Jokowi dan RAPBN-P Rasa Wong Cilik?
A
A
A
Mukhamad Misbakhun
Anggota Komisi XI DPR RI
Tahun 2015 menjadi tahun penting dan strategis sekaligus awal pembuktian bagi kinerja Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla dalam mengemban amanat sebagai presiden dan wakil presiden.
Kehadiran Jokowi di pucuk kekuasaan, paling tidak, memberi harapan baru bagi cita-cita kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik. Selain itu, figur Jokowi, dengan kesederhanaan dan kebersahajaannya mengidentifikasi sistem kerja pemerintahan yang berada di bawah kepemimpinannya, tampak lebih merakyat.
Tentu saja, identifikasi ini tidak sekedar kesan semata, pemerintahan Jokowi-JK bahkan mengadaptasi konsep ”Trisakti” dan ”Nawacita” sebagai visi besar dalam memandang dan men-drive arah kebijakan. Visi dan konsep itu jugalah yang mendasari RAPBN-Perubahan 2015. Konsisten dengan konsep Trisakti dan Nawacita, RAPBNP 2015 menetapkan lima program prioritas.
Kelima prioritas tersebut pembangunan sektor unggulan, kegiatan pemenuhan kewajiban dasar, program dan kegiatan untuk mengurangi kesenjangan, pembangunan infrastruktur konektivitas, dan program dan kegiatan unggulan lain. Konsistensi tersebut patut diapresiasi di tengah pelambatan laju perekonomian dunia dan penurunan postur APBN dari Rp1.793 triliun (APBN 2015) menjadi Rp1.768 triliun (RAPBN-P 2015).
Pemerintah menggeser atau merealokasi sebagian anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) ke anggaran Bagian Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga (BA K/L). Itu artinya pemerintah sudah siap untuk mengencangkan ikat pinggang, mengurangi anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan kesejahteraan rakyat dan pemerataan, seperti belanja pegawai.
Merujuk pada realokasi anggaran tersebut, meski postur RAPBN-P 2015 mengalami penurunan, pemerintah masih mampu menambah anggaran pada berbagai kementerian dan lembaga.
Beberapa kementerian yang mendapat tambahan dari APBN 2015 ke dalam RAPBN-P 2015 tersebut Kementerian Pertanian (Rp15,8 triliun menjadi Rp32,7 triliun); Kementerian Perindustrian (Rp2,7 triliun menjadi Rp4,5 triliun); Kementerian ESDM (Rp10,02 triliun menjadi Rp15,05 triliun); Kementerian Perhubungan (Rp44,9 triliun menjadi Rp64,95 triliun); Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp46, 8 triliun menjadi Rp53,7 triliun); Kementerian Kesehatan (Rp47,75 triliun menjadi Rp51,27 triliun); Kementerian Sosial (Rp8,07 triliun menjadi Rp28,9 triliun); Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rp6,7 triliun menjadi Rp10,59 triliun); dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Rp84,9 triliun menjadi Rp119,3 triliun).
Kementerian-kementerian tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Pemberian tambahan anggaran dipandang mampu mendorong pencapaian pembangunan, kesejahteraan rakyat dan pemerataan dengan lebih baik.
Meski harus juga disadari bahwa penambahan tersebut memaksa sebagian besar masyarakat ikut mengencangkan ikat pinggang. Sebab, selain dari realokasi BA BUN, sebagian besar sumber penambahan anggaran kementerian berasal dari pengurangan subsidi BBM, LPG, TTL, dan peningkatan target penerimaan pajak.
Agenda Percepatan dan Pemerataan
Merujuk pada anggaran belanja yang termaktub dalam RAPBN-P 2015, tampaknya pemerintahan Jokowi bermaksud memacu pencapaian pembangunan, kesejahteraan dan pemerataan.
Selain penambahan belanja kementerian, pemerintah juga menambah anggaran belanja pada komponen transfer daerah. Pada mataanggarandana perimbangan yang sebelumnya (APBN 2015) sebesar Rp516,4 triliun meningkat menjadi Rp521,2 triliun dalam RAPBN-P 2015. Dana perimbangan mengalami penambahan pada komponen dana bagi hasil pajak dan dana alokasi khusus.
Dana bagi hasil pajak dalam APBN 2015 sebesar Rp50,5 triliun bertambah menjadi Rp54,1 triliun pada RAPBN-P 2015. Adapun dana alokasi khusus bertambah dari Rp35,8 triliun pada APBN 2015 menjadi Rp55,8 triliun pada RAPBN-P 2015. Penambahan anggaran pada dua komponen dana perimbangan itu akan memberikan tambahan kemampuan belanja daerah untuk mengembangkan diri. Pada gilirannya, peningkatan kapasitas pembangunan serta kesejahteraan di daerah akan mendukung terciptanya pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pembangunan tidak hanya menumpuk di pusat, melainkan terdistribusi ke daerah. Dukungan ini ditambah dengan postur RAPBNP 2015 yang juga memberi tambahan dana bagi otonomi khusus pada infrastruktur di Provinsi Papua Barat yang sebelumnya sebesar 500 miliar pada APBN 2015 bertambah menjadi 1 triliun.
Poin penting dari postur RAPBN-P 2015 ini juga terkait dengan lahirnya mata anggaran belanja transfer baru berupa dana desa. Kelahiran ini tidak lepas dari amanat UU Nomor 6/ 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 ayat (1) butir b yang menyatakan bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kelahiran dana desa merupakan perubahan besar dalam paradigma pengelolaan negara dan pemerintahan.
Desa telah diakui sebagai daerah otonom yang diberi kewenangan penuh untuk mengelola sumber dayanya. Selain itu, desa juga dijadikan sebagai garda terdepan dalam mencapai kesejahteraan, kemakmuran yang berkeadilan, dan berkesinambungan. Amanat UU Desa ini menuai respons positif dalam RAPBN-P 2015, melalui penambahandanadesamenjadiRp20,7 triliun dari sebelumnya yang hanya berjumlah Rp9,06 triliun dalam APBN 2015.
Mengawal Kebijakan
Sekilas, konseptualisasi ”Trisakti” dan ”Nawacita” dalam postur RAPBN-P 2015 nampak mewarnai berbagai program dan kegiatan yang dirancang oleh pemerintahan Jokowi. Kita tentu berharap postur RAPBN-P ini benar-benar mengontekstualkan karakter nasionalisme (kepentingan dalam negeri) dan kerakyatan, sebagaimana yang menjadi ciri figur Jokowi itu sendiri.
Meski demikian, berbagai program dan kebijakan yang termaktub dalam RAPBN-P 2015 sebaiknya memiliki sinergi dan konektivitas antara satu program dengan program lain sehingga revisi kebijakan program dalam RAPBN-P 2015 terkait APBN dan RAPBN-P sebelumnya tidak justru membuat program-program tertentu menjadi mati dan berdampak buruk bagi yang lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, sebagai bahan pembahasan, sebelum ditetapkan sebagai undang-undang APBN-P 2015. Pertama, perlunya peningkatan kemampuan penyerapan anggaran, sehingga kelambanan yang terjadi selama ini yang biasanya hingga semester ketiga tahun berjalan (sekitar 30%) tidak lagi terulang.
Pemerintah perlu menggenjot pengeluaran sejak awal semester 1. Apalagi dalam RAPBN-P 2015 terdapat alokasi anggaran modal paling besar dibanding anggaran negara tahun-tahun sebelumnya. Kedua, penambahan anggaran harus dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas dan transparansi yang lebih baik, terutama dalam pengelolaan dana desa. Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk menyusun sistem dan prosedur akuntabilitas dan transparansi.
Ketiga, perlunya peningkatan upaya penegakan hukum, seiring dengan tanggung jawab anggaran yang lebih besar yang dikelola oleh kementerian, daerah dan desa. Keempat, dalam rangka mewujudkan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum, maka e -procurement harus dijalankan tanpa manipulasi dan oligopoli tender yang dimenangkan oleh kelompok tertentu.
Kelima , Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pedesaan yang dihentikan sejak 31/12/2014, sebaiknya dijadikan salah satu referensi dalam pengelolaan dana desa. PNPM telah terbukti mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat desa dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program.
Anggota Komisi XI DPR RI
Tahun 2015 menjadi tahun penting dan strategis sekaligus awal pembuktian bagi kinerja Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla dalam mengemban amanat sebagai presiden dan wakil presiden.
Kehadiran Jokowi di pucuk kekuasaan, paling tidak, memberi harapan baru bagi cita-cita kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik. Selain itu, figur Jokowi, dengan kesederhanaan dan kebersahajaannya mengidentifikasi sistem kerja pemerintahan yang berada di bawah kepemimpinannya, tampak lebih merakyat.
Tentu saja, identifikasi ini tidak sekedar kesan semata, pemerintahan Jokowi-JK bahkan mengadaptasi konsep ”Trisakti” dan ”Nawacita” sebagai visi besar dalam memandang dan men-drive arah kebijakan. Visi dan konsep itu jugalah yang mendasari RAPBN-Perubahan 2015. Konsisten dengan konsep Trisakti dan Nawacita, RAPBNP 2015 menetapkan lima program prioritas.
Kelima prioritas tersebut pembangunan sektor unggulan, kegiatan pemenuhan kewajiban dasar, program dan kegiatan untuk mengurangi kesenjangan, pembangunan infrastruktur konektivitas, dan program dan kegiatan unggulan lain. Konsistensi tersebut patut diapresiasi di tengah pelambatan laju perekonomian dunia dan penurunan postur APBN dari Rp1.793 triliun (APBN 2015) menjadi Rp1.768 triliun (RAPBN-P 2015).
Pemerintah menggeser atau merealokasi sebagian anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) ke anggaran Bagian Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga (BA K/L). Itu artinya pemerintah sudah siap untuk mengencangkan ikat pinggang, mengurangi anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan kesejahteraan rakyat dan pemerataan, seperti belanja pegawai.
Merujuk pada realokasi anggaran tersebut, meski postur RAPBN-P 2015 mengalami penurunan, pemerintah masih mampu menambah anggaran pada berbagai kementerian dan lembaga.
Beberapa kementerian yang mendapat tambahan dari APBN 2015 ke dalam RAPBN-P 2015 tersebut Kementerian Pertanian (Rp15,8 triliun menjadi Rp32,7 triliun); Kementerian Perindustrian (Rp2,7 triliun menjadi Rp4,5 triliun); Kementerian ESDM (Rp10,02 triliun menjadi Rp15,05 triliun); Kementerian Perhubungan (Rp44,9 triliun menjadi Rp64,95 triliun); Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp46, 8 triliun menjadi Rp53,7 triliun); Kementerian Kesehatan (Rp47,75 triliun menjadi Rp51,27 triliun); Kementerian Sosial (Rp8,07 triliun menjadi Rp28,9 triliun); Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rp6,7 triliun menjadi Rp10,59 triliun); dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Rp84,9 triliun menjadi Rp119,3 triliun).
Kementerian-kementerian tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Pemberian tambahan anggaran dipandang mampu mendorong pencapaian pembangunan, kesejahteraan rakyat dan pemerataan dengan lebih baik.
Meski harus juga disadari bahwa penambahan tersebut memaksa sebagian besar masyarakat ikut mengencangkan ikat pinggang. Sebab, selain dari realokasi BA BUN, sebagian besar sumber penambahan anggaran kementerian berasal dari pengurangan subsidi BBM, LPG, TTL, dan peningkatan target penerimaan pajak.
Agenda Percepatan dan Pemerataan
Merujuk pada anggaran belanja yang termaktub dalam RAPBN-P 2015, tampaknya pemerintahan Jokowi bermaksud memacu pencapaian pembangunan, kesejahteraan dan pemerataan.
Selain penambahan belanja kementerian, pemerintah juga menambah anggaran belanja pada komponen transfer daerah. Pada mataanggarandana perimbangan yang sebelumnya (APBN 2015) sebesar Rp516,4 triliun meningkat menjadi Rp521,2 triliun dalam RAPBN-P 2015. Dana perimbangan mengalami penambahan pada komponen dana bagi hasil pajak dan dana alokasi khusus.
Dana bagi hasil pajak dalam APBN 2015 sebesar Rp50,5 triliun bertambah menjadi Rp54,1 triliun pada RAPBN-P 2015. Adapun dana alokasi khusus bertambah dari Rp35,8 triliun pada APBN 2015 menjadi Rp55,8 triliun pada RAPBN-P 2015. Penambahan anggaran pada dua komponen dana perimbangan itu akan memberikan tambahan kemampuan belanja daerah untuk mengembangkan diri. Pada gilirannya, peningkatan kapasitas pembangunan serta kesejahteraan di daerah akan mendukung terciptanya pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pembangunan tidak hanya menumpuk di pusat, melainkan terdistribusi ke daerah. Dukungan ini ditambah dengan postur RAPBNP 2015 yang juga memberi tambahan dana bagi otonomi khusus pada infrastruktur di Provinsi Papua Barat yang sebelumnya sebesar 500 miliar pada APBN 2015 bertambah menjadi 1 triliun.
Poin penting dari postur RAPBN-P 2015 ini juga terkait dengan lahirnya mata anggaran belanja transfer baru berupa dana desa. Kelahiran ini tidak lepas dari amanat UU Nomor 6/ 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 ayat (1) butir b yang menyatakan bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kelahiran dana desa merupakan perubahan besar dalam paradigma pengelolaan negara dan pemerintahan.
Desa telah diakui sebagai daerah otonom yang diberi kewenangan penuh untuk mengelola sumber dayanya. Selain itu, desa juga dijadikan sebagai garda terdepan dalam mencapai kesejahteraan, kemakmuran yang berkeadilan, dan berkesinambungan. Amanat UU Desa ini menuai respons positif dalam RAPBN-P 2015, melalui penambahandanadesamenjadiRp20,7 triliun dari sebelumnya yang hanya berjumlah Rp9,06 triliun dalam APBN 2015.
Mengawal Kebijakan
Sekilas, konseptualisasi ”Trisakti” dan ”Nawacita” dalam postur RAPBN-P 2015 nampak mewarnai berbagai program dan kegiatan yang dirancang oleh pemerintahan Jokowi. Kita tentu berharap postur RAPBN-P ini benar-benar mengontekstualkan karakter nasionalisme (kepentingan dalam negeri) dan kerakyatan, sebagaimana yang menjadi ciri figur Jokowi itu sendiri.
Meski demikian, berbagai program dan kebijakan yang termaktub dalam RAPBN-P 2015 sebaiknya memiliki sinergi dan konektivitas antara satu program dengan program lain sehingga revisi kebijakan program dalam RAPBN-P 2015 terkait APBN dan RAPBN-P sebelumnya tidak justru membuat program-program tertentu menjadi mati dan berdampak buruk bagi yang lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, sebagai bahan pembahasan, sebelum ditetapkan sebagai undang-undang APBN-P 2015. Pertama, perlunya peningkatan kemampuan penyerapan anggaran, sehingga kelambanan yang terjadi selama ini yang biasanya hingga semester ketiga tahun berjalan (sekitar 30%) tidak lagi terulang.
Pemerintah perlu menggenjot pengeluaran sejak awal semester 1. Apalagi dalam RAPBN-P 2015 terdapat alokasi anggaran modal paling besar dibanding anggaran negara tahun-tahun sebelumnya. Kedua, penambahan anggaran harus dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas dan transparansi yang lebih baik, terutama dalam pengelolaan dana desa. Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk menyusun sistem dan prosedur akuntabilitas dan transparansi.
Ketiga, perlunya peningkatan upaya penegakan hukum, seiring dengan tanggung jawab anggaran yang lebih besar yang dikelola oleh kementerian, daerah dan desa. Keempat, dalam rangka mewujudkan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum, maka e -procurement harus dijalankan tanpa manipulasi dan oligopoli tender yang dimenangkan oleh kelompok tertentu.
Kelima , Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pedesaan yang dihentikan sejak 31/12/2014, sebaiknya dijadikan salah satu referensi dalam pengelolaan dana desa. PNPM telah terbukti mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat desa dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program.
(ars)