Pemerintah Tak Perlu Khawatir pada Media Massa
A
A
A
HASAN ASYARI
Kader Muda Perindo
“Semua tahu kita ini selalu dipotret, selalu diikuti, dan selalu dinilai media. Meskipun perlu saya sampaikan ekspos media, belum tentu mewakili kinerja pemerintahan.
Media sebagai pembawa pesan akan membentuk persepsi, imej terhadap kinerja pemerintah.......Persepsi media terhadap kinerja pemerintah didasarkan atas berbagai variabel. Ada aktivitas-aktivitas, ada kebijakan-kebijakan, ada langkah-langkah menteri maupun institusi lain. (Semua) dipotret media dari berbagai sudut, pro maupun kontra dan menimbulkan persepsi”.
Kira-kira demikian yang dikatakan presiden dalam rapat kabinet pada 7 Januari 2015 lalu, seperti yang dikutip beberapa media. Apa yang dilakukan presiden dengan menginstruksikan mesin intelijen untuk mengawasi 343 media, cukuplah beralasan. “Takut dan khawatir” media akan selalu memberitakan yang tidak baik terhadap kinerja Kabinet Kerja. Karena media massa, seperti yang diungkapkan oleh Harsono Suwarno (Ibnu Hamad, 2004), memiliki peranan penting dalam pembentukan opini karena beberapa aspek.
Pertama, media memiliki kekuatan yang cukup dalam menyosialisasikan informasi. Kedua, ia bisa melipatgandakan pesan dengan sangat baik. Ketiga, setiap media mampu mempresentasikan wacana pada kejadian tertentu sesuai dengan cara pandang media itu sendiri. Keempat, dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki peluang yang besar untuk menyajikan berita atau kejadian berdasarkan agenda setting yang dimilikinya.
Dan kelima, apa yang diberitakan oleh media biasanya berhubungan dengan media yang lain sehingga membentuk lingkaran pada penciptaan peluang yang lain secara otomatis. Inilah, media tidak hanya menyajikan informasi tetapi juga bisa memengaruhi publik. Untuk itu jika memberitakannya selalu minor, misalnya, persepsi masyarakat pun tidak lebih dari pada itu.
Pertanyaannya, haruskah presiden sekhawatir itu? Padahal tidak sedikit kejadian atau fakta yang luput dari mata dan hati pengambil kebijakan bisa terungkap secara rapi ke publik karena peran media massa, dan pengambil kebijakan selalu mengambil manfaat dari itu.
Media sebagai Mitra
McLuhan (Rachmat, 2000) mengatakan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indra kita. Dengan media massa, kita memperoleh tentang gambaran benda, orang, atau tempat yang kita alami secara langsung. Negara Indonesia ini terlalu luas untuk kita masuki semuanya. Televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indra kita.
Surat kabar menjadi teropong kecil untuk melihat gejala-gejala yang terjadi waktu kini di seluruh penjuru Indonesia. Media massa, elektronik ataupun cetak, pada dasarnya juga adalah media diskusi publik tentang suatu masalah yang melibatkan tiga pihak, yaitu wartawan, sumber berita, dan khalayak.
Ketiga pihak tersebut mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-masing dan hubungan mereka, di antaranya terbentuk melalui operasionalisasi teks yang mereka konstruksi. Hubungan ketiganya pun juga saling terhubung satu dengan yang lainnya. Wartawan membutuhkan sesuatu yang bisa dijadikan berita dan juga bisa bernilai ekonomis, sumber berita butuh dipublikasikan dan diakui, sedangkan khalayak membutuhkan informasi.
Tugas dari seorang wartawan secara sederhana adalah bekerja mencari berita, mengolah, mengedit, dan kemudian menyajikannyakepada khalayak dengan sadar dan bertanggung jawab. Artinya, tanggung jawab pemberitaan yang didasarkan kepada kepentingan publik, kebenaran, hukum yang berlaku, common sense dan akal sehat. Sedangkan khalayak membutuhkan informasi itu semua, dan mereka selalu memberikan feedback atau respons balik berdasarkan informasi yang mereka terima. Jika informasi yang mereka terima benar dan cocok dengan common sens e, biasanya mereka pun merespons dengan baik pula. Begitu pun sebaliknya.
Dalam konteks tersebut, semestinya media bisa dijadikan mitra positif, membangun budaya dan peradaban bangsa Indonesia. Presiden, menteri, dan instansi terkait yang secara tidak langsung menjadi sumber berita. Mereka adalah pejabat publik yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Mereka dipilih oleh masyarakat dan dibiayai juga dari pajak yang dibayar oleh masyarakat.
Maka kebijakannya pun harus berorientasi kepada masyarakat. Di sinilah mereka membutuhkan publisitas sebagai bentuk “pertanggungjawaban” sehingga masyarakat mengetahuinya. Tapi di sisi lain, mereka harus lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengeluarkan kebijakannya karena apa pun bentuknya, melalui media, masyarakat akan menilainya.
Namun, mitra, di sini, tidak dimaksudkan bahwa media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni). Dalam hal ini, ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Media juga tidak dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara.
Media harus berani menolak dan melawan hegemoni jika harus melayani negara (servant of the state). Akan tetapi, pemerintah harus memosisikan media sebagai kawan yang selalu menyuarakan dan juga mengingatkan ketika ada kesalahan. Kawan untuk membangun demokrasi bersamasama. Media bukanlah lawan yang harus selalu diawasi oleh mesin intelijen. Ingat, media dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Media dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya checks and balances dari berbagai kekuasaan yang ada. Di antara fungsi media adalah sebagai watchdog, yaitu mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta.
Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan perlu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apa jadinya pemerintahan tanpa adanya kebebasan pers atau media, dan media tanpa adanya pemerintahan? Akhirnya, apa pun yang diberitakan media merupakan masukan dan pengingat bagi para pihak, termasuk presiden, untuk dijadikan pijakan dalam melakukan perubahan.
Kader Muda Perindo
“Semua tahu kita ini selalu dipotret, selalu diikuti, dan selalu dinilai media. Meskipun perlu saya sampaikan ekspos media, belum tentu mewakili kinerja pemerintahan.
Media sebagai pembawa pesan akan membentuk persepsi, imej terhadap kinerja pemerintah.......Persepsi media terhadap kinerja pemerintah didasarkan atas berbagai variabel. Ada aktivitas-aktivitas, ada kebijakan-kebijakan, ada langkah-langkah menteri maupun institusi lain. (Semua) dipotret media dari berbagai sudut, pro maupun kontra dan menimbulkan persepsi”.
Kira-kira demikian yang dikatakan presiden dalam rapat kabinet pada 7 Januari 2015 lalu, seperti yang dikutip beberapa media. Apa yang dilakukan presiden dengan menginstruksikan mesin intelijen untuk mengawasi 343 media, cukuplah beralasan. “Takut dan khawatir” media akan selalu memberitakan yang tidak baik terhadap kinerja Kabinet Kerja. Karena media massa, seperti yang diungkapkan oleh Harsono Suwarno (Ibnu Hamad, 2004), memiliki peranan penting dalam pembentukan opini karena beberapa aspek.
Pertama, media memiliki kekuatan yang cukup dalam menyosialisasikan informasi. Kedua, ia bisa melipatgandakan pesan dengan sangat baik. Ketiga, setiap media mampu mempresentasikan wacana pada kejadian tertentu sesuai dengan cara pandang media itu sendiri. Keempat, dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki peluang yang besar untuk menyajikan berita atau kejadian berdasarkan agenda setting yang dimilikinya.
Dan kelima, apa yang diberitakan oleh media biasanya berhubungan dengan media yang lain sehingga membentuk lingkaran pada penciptaan peluang yang lain secara otomatis. Inilah, media tidak hanya menyajikan informasi tetapi juga bisa memengaruhi publik. Untuk itu jika memberitakannya selalu minor, misalnya, persepsi masyarakat pun tidak lebih dari pada itu.
Pertanyaannya, haruskah presiden sekhawatir itu? Padahal tidak sedikit kejadian atau fakta yang luput dari mata dan hati pengambil kebijakan bisa terungkap secara rapi ke publik karena peran media massa, dan pengambil kebijakan selalu mengambil manfaat dari itu.
Media sebagai Mitra
McLuhan (Rachmat, 2000) mengatakan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indra kita. Dengan media massa, kita memperoleh tentang gambaran benda, orang, atau tempat yang kita alami secara langsung. Negara Indonesia ini terlalu luas untuk kita masuki semuanya. Televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indra kita.
Surat kabar menjadi teropong kecil untuk melihat gejala-gejala yang terjadi waktu kini di seluruh penjuru Indonesia. Media massa, elektronik ataupun cetak, pada dasarnya juga adalah media diskusi publik tentang suatu masalah yang melibatkan tiga pihak, yaitu wartawan, sumber berita, dan khalayak.
Ketiga pihak tersebut mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-masing dan hubungan mereka, di antaranya terbentuk melalui operasionalisasi teks yang mereka konstruksi. Hubungan ketiganya pun juga saling terhubung satu dengan yang lainnya. Wartawan membutuhkan sesuatu yang bisa dijadikan berita dan juga bisa bernilai ekonomis, sumber berita butuh dipublikasikan dan diakui, sedangkan khalayak membutuhkan informasi.
Tugas dari seorang wartawan secara sederhana adalah bekerja mencari berita, mengolah, mengedit, dan kemudian menyajikannyakepada khalayak dengan sadar dan bertanggung jawab. Artinya, tanggung jawab pemberitaan yang didasarkan kepada kepentingan publik, kebenaran, hukum yang berlaku, common sense dan akal sehat. Sedangkan khalayak membutuhkan informasi itu semua, dan mereka selalu memberikan feedback atau respons balik berdasarkan informasi yang mereka terima. Jika informasi yang mereka terima benar dan cocok dengan common sens e, biasanya mereka pun merespons dengan baik pula. Begitu pun sebaliknya.
Dalam konteks tersebut, semestinya media bisa dijadikan mitra positif, membangun budaya dan peradaban bangsa Indonesia. Presiden, menteri, dan instansi terkait yang secara tidak langsung menjadi sumber berita. Mereka adalah pejabat publik yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Mereka dipilih oleh masyarakat dan dibiayai juga dari pajak yang dibayar oleh masyarakat.
Maka kebijakannya pun harus berorientasi kepada masyarakat. Di sinilah mereka membutuhkan publisitas sebagai bentuk “pertanggungjawaban” sehingga masyarakat mengetahuinya. Tapi di sisi lain, mereka harus lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengeluarkan kebijakannya karena apa pun bentuknya, melalui media, masyarakat akan menilainya.
Namun, mitra, di sini, tidak dimaksudkan bahwa media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni). Dalam hal ini, ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Media juga tidak dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara.
Media harus berani menolak dan melawan hegemoni jika harus melayani negara (servant of the state). Akan tetapi, pemerintah harus memosisikan media sebagai kawan yang selalu menyuarakan dan juga mengingatkan ketika ada kesalahan. Kawan untuk membangun demokrasi bersamasama. Media bukanlah lawan yang harus selalu diawasi oleh mesin intelijen. Ingat, media dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Media dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya checks and balances dari berbagai kekuasaan yang ada. Di antara fungsi media adalah sebagai watchdog, yaitu mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta.
Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan perlu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apa jadinya pemerintahan tanpa adanya kebebasan pers atau media, dan media tanpa adanya pemerintahan? Akhirnya, apa pun yang diberitakan media merupakan masukan dan pengingat bagi para pihak, termasuk presiden, untuk dijadikan pijakan dalam melakukan perubahan.
(bbg)