Raja Abdullah dan Dialog Antaragama
A
A
A
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia dini hari tadi (23/1) pukul 01.00 waktu Arab Saudi. Berita meninggalnya raja kerajaan eksportir minyak utama dunia ini disiarkan langsung oleh televisi pemerintah Saudi.
Saudaranya, Salman bin Abdulaziz Al Saud, otomatis menggantikannya sebagai raja Arab Saudi. Abdullah sudah dirawat selama beberapa minggu terakhir di rumah sakit akibat infeksi paru-paru. Ia juga mengalami sejumlah gangguan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Raja Abdullah meninggalkan lebih dari 30 anak dari lebih sepuluh istri (Sindonews.com, 23/1).
Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, merupakan salah satu dari 12 putra Raja Abdulaziz Al Saud. Dia terpilih menjadi putra mahkota tahun 1982 setelah kakak tirinya, Fahd, naik takhta. Abdullah menjadi penguasa de facto di Arab Saudi tahun 1995 setelah Raja Fahd terserang stroke.
Berkat kedekatannya dengan Amerika, Abdullah berhasil menekan Washington untuk menarik mundur pasukan yang ditempatkan di negara itu sejak invasi Amerika ke Kuwait tahun 1990. Amerika menarik seluruh pasukannya dari Arab Saudi tahun 1993. Meski memiliki kedekatan dengan Amerika, Raja Abdullah dilaporkan kerap frustrasi dengan kegagalan Amerika menjembatani konflik Israel-Palestina.
Media internasional seperti BBC dan CNN memuji Abdullah sebagai sosok reformis yang mengizinkan kritik terbatas terhadap pemerintah negeri minyak ini, memberi kesempatan kepada wanita untuk bekerja, serta melakukan reformasi pendidikan dan infrastruktur.
Dan di tengah hubungan antara Barat dan dunia Islam yang memanas akibat kasus Charlie Hebdo, kita perlu mengenang sekaligus mengapresiasi langkah-langkah Raja Abdullah dalam membangun dialog dan saling pengertian antar pemeluk ketiga agama samawi(Yahudi, Kristen, dan Islam).
Simak saja sang raja berani menyapa para pemimpin Kristen atau Yahudi, guna membangun jembatan dan masa depan dunia yang lebih baik. Ini terjadi ketika Raja Abdullah menggelar dialog antaragama tingkat dunia pada 12- 13 November 2008 di Markas Besar PBB di New York. Raja juga memprakarsai dialog perdamaian mengenai konflik di Timur Tengah.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon, pada Selasa, 11/11/2008 di New York, AS, bahkan mengundang Raja Arab Saudi Abdullah dan Presiden Israel Shimon Peres untuk menghadiri acara makan malam yang diselenggarakan sekjen PBB. Acara itu menjadi ajang pertemuan pertama antara Raja Arab Saudi dan Presiden Israel Yangmonumental, Raja Saudi itu pernah bertemu Paus Benediktus XVI di Roma pada 6/11/2007.
Media Eropa, khususnya Italia, menyebut pertemuan itu sebagai peristiwa terbesar sepanjang 2007. Tentu Paus sangat gembira. Lagi pula, Gereja Katolik selalu mengapresiasi agama-agama lain, seperti Islam, sebagaimana tertulis dalam dokumen Nostra Aetate yang disahkan di Roma pada 28 Januari 1965.
Sebelum tanggal tersebut, Gereja Katolik memang memandang tidak ada kebenaran dalam agama-agama lain. Namun Konsili Vatikan II, atas inisiatif Paus Yohannes XXIII lewat dokumen Nostra Aetate, berani meralat pandangan yang salah yang berlangsung selama berabad-abad. Mulai 28 Januari 1965, saat dokumen Nostra Aetate diresmikan, GerejaKatolik berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam.
Bahkan menyangkut relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat: ”Mengingat dalam peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk melupakan dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak memajukan keadilan sosial, nilainilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar manusia” (Dokumen Nostra Aetate, Roma 28/1/1965).
Malah sebelum tahun 1965, Nabi Muhammad SAW pada abad VI sudah mengajarkan bagaimana harus menyikapi perbedaan agama tanpa bersikap diskriminatif terhadap orang yang berbeda agama dengan kita. Dalam hal interaksi dengan ”ahlul kitab”, Nabi Muhammad memang sangat terkenal dengan toleransinya.
Ini bisa dilihat dari adanya Pakta Madinah yang terkenal itu. Harold Coward juga menulis dalam bukunya ”Pluralisme- Tantangan bagi Agama-Agama ” bahwa ”Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan dari tradisi alkitabiah Yahudi dan Kristen. Rasa hormat beliau terhadap tradisi alkitabiah sungguh diperlihatkan dalam ajarannya”.
Tentu rasa hormat itu tidak lepas dari sejarah ketika Muhammad memperjuangkan Islam. Dalam perjuangan itu, ada ikatan historis tentang persaudaraan Muhammad dengan orang Kristen yang sudah dimulai sejak abad ke-6 Masehi. Pernah dikisahkan, suatu hari Khadijah mengajak nabi, suaminya mengunjungi saudara sepupunya Waraqah Ibnu Naufal yang menjadi rahib Kristen.
Waraqah inilah yang menjelaskan makna kedatangan Gabriel atau Malaikat Jibril sebagai isyarat bahwa Muhammad telah diangkat menjadi seorang nabi. Bahkan ketika Muhammad muda sering ke Suriah untuk berdagang, para rahib Kristen, di antaranya Bahira, juga sudah meramalkan tentang kenabian Muhammad. Dalam perjuangkan lebih lanjut, Muhammad juga pernah meminta perlindungan bagi para pengikutnya pada Raja Abissinia atau Etiopia yang beragama Kristen.
Raja Abdullah dalam pertemuan dengan Paus pada 2007, juga mengaku tersentuh oleh kisah yang menjadi fakta sejarah di atas. Maka semoga ini bisa menjadi pendorong untuk terus membangun kerja sama dan dialog seperti pernah diprakarsai Raja Abdullah. Ketua Umum PBNU KH Aqiel Siradj yang pernah berkhotbah di Gereja Algonz Surabaya, mengatakan, ”Bila kita tahu sejarah dan menjauhi perspektif adu domba, tak akan ada konflik antar agama, khususnya antara Islam dan Kristen”.
Umat kristiani, Islam (bersama umat Yahudi) sebenarnya mewarisi satu warisan iman yang sama dari Abraham atau Ibrahim, sehingga ketiga agama ini sering disebut sebagai “Abrahamaic Religions”. Ibaratnya ketiga umat itu mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh “anak-anak-nya” yang beragama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Selama ini ketiga agama ini memang sering terlibat dalam perang dingin, apalagi dengan munculnya kaum radikal yang mengharamkan dan menganggap dialog dan komunikasi antarumat beragama tak ada gunanya. Maka guna menumbuhkan saling pengertian, “anak-anak Nabi Ibrahim” khususnya di Tanah Air, perlu melanjutkan dialog yang sudah dirintis oleh Raja Abdullah, dengan berani keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang tamu rumah Nabi Ibrahim.
Ketika berada di kamar masing-masing, tentu setiap aturan hidup dalam kamar itu harus dipatuhi; tetapi ketika berada di ruang tamu, itulah kesempatan kita untuk menjalin dialog dan saling pengertian sehingga segala prasangka dan benih konflik bisa dimatikan sejak dini. Apalagi, daripada berlomba-lomba dalam konflik, kebencian dan permusuhan, mari kita kembali kepada ajakan berlombalomba dalam kebaikan,seperti diamanatkan Taurat, Injil, dan Alquran.
Teolog
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia dini hari tadi (23/1) pukul 01.00 waktu Arab Saudi. Berita meninggalnya raja kerajaan eksportir minyak utama dunia ini disiarkan langsung oleh televisi pemerintah Saudi.
Saudaranya, Salman bin Abdulaziz Al Saud, otomatis menggantikannya sebagai raja Arab Saudi. Abdullah sudah dirawat selama beberapa minggu terakhir di rumah sakit akibat infeksi paru-paru. Ia juga mengalami sejumlah gangguan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Raja Abdullah meninggalkan lebih dari 30 anak dari lebih sepuluh istri (Sindonews.com, 23/1).
Abdullah, yang diperkirakan lahir pada 1923, merupakan salah satu dari 12 putra Raja Abdulaziz Al Saud. Dia terpilih menjadi putra mahkota tahun 1982 setelah kakak tirinya, Fahd, naik takhta. Abdullah menjadi penguasa de facto di Arab Saudi tahun 1995 setelah Raja Fahd terserang stroke.
Berkat kedekatannya dengan Amerika, Abdullah berhasil menekan Washington untuk menarik mundur pasukan yang ditempatkan di negara itu sejak invasi Amerika ke Kuwait tahun 1990. Amerika menarik seluruh pasukannya dari Arab Saudi tahun 1993. Meski memiliki kedekatan dengan Amerika, Raja Abdullah dilaporkan kerap frustrasi dengan kegagalan Amerika menjembatani konflik Israel-Palestina.
Media internasional seperti BBC dan CNN memuji Abdullah sebagai sosok reformis yang mengizinkan kritik terbatas terhadap pemerintah negeri minyak ini, memberi kesempatan kepada wanita untuk bekerja, serta melakukan reformasi pendidikan dan infrastruktur.
Dan di tengah hubungan antara Barat dan dunia Islam yang memanas akibat kasus Charlie Hebdo, kita perlu mengenang sekaligus mengapresiasi langkah-langkah Raja Abdullah dalam membangun dialog dan saling pengertian antar pemeluk ketiga agama samawi(Yahudi, Kristen, dan Islam).
Simak saja sang raja berani menyapa para pemimpin Kristen atau Yahudi, guna membangun jembatan dan masa depan dunia yang lebih baik. Ini terjadi ketika Raja Abdullah menggelar dialog antaragama tingkat dunia pada 12- 13 November 2008 di Markas Besar PBB di New York. Raja juga memprakarsai dialog perdamaian mengenai konflik di Timur Tengah.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon, pada Selasa, 11/11/2008 di New York, AS, bahkan mengundang Raja Arab Saudi Abdullah dan Presiden Israel Shimon Peres untuk menghadiri acara makan malam yang diselenggarakan sekjen PBB. Acara itu menjadi ajang pertemuan pertama antara Raja Arab Saudi dan Presiden Israel Yangmonumental, Raja Saudi itu pernah bertemu Paus Benediktus XVI di Roma pada 6/11/2007.
Media Eropa, khususnya Italia, menyebut pertemuan itu sebagai peristiwa terbesar sepanjang 2007. Tentu Paus sangat gembira. Lagi pula, Gereja Katolik selalu mengapresiasi agama-agama lain, seperti Islam, sebagaimana tertulis dalam dokumen Nostra Aetate yang disahkan di Roma pada 28 Januari 1965.
Sebelum tanggal tersebut, Gereja Katolik memang memandang tidak ada kebenaran dalam agama-agama lain. Namun Konsili Vatikan II, atas inisiatif Paus Yohannes XXIII lewat dokumen Nostra Aetate, berani meralat pandangan yang salah yang berlangsung selama berabad-abad. Mulai 28 Januari 1965, saat dokumen Nostra Aetate diresmikan, GerejaKatolik berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam.
Bahkan menyangkut relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat: ”Mengingat dalam peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk melupakan dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak memajukan keadilan sosial, nilainilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar manusia” (Dokumen Nostra Aetate, Roma 28/1/1965).
Malah sebelum tahun 1965, Nabi Muhammad SAW pada abad VI sudah mengajarkan bagaimana harus menyikapi perbedaan agama tanpa bersikap diskriminatif terhadap orang yang berbeda agama dengan kita. Dalam hal interaksi dengan ”ahlul kitab”, Nabi Muhammad memang sangat terkenal dengan toleransinya.
Ini bisa dilihat dari adanya Pakta Madinah yang terkenal itu. Harold Coward juga menulis dalam bukunya ”Pluralisme- Tantangan bagi Agama-Agama ” bahwa ”Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan dari tradisi alkitabiah Yahudi dan Kristen. Rasa hormat beliau terhadap tradisi alkitabiah sungguh diperlihatkan dalam ajarannya”.
Tentu rasa hormat itu tidak lepas dari sejarah ketika Muhammad memperjuangkan Islam. Dalam perjuangan itu, ada ikatan historis tentang persaudaraan Muhammad dengan orang Kristen yang sudah dimulai sejak abad ke-6 Masehi. Pernah dikisahkan, suatu hari Khadijah mengajak nabi, suaminya mengunjungi saudara sepupunya Waraqah Ibnu Naufal yang menjadi rahib Kristen.
Waraqah inilah yang menjelaskan makna kedatangan Gabriel atau Malaikat Jibril sebagai isyarat bahwa Muhammad telah diangkat menjadi seorang nabi. Bahkan ketika Muhammad muda sering ke Suriah untuk berdagang, para rahib Kristen, di antaranya Bahira, juga sudah meramalkan tentang kenabian Muhammad. Dalam perjuangkan lebih lanjut, Muhammad juga pernah meminta perlindungan bagi para pengikutnya pada Raja Abissinia atau Etiopia yang beragama Kristen.
Raja Abdullah dalam pertemuan dengan Paus pada 2007, juga mengaku tersentuh oleh kisah yang menjadi fakta sejarah di atas. Maka semoga ini bisa menjadi pendorong untuk terus membangun kerja sama dan dialog seperti pernah diprakarsai Raja Abdullah. Ketua Umum PBNU KH Aqiel Siradj yang pernah berkhotbah di Gereja Algonz Surabaya, mengatakan, ”Bila kita tahu sejarah dan menjauhi perspektif adu domba, tak akan ada konflik antar agama, khususnya antara Islam dan Kristen”.
Umat kristiani, Islam (bersama umat Yahudi) sebenarnya mewarisi satu warisan iman yang sama dari Abraham atau Ibrahim, sehingga ketiga agama ini sering disebut sebagai “Abrahamaic Religions”. Ibaratnya ketiga umat itu mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh “anak-anak-nya” yang beragama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Selama ini ketiga agama ini memang sering terlibat dalam perang dingin, apalagi dengan munculnya kaum radikal yang mengharamkan dan menganggap dialog dan komunikasi antarumat beragama tak ada gunanya. Maka guna menumbuhkan saling pengertian, “anak-anak Nabi Ibrahim” khususnya di Tanah Air, perlu melanjutkan dialog yang sudah dirintis oleh Raja Abdullah, dengan berani keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang tamu rumah Nabi Ibrahim.
Ketika berada di kamar masing-masing, tentu setiap aturan hidup dalam kamar itu harus dipatuhi; tetapi ketika berada di ruang tamu, itulah kesempatan kita untuk menjalin dialog dan saling pengertian sehingga segala prasangka dan benih konflik bisa dimatikan sejak dini. Apalagi, daripada berlomba-lomba dalam konflik, kebencian dan permusuhan, mari kita kembali kepada ajakan berlombalomba dalam kebaikan,seperti diamanatkan Taurat, Injil, dan Alquran.
(bbg)