Jokowi, Prabowo, dan Petugas Partai
A
A
A
M BAMBANG PRANOWO
Guru Besar UIN Jakarta/
Rektor Universitas Mathla Guru Besar UIN Jakarta/
Rektor Universitas Mathlaul Anwar,
Banten
Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1) mengejutkan publik. Mengejutkan karena ada kesan pertemuan tersebut menyimpan sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah pertemuan itu, Prabowo menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden Jokowi.
Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri. Seperti kita ketahui, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah menuai protes publik karena dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai pejabat di Polri.
Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian KPK mengumumkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kasus ini kemudian berkembang liar–bukan hanya prokontra penunjukan BG sebagai kapolri, melainkan juga ”jegalmenjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK. Dalam pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil ”menersangkakan” BG sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi” berhasil” membalasnya.
Empat pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu Praja sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”. Secara praktis, empat pimpinan KPK yang tersisa (setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya. Buya Syafii Maarif menyatakan, pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah inisiatif Jokowi.
Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi Gunawan sebagai calon kapolri meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan publik tahu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sangat mendukung Budi Gunawan. Bahkan anehnya, DPRpun akhirnya menyetujui pencalonan BG tersebut. Ini memang aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu aspirasi rakyat, tapi keputusannya bertentangan dengan kehendak rakyat.
Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk mendukung BG, atau sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar terjerembap dalam dilema? Kita tak tahu. Tapi toh arah politik bisa diterka. Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau dan Jokowi tersandera. Mestinya, dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka kembalikan (re) ke publik (rakyat).
Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung membela siapa dan menolak siapa. Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan Koalisi Merah Putih (KMP) pasti tahu rakyat cenderung ke mana. Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik pengusung Jokowi memilih BG. Barangkali inilah misteri perpolitikan Indonesia. Dalam kondisi inilah, negeri seakan ”tergoyang”.
Presiden menghadapi dilema. Partai politik menghadapi dilema. Dan, rakyat pun merasakan dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden. Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan Presiden? Itulah jiwa nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya ”kacau”.
Bagi seorang prajurit yang sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara, kestabilan negara dan NKRI adalah final. Prabowo sebagai prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya, yaitu mendukung keputusan Presiden. Ini karena presiden adalah pimpinan tertinggi negara. Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu berdasarkan aspirasi rakyat.
Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana Bogor untuk mendukung apa pun yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI inilah kiranya yang mendorong Prabowo menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau dilihat dari layat belakang sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo berseberangan dengan arah politik Jokowi yang didukung KIH.
Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru memilih sebaliknya untuk mendukung apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan Prabowo, jelas, Presiden perlu didukung untuk kestabilan politik. Kita tahu saat ini, posisi Presiden secara politik lemah karena beliau bukan pimpinan partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah pimpinan partai pemenang pemilu.
Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu (PDIP), Jokowi bukanlah pimpinan partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP menyatakan Jokowi adalah kader partai, dan karena itu beliau sebagai presiden adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau pimpinan partai menjadi presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi ”petugas” rakyat seluruh negara.
Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat sebuah negara. Jadi presiden bukan petugas partai. Tugas partai sudah selesai karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika seorang politikus menjadi presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di pundaknya kini memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat. Apalagi, Jokowi terpilih dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%.
Iniartinya, yangmemilihJokowi sebagai presiden adalah rakyat– bukan kader partai. Dengan demikian, Jokowi adalah milik semua rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan partai politik. Jika demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi tidak lagi menyerimpungnya. Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi pelajaran. Jangan melawan suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini, bukan partai politik!
Guru Besar UIN Jakarta/
Rektor Universitas Mathla Guru Besar UIN Jakarta/
Rektor Universitas Mathlaul Anwar,
Banten
Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1) mengejutkan publik. Mengejutkan karena ada kesan pertemuan tersebut menyimpan sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah pertemuan itu, Prabowo menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden Jokowi.
Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri. Seperti kita ketahui, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah menuai protes publik karena dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai pejabat di Polri.
Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian KPK mengumumkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kasus ini kemudian berkembang liar–bukan hanya prokontra penunjukan BG sebagai kapolri, melainkan juga ”jegalmenjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK. Dalam pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil ”menersangkakan” BG sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi” berhasil” membalasnya.
Empat pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu Praja sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”. Secara praktis, empat pimpinan KPK yang tersisa (setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya. Buya Syafii Maarif menyatakan, pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah inisiatif Jokowi.
Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi Gunawan sebagai calon kapolri meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan publik tahu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sangat mendukung Budi Gunawan. Bahkan anehnya, DPRpun akhirnya menyetujui pencalonan BG tersebut. Ini memang aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu aspirasi rakyat, tapi keputusannya bertentangan dengan kehendak rakyat.
Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk mendukung BG, atau sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar terjerembap dalam dilema? Kita tak tahu. Tapi toh arah politik bisa diterka. Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau dan Jokowi tersandera. Mestinya, dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka kembalikan (re) ke publik (rakyat).
Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung membela siapa dan menolak siapa. Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan Koalisi Merah Putih (KMP) pasti tahu rakyat cenderung ke mana. Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik pengusung Jokowi memilih BG. Barangkali inilah misteri perpolitikan Indonesia. Dalam kondisi inilah, negeri seakan ”tergoyang”.
Presiden menghadapi dilema. Partai politik menghadapi dilema. Dan, rakyat pun merasakan dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden. Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan Presiden? Itulah jiwa nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya ”kacau”.
Bagi seorang prajurit yang sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara, kestabilan negara dan NKRI adalah final. Prabowo sebagai prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya, yaitu mendukung keputusan Presiden. Ini karena presiden adalah pimpinan tertinggi negara. Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu berdasarkan aspirasi rakyat.
Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana Bogor untuk mendukung apa pun yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI inilah kiranya yang mendorong Prabowo menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau dilihat dari layat belakang sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo berseberangan dengan arah politik Jokowi yang didukung KIH.
Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru memilih sebaliknya untuk mendukung apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan Prabowo, jelas, Presiden perlu didukung untuk kestabilan politik. Kita tahu saat ini, posisi Presiden secara politik lemah karena beliau bukan pimpinan partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah pimpinan partai pemenang pemilu.
Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu (PDIP), Jokowi bukanlah pimpinan partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP menyatakan Jokowi adalah kader partai, dan karena itu beliau sebagai presiden adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau pimpinan partai menjadi presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi ”petugas” rakyat seluruh negara.
Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat sebuah negara. Jadi presiden bukan petugas partai. Tugas partai sudah selesai karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika seorang politikus menjadi presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di pundaknya kini memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat. Apalagi, Jokowi terpilih dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%.
Iniartinya, yangmemilihJokowi sebagai presiden adalah rakyat– bukan kader partai. Dengan demikian, Jokowi adalah milik semua rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan partai politik. Jika demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi tidak lagi menyerimpungnya. Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi pelajaran. Jangan melawan suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini, bukan partai politik!
(bbg)