Diplomasi Hati

Rabu, 28 Januari 2015 - 11:22 WIB
Diplomasi Hati
Diplomasi Hati
A A A
Saifuddin Aswari Rivai
Bupati Laha
t

Hati. Jika ditelaah secara global, bagian tubuh manusia ini memiliki tugas dan makna penting.

Meski posisinya “sedikit kalah” dari jantung, hati justru lebih banyak memainkan peran di luar tubuh manusia. Jika ingin mengulas habis mengenai fungsi organ tubuh ini, kita bisa mendapatkan informasinya dari berbagai sumber, mulai dari buku, internet, atau gadget . Barangbarang itu tidaklah untuk sulit didapat.

Namun, terlepas dari ilmu kesehatan tersebut, hati juga bisa dilakukan sebagai media diplomasi. Bagi sebagian orang, mungkin hal ini hanya sekadar bahasa klise ataupun teori pencitraan. Tapi sama sekali tidak bagi saya, dan kabupaten kecil di Provinsi Sumatera Selatan yang bernama Lahat. Diplomasi hati ini yang membantu saya menjalankan proses pembangunan sehari-hari.

Diplomasi hati ini pula yang sedikit banyak membantu saya memenangkan pesta demokrasi pemilihan bupati/ wakil bupati Lahat selama dua periode. Banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan terkait diplomasi hati di sini. Namun, saya punya sedikit cerita yang sampai saat ini sangat berguna bagi saya dan keluarga. Diplomasi hati ini saya terapkan kepada masyarakat binaan yang “kebetulan” menginap di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II/A Lahat.

Dan, banyak hal yang bisa kita dapat dari mereka yang harus mengalami pemulihan jiwa di sana. Saya, selaku pemimpin, wajib merangkul mereka agar tidak merasa dipandang sebelah mata. Supaya mereka tetap dianggap ada, dan bisa kembali ke tengah-tengah kita. Mungkin kalau ada kesempatan berkunjung ke sana, Anda bisa tanyakan sendiri bagaimana respons mereka dalam setiap kunjungan Anda ke lapas.

Mereka merasa diperhatikan dengan kehadiran kita. Jika dipikir-pikir, itu sesuatu yang kecil, tapi ternyata sangat besar manfaatnya. Anda bisa belikan mereka durian. Anda bisa ajak seluruh penghuni lapas makan bersama dan sebagainya.

Dan, saya juga sering mengimbau anakanak saya, jika ingin menggelar acara ulang tahun, lebih baik merayakannya bersama orang-orang lapas atau dirayakan di panti asuhan. Selain itu, saya juga ada sedikit cerita mengenai julukan “Bupati Ayam” yang diberikan masyarakat kepada saya. Mereka menahbiskan seperti itu lantaran saya selalu menyempatkan diri mengunjungi rumah warga yang tengah berduka karena salah satu anggota keluarga mereka meninggal.

Namun, terlepas dari bantuan ayam serta uang duka, kehadiran sosok bupati dalam suasana seperti itu tentu sangat membantu meringankan beban mereka. Bisa dibayangkan jika kehilangan anggota keluarga, Anda mungkin tidak bisa berbuat banyak. Bingung. Namun, suasana tentu akan berbeda ketika ada sosok yang berdiri di rumah mereka. Itu yang membuat saya bersemangat dalam memimpin pemerintahan di Kabupaten Lahat.

Jika keluar rumah pada sore hari, saya juga sering melihat sekumpulan anakanak kecil. Dan ketika saya melintas, terdengar suara memanggil saya dengan sapaan “Wari-Wari”. Itu nama panggilan saya sejak kecil dari orang tua. Sebagai pejabat, tentunya, saya berhak tersinggung, apalagi saat mengetahui yang memanggil sebutan saya itu adalah anak-anak kecil.

Tapi di balik panggilan kecil itu, hikmahnya justru sangat besar. Saya jadi tahu bahwa seluruh lapisan masyarakat mengenal saya mulai dari orang dewasa hingga anak-anak kecil. Itu nilai plus bagi saya. Di sinilah diplomasi hati bermain. Lakukan pendekatan itu dari hati ke hati dan dari hari ke hari. Insya Allah, amanah itu bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya, bukan sekadar materi yang bisa datang dan pergi begitu saja.

Hal itu memang mudah untuk diucapkan, tapi sungguh sulit untuk dijalankan. Namun kalau kita belajar memahami apa yang dirasakan orang yang kekurangan, diplomasi hati itu bisa dijalankan. Bayangkan kalau Anda, anak Anda, ataupun keluarga Anda berada dalam posisi kekurangan. Mungkin Anda akan tahu bagaimana caranya.

Cerita terakhir mengenai diplomasi hati, Anda mungkin tidak percaya jika setiap kali hendak melakukan perjalanan dinas dengan menggunakan pesawat, saya selalu menyempatkan diri ke toilet bandara. Selain memang kodratnya sebagai manusia yang kerap gugup ketika hendak terbang sehingga harus buang air sebagai solusi terbaik, di toilet, saya juga belajar mengenai perjuangan para petugas toilet dalam bekerja.

Di situlah hati nurani saya terketuk. Ternyata masih banyak orang Indonesia yang bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan, meski harus bekerja hampir 16 jam di toilet. Tak jarang saya mengajak mereka ngobrol. Dan, mereka sangat terharu ada pejabat Bupati kecil seperti saya yang perhatian.

Di situ, mereka bisa bercerita dengan siapa pun. Saat ini Indonesia masih sangat minim pemimpin yang menjalankan diplomasi hati. Dan saya pikir, mungkin itu harus dimulai dari Sumsel terlebih dahulu. Memang sulit jika dibayangkan tanpa dilaksanakan. Butuh keyakinan yang kuat.

Namun kalau tidak pernah dijalankan, diplomasi hati itu hanya akan bersemayam di hati tanpa bisa terealisasi.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5679 seconds (0.1#10.140)