itu untuk menyampaikan kedatangan tamu tadi pada ibunya. Gus Dur kaget melihat tanda keseriusan di wajah ayahnya.
Dan sang ayah hanya mengatakan bahwa tamu itu teman lama beliau. Cukup. Hanya itu yang bisa dikatakan pada anaknya yang masih bocah. Tapi, kata Gus Dur setelah dewasa, sebagaimana dapat kita baca pada halaman 57-58 buku Dialog Peradaban: untuk Toleransi dan Perdamaian (2010), beliau baru tahu bahwa tamu yang menyebut dirinya Husen Banten itu ternyata Tan Malaka yang hebat itu.
Tokoh populer, dengan nama besar, bahkan nama besar yang mengagumkan, tak selalu memiliki jaminan bahwa dia pasti dikenal secara luas. Tokoh yang mengambil peran untuk bergerak di bawah tanah selalu memiliki risiko seperti itu. Tapi siapa bilang itu risiko? Tak dikenal itu bagian dari strategi perjuangannya agar lebih leluasa bergerak tanpa diketahui identitasnya.
Sebagai orang bawah tanah, dia memang sengaja, dan menginginkan, dengan penuh kesadaran, untuk tak dikenal. Setidaknya selama yang bersangkutan masih merasa perlu ”bersembunyi.” Ada lagi kenangan masa kecil, yang dilaporkan di halaman 58-59 buku tadi. Gus Dur pernah diajak ayahnya ke rumah temannya, Pak Kasimo, ketua umum Partai Katolik. Di rumah Pak Kasimo, sang ayah mengeluarkan sebuah bungkusan dan diserahkan pada temannya itu.
Gus Dur bertanya apa isi bungkusan tadi sesudah me-reka dalam perjalanan pulang. Ayahnya menjelaskan bahwa itu sumbangan uang untuk seorang teman yang lain lagi. Pak Kasimo sedang mengumpulkan dana pembangunan rumah, untuk diberikan pada Pak Prawoto. Beliau tokoh Partai Masyumi, orang besar, yang belum punya rumah. Gus Dur mengatakan bahwa beliau sangat terkesan pada persahabatan mereka.
Ayahnya tokoh NU, Pak Kasimo tokoh Katolik, sedang Pak Prawoto tokoh Masyumi, yang baru merencanakan mendirikan negara Islam. Kedua temannya itu jelas tak menyetujui rencana tersebut. Tapi teman adalah teman. Ini persahabatan luar biasa. Jenis persahabatan macam ini sekarang sudah tidak ada lagi. Kebesaran jiwa di dalam diri para tokoh sekarang sudah terhapus oleh sikap saling curiga dan sema ngat saling menjegal, saling memfitnah, dan semangat jatuh menjatuhkan.
Sisa kebesaran itu, pendeknya, tidak ada lagi. Kini yang tinggal pada para tokoh hanya perasaan benar sendiri, ingin menang sendiri, dan bahwa orang lain, siapa pun dia, dianggap musuh. Dan musuh harus dibasmi. Di dunia politik basmimembasmi itu berlangsung dengan siapa saja yang dianggap merupakan penghalang cita-cita dan segenap langkah po-litik yang dibuat untuk menguntungkan diri sendiri.
Tak terlintas dalam pikiran para tokoh zaman sekarang untuk mendukung orang lain yang tak sejalan dengan kita. Mereka yang tak sejalan itu disebut musuh. Tokoh besar masa lalu memang sungguh besar. Gus Dur, yang menikmati suasana hidup di dalam keluarganya yang memiliki rasa persahabatan yang dalam dan tulus dengan siapa pun.
Gus Dur menyerap kebesaran ayahnya dan teman-teman ayahnya, tak peduli mereka Katolik, Masyumi, atau PKI seperti Tan Malaka. Orang-orang besar itu memancarkan aura kebesaran jiwa mereka. Maka, anehkah bila Gus Dur di kemudian hari menjalin persahabatan dengan siapa pun, tanpa memedulikan latar belakang mereka? Keanehan Gus Dur, yang sering disebut ”tak mudah dipahami” itu, agaknya, memang merupakan fenomena yang sudah ”didesain” oleh tatanan struktural yang berkembang di zaman itu.
Di kemudian hari kita tahu Gus Dur memanggul banyak tugas besar yang tak mudah dilaksanakan tanpa kebesaran jiwa yang memancar dan menerangi kegelapan tatanan hidup yang sering menjengkelkan. Agaknya, sejak dulu sudah jelas, Gus Dur digiring lebih dulu oleh nasib–mungkin nasib baik– untuk menjadi pewaris kebesaran jiwa para tokoh tadi.
Bila kemudian, seperti kita ketahui sekarang, setelah wafatnya beliau dikukuhkan menjadi wali ke-10, pengukuhan itu hanya formalitas sosial, karena bukankah dasardasarnya sudah ditata sejak dulu? Fenomena itu hanya ingin menyatakan bahwa di atas bumi, di bawah kolong langit ini, tidak ada ”barang” dadakan, tidak ada ”barang” kebetulan.
Tan Malaka menjadi tokoh pejuang yang gigih, tokoh gerakan di bawah tanah yang beroperasi secara sangat rapi, dan memiliki jaringan luas di mana-mana. Jaringan itu bersifat lintas batas etnis, aliran politik, warna dan haluan partai, dan berbeda- beda agama, tapi mereka disatukan oleh agenda bersama: cita-cita keindonesiaan. Ini mungkin terlalu luas.
Jadi bisa juga dirumuskan, setelah kemerdekaan, kita merasa memanggul kewajiban mengisi kemerdekaan itu dengan segenap agenda politik kebudayaan, yang mewujudkan cita-cita kita bernegara, dan memanggul se-penuhnya mandat konstitusi kita. Tan Malaka, orang besar zaman itu, yang mewakili ke-pentingan politik PKI, dan J Kasimo, membawakan agenda politik Partai Katolik, untuk kebesaran Indonesia. Zaman mereka sudah lewat.
Segenap kenangan buat mereka terasa begitu indah, manusiawi, dan penuh semangat untuk bersatu. Jauh di masa depan yang mereka bayangkan hanya satu: sebuah Indonesia yang kuat dan berwibawa. Gus Dur jelas tokoh penting yang merupakan bagian dari zaman ini. Pemikirannya masih sangat berpengaruh.
Sikap politik keagamaannya begitu akomodatif, tidak kaku dan selalu siap memberi orang lain tempat yang nyaman secara psikologis maupun politik. Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur tak memiliki kaitan organisatoris, bukan tokoh-tokoh yang terikat oleh sebuah partai. Tapi mereka terikat, tanpa perjanjian tanpa kontrak, oleh nilai-nilai perjuangan yang sama. Me-reka berjuang dengan cara masingmasing untuk membikin Indonesia ini ”rumah” bagi semua pihak, semua warga negara, tanpa batas etnis, bahasa, partai dan aliran politik.
”Rumah” itu kadang terasa hampir jadi. Tapi kadang kelihatan begitu porak-poranda. Tan Malaka, J Kasimo, dan Gus Dur sudah tak lagi bersama kita. Kini dicari orang-orang, tokoh- tokoh, yang memiliki kesalehan politik seperti mereka. Kini dicari siapa di antara kita yang merupakan penerus mereka. ?
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
(ftr)