Jakarta, Oh Jakarta
A
A
A
Jakarta adalah sebuah nama yang begitu melekat di seluruh telinga rakyat Indonesia. Kota yang menjanjikan segudang harapan bagi siapa pun yang berani bertaruh jiwa, merenda nasib untuk memenuhi hasrat khayali kehidupan di alam imajinasi.
Daerah yang tumbuh menjadi ibu kota negara ini tumbuh menjadi raksasa Nusantara di tengah inferiornyaberbagaidaerahdengankekuatan yang tak tertandingi yang dimilikinya. Jakarta adalah pusat kekuasaan, di mana seluruh jaringan kekuasaan di berbagai daerah di seluruh negeri ini keputusannya ditetapkan di Jakarta. Hampir seluruh kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di Jakartalah ditentukan keputusannya.
Hampir seluruh kerajaan bisnis dari mulai pertanian, kehutanan, pertambangan, energi, hiburan, televisi, perfilman, dan perbankan, semuanya terpusat di Jakarta. Jakarta menjadi ”tuhannya” orang Indonesia. Jakarta tumbuh menjadi kekuatan yang dipertuhan, yang mampu menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia. Keperkasaan Jakarta sebagai pusat dari segala-galanya telah memberikan berkah bagi melimpahnya rezeki Pemerintah Sang Ibu Kota.
Rp79,6 triliun adalah sebuah anggaran yang cukup fantastik untuk menjadi kekuatan penggerak kesejahteraan dari wilayah yang penduduknya kurang lebih 10 juta jiwa. Dari penduduk itu pun, sudah didominasi oleh orang-orang kaya, para pemegang sumber otoritas keuangan di negeri ini. Bandingkan dengan kami, Rp1,8 triliun untuk penduduk kurang lebih 1 juta jiwa. Kecukupan tersebut telah melahirkan kebingungan pengelolaan keuangan sehingga keuangannya nyaris tidak terserap.
Ketidakterserapan melahirkan kegamangan, melahirkan kegalauan, lahirlah angka fantastik untuk gaji para pegawai negeri yang membikin iri seluruh penghuni negeri Indonesia. Betapa tidak, gaji seorang lurah Rp33 juta, gaji seorang camat Rp48 juta, gaji seorang wali kota Rp75 juta. Andaikata kami harus mengikutinya, sudah dapat dibayangkan, seluruhpelayananpemerintah akan terhenti karena uang kami habis hanya untuk membayar gaji para pegawai negeri.
Kini kami hanya menanti penuh harap aliranmobilyangberpelat nomorB agar mau mampir makan di warung- warung kami, menginap di hotel-hotel melati kami, sehingga kami bisa mendapatkan 10% pajak hotel dan restoran. Itu pun kalau mereka mau membayarnya. Pabrik-pabrik di kampung kami yang mengepulkan asap pekat, limbah yang berlimpah, sering menimbulkan keracunan bagi warga kami dan matinya ikan-ikan di sungai kami serta tumbuhnya kemiskinan baru karena ladang penghidupan yang tergusur dan tradisi yang berubah.
Tetapi, pajaknya yangpuluhanmiliarbahkantriliunan pergi meninggalkan kantongkantong kami yang kering menuju pundi-pundi keuangan di Jakarta. Kami harus bekerja mengumpulkan karcis parkir, karcis pasar, dan berbagai pendapatan recehan lain yang kadang kami malu karena kami harus bertengkar dengan rakyat kami sendiri yang sebenarnya tidak layak untuk dipungut.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dua tahun lalu diserahkan kepada kami untuk dikelola sebagai sumber pendapatan yang relatif besar untuk ukuran kami kini diwacanakan untuk dihapus. Kalaumauberkatajujur, selamaini juga pemilik tanah hampir 40% tidak membayarnya. Tetapi, kami juga menyadari, puluhan ribu hektare tanah di kampung kami dimiliki oleh orang-orang Jakarta yang dibiarkan kering tanpa makna dan kami pun sulit untuk mendapatkan pajaknya.
Sementara semua urusan yang berhubungan dengan instansi pusat, kami selalu harus membayarnya. Nikah kami harus bayar, cerai kami harus bayar, membuat sertifikat tanah kami harus bayar. Tragisnya, kalau yang cerai sudah tua, tambah puyeng di kepala karena enggak ada pria yang lirik lagi. Untung masih ada Program Ibu Asuh. Masih ada deh harapan buat manjangin umur. Kini danau kami yang airnya dikirim untuk orang Jakarta dihuni oleh 28.000 keramba yang para pemiliknya berdomisili di Jakarta.
Ketika kami ingin menertibkannya, kami berhadapan dengan ribuan gajah yang seolah tak ada satu pun kekuatan yang mampu kami gerakkan untuk menghadapinya. Tetapi, dalam lirih kami tetap bertekad, satu batang lidi akan kami gunakan untuk mengorek kuping gajah-gajah besar itu agar mau meninggalkan danau yang sangat kami cintai. Pada saat kemarau, kami sering kekeringan karena surutnya sumur timba yang kami miliki.
Danau besar yang sering kami banggakan, cintanya lebih terasa bagi orang Jakarta, karenaaliranairnyayangderas ke seluruh penjuru Ibu Kota dibanding ke kampung kami yang sering tersendat karena minimnya pipa yang kami miliki. Tetapi, semuanya tak akan membuat kami gusar dan putus asa.
Seluruh energi yang tersisa akan kami kerahkan agar danau kebanggaan kami mampu mengalirkan cintanya kepada penghuni warga yang lama menunggu belas kasihnya. Anak-anak kami bersekolah di sekolah sederhana agar efektif dalam biaya. Mereka tak mengenal lagi SMP, cukup dengan SD sembilan tahun, agar sekolahnya tetap di kampungnya.
Uang anakanak kami tidak cukup untuk jajan di sekolah sehingga mereka membawa bekal makanan dari rumah yang dimasak oleh ibunya sehingga terhindar dari keracunan makanan. Anak-anak kami setiap minggu makan telur dan minum susu yang disediakan cuma- cuma oleh sekolah agar mereka tumbuh sehat dan cerdas. Anak-anak kami pun tak belajar sampai sore karena harus mencari kayu bakar untuk tungkutungku kami.
Anak-anak kami harus menyabit rumput untuk kambing peliharaan kami dan harus menyulam, merenda untuk belajar memenuhi kebutuhan sandang. Setiap ruang kelas kami siapkan jamban agar kami tak dianggap kaum marginal dan kaum jorok. Kalaupun kami sakit, ambulans tersenyum menjemput kami untuk mengantar ke balai pengobatan yang melayani kami tanpa biaya, tanpa membedakan kaya dan miskin.
Kini sekolah menengah kami tumbuh di setiap sudut kecamatan dan kami mampu mengisinya tanpa harus bicara masalah pungutan. Walau kami dihentakkan dengan perubahan kewenangan, yang beberapa waktu lalu disahkan orang Jakarta. Setiap minggu petugas kependudukan berkeliling kampung mencatatkan kewarganegaraan kami tanpa pungutan.
Di pusat kota kami mengantre menunggu giliran pencatatan, tanpa calo, tanpa upah pegawai yang berpuluh-puluh juta, kami tetap terlayani. Kini di pusat kotaku yang kecil, tamantaman tertata rapi. Di setiap sudut kutemui lampu bertopi caping. Kami merasa kami tetap Indonesia walau seluruh energi yang kami miliki tinggal lemak yang tersisa karena daging empuk dan tulang lunak yang kami miliki sudah kami serahkan seluruhnya kepada Jakarta. Kata Ma Icih, komentator setia di kampung saya, ”Enggak apa-apa Ema mah tidak makan tulang lunak dan daging empuk juga.
Jangankan sekarang Ema sudah ompong, sejak muda pun Ema mah memang kurang suka. Lebih suka makan daun-daunan, akarkaran, dan beubeutian (umbi-umbian) yang jauh lebih sehat dan higienis dibanding daging dan tulang lunak yang sering menimbulkan kolesterol. Ternyata kebiasaan Ema makan dangdaunan (daun-daunan) ditiru oleh orangorang Jakarta sekarang.
Ema mah ngahenang ngahening, ngeunah dahar tibra hees, (hening, enak makan nyenyak tidur) dibanding batur (orang lain) yang katanya banyak uang dan banyak makanan, tapi kelihatannya kurang tidur dan emosional, akhirnya banyak bertengkar sampai terdengar di sudut kampung tetangga Ema yang punya tivi.
Jam satu malam saja masih terdengar suara pertengkaran dari Jakarta. Teuing marebutkeun naon, teu ngarti ema mah. (Entah memperebutkan apa, Ema tidak mengerti)” ?
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
Daerah yang tumbuh menjadi ibu kota negara ini tumbuh menjadi raksasa Nusantara di tengah inferiornyaberbagaidaerahdengankekuatan yang tak tertandingi yang dimilikinya. Jakarta adalah pusat kekuasaan, di mana seluruh jaringan kekuasaan di berbagai daerah di seluruh negeri ini keputusannya ditetapkan di Jakarta. Hampir seluruh kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di Jakartalah ditentukan keputusannya.
Hampir seluruh kerajaan bisnis dari mulai pertanian, kehutanan, pertambangan, energi, hiburan, televisi, perfilman, dan perbankan, semuanya terpusat di Jakarta. Jakarta menjadi ”tuhannya” orang Indonesia. Jakarta tumbuh menjadi kekuatan yang dipertuhan, yang mampu menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia. Keperkasaan Jakarta sebagai pusat dari segala-galanya telah memberikan berkah bagi melimpahnya rezeki Pemerintah Sang Ibu Kota.
Rp79,6 triliun adalah sebuah anggaran yang cukup fantastik untuk menjadi kekuatan penggerak kesejahteraan dari wilayah yang penduduknya kurang lebih 10 juta jiwa. Dari penduduk itu pun, sudah didominasi oleh orang-orang kaya, para pemegang sumber otoritas keuangan di negeri ini. Bandingkan dengan kami, Rp1,8 triliun untuk penduduk kurang lebih 1 juta jiwa. Kecukupan tersebut telah melahirkan kebingungan pengelolaan keuangan sehingga keuangannya nyaris tidak terserap.
Ketidakterserapan melahirkan kegamangan, melahirkan kegalauan, lahirlah angka fantastik untuk gaji para pegawai negeri yang membikin iri seluruh penghuni negeri Indonesia. Betapa tidak, gaji seorang lurah Rp33 juta, gaji seorang camat Rp48 juta, gaji seorang wali kota Rp75 juta. Andaikata kami harus mengikutinya, sudah dapat dibayangkan, seluruhpelayananpemerintah akan terhenti karena uang kami habis hanya untuk membayar gaji para pegawai negeri.
Kini kami hanya menanti penuh harap aliranmobilyangberpelat nomorB agar mau mampir makan di warung- warung kami, menginap di hotel-hotel melati kami, sehingga kami bisa mendapatkan 10% pajak hotel dan restoran. Itu pun kalau mereka mau membayarnya. Pabrik-pabrik di kampung kami yang mengepulkan asap pekat, limbah yang berlimpah, sering menimbulkan keracunan bagi warga kami dan matinya ikan-ikan di sungai kami serta tumbuhnya kemiskinan baru karena ladang penghidupan yang tergusur dan tradisi yang berubah.
Tetapi, pajaknya yangpuluhanmiliarbahkantriliunan pergi meninggalkan kantongkantong kami yang kering menuju pundi-pundi keuangan di Jakarta. Kami harus bekerja mengumpulkan karcis parkir, karcis pasar, dan berbagai pendapatan recehan lain yang kadang kami malu karena kami harus bertengkar dengan rakyat kami sendiri yang sebenarnya tidak layak untuk dipungut.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dua tahun lalu diserahkan kepada kami untuk dikelola sebagai sumber pendapatan yang relatif besar untuk ukuran kami kini diwacanakan untuk dihapus. Kalaumauberkatajujur, selamaini juga pemilik tanah hampir 40% tidak membayarnya. Tetapi, kami juga menyadari, puluhan ribu hektare tanah di kampung kami dimiliki oleh orang-orang Jakarta yang dibiarkan kering tanpa makna dan kami pun sulit untuk mendapatkan pajaknya.
Sementara semua urusan yang berhubungan dengan instansi pusat, kami selalu harus membayarnya. Nikah kami harus bayar, cerai kami harus bayar, membuat sertifikat tanah kami harus bayar. Tragisnya, kalau yang cerai sudah tua, tambah puyeng di kepala karena enggak ada pria yang lirik lagi. Untung masih ada Program Ibu Asuh. Masih ada deh harapan buat manjangin umur. Kini danau kami yang airnya dikirim untuk orang Jakarta dihuni oleh 28.000 keramba yang para pemiliknya berdomisili di Jakarta.
Ketika kami ingin menertibkannya, kami berhadapan dengan ribuan gajah yang seolah tak ada satu pun kekuatan yang mampu kami gerakkan untuk menghadapinya. Tetapi, dalam lirih kami tetap bertekad, satu batang lidi akan kami gunakan untuk mengorek kuping gajah-gajah besar itu agar mau meninggalkan danau yang sangat kami cintai. Pada saat kemarau, kami sering kekeringan karena surutnya sumur timba yang kami miliki.
Danau besar yang sering kami banggakan, cintanya lebih terasa bagi orang Jakarta, karenaaliranairnyayangderas ke seluruh penjuru Ibu Kota dibanding ke kampung kami yang sering tersendat karena minimnya pipa yang kami miliki. Tetapi, semuanya tak akan membuat kami gusar dan putus asa.
Seluruh energi yang tersisa akan kami kerahkan agar danau kebanggaan kami mampu mengalirkan cintanya kepada penghuni warga yang lama menunggu belas kasihnya. Anak-anak kami bersekolah di sekolah sederhana agar efektif dalam biaya. Mereka tak mengenal lagi SMP, cukup dengan SD sembilan tahun, agar sekolahnya tetap di kampungnya.
Uang anakanak kami tidak cukup untuk jajan di sekolah sehingga mereka membawa bekal makanan dari rumah yang dimasak oleh ibunya sehingga terhindar dari keracunan makanan. Anak-anak kami setiap minggu makan telur dan minum susu yang disediakan cuma- cuma oleh sekolah agar mereka tumbuh sehat dan cerdas. Anak-anak kami pun tak belajar sampai sore karena harus mencari kayu bakar untuk tungkutungku kami.
Anak-anak kami harus menyabit rumput untuk kambing peliharaan kami dan harus menyulam, merenda untuk belajar memenuhi kebutuhan sandang. Setiap ruang kelas kami siapkan jamban agar kami tak dianggap kaum marginal dan kaum jorok. Kalaupun kami sakit, ambulans tersenyum menjemput kami untuk mengantar ke balai pengobatan yang melayani kami tanpa biaya, tanpa membedakan kaya dan miskin.
Kini sekolah menengah kami tumbuh di setiap sudut kecamatan dan kami mampu mengisinya tanpa harus bicara masalah pungutan. Walau kami dihentakkan dengan perubahan kewenangan, yang beberapa waktu lalu disahkan orang Jakarta. Setiap minggu petugas kependudukan berkeliling kampung mencatatkan kewarganegaraan kami tanpa pungutan.
Di pusat kota kami mengantre menunggu giliran pencatatan, tanpa calo, tanpa upah pegawai yang berpuluh-puluh juta, kami tetap terlayani. Kini di pusat kotaku yang kecil, tamantaman tertata rapi. Di setiap sudut kutemui lampu bertopi caping. Kami merasa kami tetap Indonesia walau seluruh energi yang kami miliki tinggal lemak yang tersisa karena daging empuk dan tulang lunak yang kami miliki sudah kami serahkan seluruhnya kepada Jakarta. Kata Ma Icih, komentator setia di kampung saya, ”Enggak apa-apa Ema mah tidak makan tulang lunak dan daging empuk juga.
Jangankan sekarang Ema sudah ompong, sejak muda pun Ema mah memang kurang suka. Lebih suka makan daun-daunan, akarkaran, dan beubeutian (umbi-umbian) yang jauh lebih sehat dan higienis dibanding daging dan tulang lunak yang sering menimbulkan kolesterol. Ternyata kebiasaan Ema makan dangdaunan (daun-daunan) ditiru oleh orangorang Jakarta sekarang.
Ema mah ngahenang ngahening, ngeunah dahar tibra hees, (hening, enak makan nyenyak tidur) dibanding batur (orang lain) yang katanya banyak uang dan banyak makanan, tapi kelihatannya kurang tidur dan emosional, akhirnya banyak bertengkar sampai terdengar di sudut kampung tetangga Ema yang punya tivi.
Jam satu malam saja masih terdengar suara pertengkaran dari Jakarta. Teuing marebutkeun naon, teu ngarti ema mah. (Entah memperebutkan apa, Ema tidak mengerti)” ?
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ftr)