Dramaturgi Politik Madu Tiga
A
A
A
Idil Akbar
Staf Pengajar Fisip UNPAD dan Peneliti di Nusantara Institute
Siapa pun warga negara berharap agar lembaga hukum negara akur-akur saja. Bekerja secara benar dalam kewenangan menuntaskan persoalan hukum secara adil dan tidak memihak.
Lembaga-lembaga hukum tersebut tidak perlu berpolitik karena mereka memang bukan lembaga politik. Sedapat mungkin pula mereka tidak perlu terlibat arus kuasa politik, meski kondisi seperti itu masih bersifat utopia di Indonesia. Konflik KPK-Polri mengingatkan kita pada peristiwa perselisihan antara Susno Duadji yang pada masa itu masih menjabat Bareskrim Polri dengan KPK yang kemudian dikenal istilah “cicak versus buaya”.
Hanya sedikit berbeda pada masa itu, kali ini konflik yang terjadi nampak bereskalasi dan beraroma dendam. Peristiwa ini tak murni berupa konflik hukum antar kedua kelembagaan tersebut, tetapi juga ada gesekan arus kepentingan partai politik di dalamnya. Karenanya, konflik kali ini dinilai lebih rumit dari sebelumnya.
Sebetulnya tak berlebihan jika kasus konflik KPK-Polri ini sudah sarat dengan nuansa politisasi hukum yang menjerat pemimpin di kedua lembaga tersebut, yang kemudian entah bagaimana menyeret pula pada institusional conflict of interest. Politisasi inilah yang kemudian menghasilkan complexity values yang mendistorsi penilaian publik terhadap KPK dan Polri.
Maka, pengabaian terhadap kondisi ini sama saja menciptakan bom waktu bagi kehidupan sosial politik dan keamanan Indonesia. Harapan besar publik sebetulnya ingin Presiden secara tegas menengahi konflik tersebut. Tetapi, ketika Presiden berujar tak ingin mengintervensi persoalan yang terjadi, seperti ada yang salah dalam bagaimana Presiden semestinya memosisikan diri.
Sebagai kepala negara, fungsinya menengahi konflik ini akan berkontribusi terhadap upaya politik menjaga kondusivitas kelembagaan KPK dan Polri. Karena itu, ini bukan persoalan mengintervensi penanganan dan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh masing- masing lembaga, tetapi bagaimana Presiden mampu menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi di antara keduanya.
Dalam kelembagaan eksekutif, Jokowi bisa memerintahkan Polri agar bisa menahan diri untuk tidak terlalu reaktif dan impulsif. Namun di sisi lain, Jokowi juga harus bisa meminta KPK untuk melakukan hal yang sama dan menjelaskan ke publik bahwa kasus ini bersifat individual, bukan kelembagaan KPK maupun Polri.
Sehingga sebetulnya, tidak ada upaya pelemahan bagi kedua lembaga tersebut. Karena itu, rekonsiliasi merupakan jalan terbaik agar publik juga tidak merasa bahwa Jokowi sedang bermain-main dengan usaha memberantas korupsi di Indonesia.
Jaga KPK dan Polri
Menjaga KPK dan Polri hukumnya fardhu ‘ain sebab keduanya sama-sama berkontribusi terhadap penegakan hukum di Indonesia. Menjaga Polri dan juga KPK berarti samasama menjaga marwah hukum Indonesia yang bermartabat dan berdaulat. Dari sisi fungsi, kewenangan dan tanggung jawab, keduanya memang berbeda. Tetapi, jika menelisik pada relasi kebutuhan akan penegakan hukum yang sebenarnya, harapan publik pada kedua lembaga ini sama.
Karena itu, langkah paling penting saat ini adalah menyelamatkan Polri dan KPK dari perangkap kepentingan politik yang menariknya pada egosentrisme kelembagaan. Dramaturgi politik madu tiga antara Presiden, KPK dan Polri harus disudahi. Tetapi, penyudahan ini tetap berlandaskan pada mekanisme dan aturan hukum. Artinya, setiap yang dipersangkakan bersalah tetap harus diproses secara hukum.
Bagaimana Caranya?
Menyudahi perseteruan KPK-Polri kali ini haruslah menyentuh persoalan atau penyebabnya. Karenanya, Presidenperlu mengambil langkah taktis dan integratif agar persoalan bisa segera teratasi, syukur-syukur tak terulang kembali. Pertama, meninjau kembali pengangkatan BG sebagai Kapolri, memperjelas kasus hukum yang disangkakan kepadanya dan jika diperlukan mengajukan kembali calon lain yang relatif lebih bersih dan tidak menimbulkan polemik di mata publik.
Sebaliknya, meminta KPK melakukan tindakan yang sama terhadap pemimpin yang sudah menyandang status tersangka, memperjelas kasus hukumnya. Dan jika tak terbukti, maka harus dikembalikan lagi nama baiknya masing- masing. Presiden bisa langsung atau menunjuk orang- orang yang independen untuk mengawasi prosesnya.
Kedua, merekonstruksi kepemimpinan di tubuh Polri dengan tetap berlandasan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Presiden harus mampu mengambil langkah strategis agar di masa mendatang Polri betul-betul mampu bekerja secara profesional dan proporsional. Hal itu harus dimulai dari pimpinannya dan berlangsung paralel hingga tingkat yang lebih rendah.
Ketiga, melakukan rekonsiliasi terhadap kedua lembaga dengan diawali melakukan pertemuan antar kedua lembaga dan diakhiri dengan menyepakati kesepakatan-kesepakatan penting rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini penting untuk mencegah peristiwa seperti ini terulang kembali di masa depan.
Rekonsiliasi perlu dibangun partisipatif agar kedua lembaga bisa kembali menjalin kerja sama, saling mengisi dan memberi masukan, bukan saling sandera. Keempat, tak kalah pentingnya adalah Presiden harus mampu keluar dari dilema kekuasaan berupa balas jasa dan tekanan politik. Presiden harus mampu bersikap tegas dan independen.
Toh, kewenangan menentukan arah pemerintahan berada di tangannya. Jokowi adalah seorang Presiden bukan petugas partai. Karenanya, harapan rakyat adalah dirinya bertindak sebagai layaknya seorang Presiden yang menaungi segenap rakyat Indonesia, bukan tunduk pada tekanan dan kepentingan politik.
Staf Pengajar Fisip UNPAD dan Peneliti di Nusantara Institute
Siapa pun warga negara berharap agar lembaga hukum negara akur-akur saja. Bekerja secara benar dalam kewenangan menuntaskan persoalan hukum secara adil dan tidak memihak.
Lembaga-lembaga hukum tersebut tidak perlu berpolitik karena mereka memang bukan lembaga politik. Sedapat mungkin pula mereka tidak perlu terlibat arus kuasa politik, meski kondisi seperti itu masih bersifat utopia di Indonesia. Konflik KPK-Polri mengingatkan kita pada peristiwa perselisihan antara Susno Duadji yang pada masa itu masih menjabat Bareskrim Polri dengan KPK yang kemudian dikenal istilah “cicak versus buaya”.
Hanya sedikit berbeda pada masa itu, kali ini konflik yang terjadi nampak bereskalasi dan beraroma dendam. Peristiwa ini tak murni berupa konflik hukum antar kedua kelembagaan tersebut, tetapi juga ada gesekan arus kepentingan partai politik di dalamnya. Karenanya, konflik kali ini dinilai lebih rumit dari sebelumnya.
Sebetulnya tak berlebihan jika kasus konflik KPK-Polri ini sudah sarat dengan nuansa politisasi hukum yang menjerat pemimpin di kedua lembaga tersebut, yang kemudian entah bagaimana menyeret pula pada institusional conflict of interest. Politisasi inilah yang kemudian menghasilkan complexity values yang mendistorsi penilaian publik terhadap KPK dan Polri.
Maka, pengabaian terhadap kondisi ini sama saja menciptakan bom waktu bagi kehidupan sosial politik dan keamanan Indonesia. Harapan besar publik sebetulnya ingin Presiden secara tegas menengahi konflik tersebut. Tetapi, ketika Presiden berujar tak ingin mengintervensi persoalan yang terjadi, seperti ada yang salah dalam bagaimana Presiden semestinya memosisikan diri.
Sebagai kepala negara, fungsinya menengahi konflik ini akan berkontribusi terhadap upaya politik menjaga kondusivitas kelembagaan KPK dan Polri. Karena itu, ini bukan persoalan mengintervensi penanganan dan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh masing- masing lembaga, tetapi bagaimana Presiden mampu menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi di antara keduanya.
Dalam kelembagaan eksekutif, Jokowi bisa memerintahkan Polri agar bisa menahan diri untuk tidak terlalu reaktif dan impulsif. Namun di sisi lain, Jokowi juga harus bisa meminta KPK untuk melakukan hal yang sama dan menjelaskan ke publik bahwa kasus ini bersifat individual, bukan kelembagaan KPK maupun Polri.
Sehingga sebetulnya, tidak ada upaya pelemahan bagi kedua lembaga tersebut. Karena itu, rekonsiliasi merupakan jalan terbaik agar publik juga tidak merasa bahwa Jokowi sedang bermain-main dengan usaha memberantas korupsi di Indonesia.
Jaga KPK dan Polri
Menjaga KPK dan Polri hukumnya fardhu ‘ain sebab keduanya sama-sama berkontribusi terhadap penegakan hukum di Indonesia. Menjaga Polri dan juga KPK berarti samasama menjaga marwah hukum Indonesia yang bermartabat dan berdaulat. Dari sisi fungsi, kewenangan dan tanggung jawab, keduanya memang berbeda. Tetapi, jika menelisik pada relasi kebutuhan akan penegakan hukum yang sebenarnya, harapan publik pada kedua lembaga ini sama.
Karena itu, langkah paling penting saat ini adalah menyelamatkan Polri dan KPK dari perangkap kepentingan politik yang menariknya pada egosentrisme kelembagaan. Dramaturgi politik madu tiga antara Presiden, KPK dan Polri harus disudahi. Tetapi, penyudahan ini tetap berlandaskan pada mekanisme dan aturan hukum. Artinya, setiap yang dipersangkakan bersalah tetap harus diproses secara hukum.
Bagaimana Caranya?
Menyudahi perseteruan KPK-Polri kali ini haruslah menyentuh persoalan atau penyebabnya. Karenanya, Presidenperlu mengambil langkah taktis dan integratif agar persoalan bisa segera teratasi, syukur-syukur tak terulang kembali. Pertama, meninjau kembali pengangkatan BG sebagai Kapolri, memperjelas kasus hukum yang disangkakan kepadanya dan jika diperlukan mengajukan kembali calon lain yang relatif lebih bersih dan tidak menimbulkan polemik di mata publik.
Sebaliknya, meminta KPK melakukan tindakan yang sama terhadap pemimpin yang sudah menyandang status tersangka, memperjelas kasus hukumnya. Dan jika tak terbukti, maka harus dikembalikan lagi nama baiknya masing- masing. Presiden bisa langsung atau menunjuk orang- orang yang independen untuk mengawasi prosesnya.
Kedua, merekonstruksi kepemimpinan di tubuh Polri dengan tetap berlandasan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Presiden harus mampu mengambil langkah strategis agar di masa mendatang Polri betul-betul mampu bekerja secara profesional dan proporsional. Hal itu harus dimulai dari pimpinannya dan berlangsung paralel hingga tingkat yang lebih rendah.
Ketiga, melakukan rekonsiliasi terhadap kedua lembaga dengan diawali melakukan pertemuan antar kedua lembaga dan diakhiri dengan menyepakati kesepakatan-kesepakatan penting rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini penting untuk mencegah peristiwa seperti ini terulang kembali di masa depan.
Rekonsiliasi perlu dibangun partisipatif agar kedua lembaga bisa kembali menjalin kerja sama, saling mengisi dan memberi masukan, bukan saling sandera. Keempat, tak kalah pentingnya adalah Presiden harus mampu keluar dari dilema kekuasaan berupa balas jasa dan tekanan politik. Presiden harus mampu bersikap tegas dan independen.
Toh, kewenangan menentukan arah pemerintahan berada di tangannya. Jokowi adalah seorang Presiden bukan petugas partai. Karenanya, harapan rakyat adalah dirinya bertindak sebagai layaknya seorang Presiden yang menaungi segenap rakyat Indonesia, bukan tunduk pada tekanan dan kepentingan politik.
(ars)