Manusia Modern IV (Terakhir) : Hak dan Kewajiban

Minggu, 18 Januari 2015 - 09:23 WIB
Manusia Modern IV (Terakhir) : Hak dan Kewajiban
Manusia Modern IV (Terakhir) : Hak dan Kewajiban
A A A
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang AirAsia menjelang Tahun Baru 2015 yang lalu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini segera menyuruh stafnya mencari nama-nama penumpang dari Surabaya dan rumah yang seluruh penghuninya berada dalam pesawat yang mengalami kecelakaan itu.

Ditemukan lima rumah yang memang ditinggalkan dalam keadaan kosong. Tindakan selanjutnya, Wali Kota datang sendiri ke rumahrumah yang ditinggalkan kosong tersebut dan melapor ke ketua RT masing-masing. Dengan sepengetahuan RT, Wali Kota menyuruh stafnya menggembok dobel rumahrumah itu dan menyuruh Satpol PP menjaga rumah-rumah itu 24 jam.

Wali Kota tidak mau kalau di tengah musibah ada orang-orang yang memancing di air keruh, mengaku-aku kerabat korban, dan mencoba mengambil alih rumah tanpa hak, atau sekadar mau merampok, dsb. Masalahnya, mengapa Wali Kota Risma harus melakukan itu, padahal kalau dia tidak melakukannya pun tidak apa-apa.

Tidak ada undang-undang atau peraturan daerah yang mewajibkannya untuk berbuat seperti itu, sementara dia sudah muncul di Bandara Internasional Juanda untuk langsung memberi semangat kepada para keluarga penumpang yang sedang sangat stres dan depresi, dan yang penting sudah masuk televisi juga.

Jadi citranya tetap baik, walaupun tidak perlu dia repot-repot membeli gembok untuk rumah-rumah kosong itu. Di sisi lain, berkali-kali kita menyaksikan demo untuk menuntut sesuatu. Contohnya demo buruh. Massa buruh, ribuan jumlahnya, menutup jalan, menghambat pengguna jalan yang mau ke kantor atau ke sekolah, atau ambulans yang membawa pasien gawat darurat, dsb.

Sering kali mereka melakukan sweeping ke pabrikpabrik dan memaksa buruh-buruh yang sedang bekerja untuk ikut demo. Tuntutannya tidak jauh-jauh dari UMR. Pokoknya UMR naik, tidak peduli perusahaan untung atau buntung. Tidak terpikir bahwa dengan mereka demo mereka tidak bekerja, dan kalau mereka tidak bekerja pabrik tidak berproduksi,

kalau pabrik tidak berproduksi tidak menghasilkan uang, dan ujung-ujungnya tidak bisa membayar upah, sehingga mereka pilih hengkang ke luar negeri saja, dan akhirnya yang paling dirugikan adalah si buruh sendiri yang kehilangan pekerjaan. Ironisnya semua demo itu dilakukan dengan slogan demi kebaikan dan demi keadilan.

Salah satu ilmu yang mempelajari tentang “baik dan buruk” adalah filsafat etika. Etika (berasal dari kata Latin, ethos), yang artinya sama dengan moral (dari kata Yunanai, mores), mempelajari kapan sesuatu hal itu dianggap baik dan kapan dianggap tidak baik. Jadi Etika tidak bicara tentang benar lawan salah (itu dibicarakan dalam logika) atau bagus-indahcantik lawan jelek-buruk (yang merupakan tugas estetika).

Tetapi tidak selalu mudah untuk mengatakan mana yang baik atau tidak baik. Demo buruh mungkin saja dianggap baik, harus dilakukan karena buruh sudah sekian lama diabaikan nasibnya, harga-harga melambung terus, terutama sesudah kenaikan BBM (tetapi waktu BBM turun tidak ada yang demo). Adalah hak setiap warga negara untuk mendapat upah yang layak sesuai dengan standar hidup masing-masing daerah. Karena itu mereka demo.

Menurut teori hedonisme dari filsuf Epikuros (341 - 270 SM), demo buruh itu etis karena membela kepentingan buruh yang berdemo itu sendiri. Teori eudonisme yang dipelopori oleh filsuf kondang sampai kiamat, Aristoteles (384 - 322 SM) juga akan setuju dengan demo buruh, karena setiap orang selalu mengejar tujuan terakhir, yaitu kebahagiaan, yang disebutnya dengan eudomania.

Tetapi aliran lain dari filsafat etika, yaitu utilitarianisme, yang dipelopori oleh filsuf Jeremy Bentham (1748-1832) mempertanyakan bagaimana mungkin perilaku yang hanya menyenangkan diri sendiri tetapi mengorbankan orang lain bisa disebut etis atau bermoral. Perilaku etis atau bermoral harus bermanfaat bagi sebanyakbanyak atau bahkan kalau bisa untuk semua orang.

Nah, di sinilah terjadinya selisih pendapat tentang etika, apakah yang baik itu sebenarnya? Sampai di mana batas-batas kebaikan itu? Untuk diri sendiri, keluarga, golongan, agama? Demi siapakah kebaikan itu? Di Paris barubaru ini empat orang teroris membunuh 12 orang staf redaksi majalah Charlie Hebdo gara-gara memuat gambar Nabi Muhammad.

Buat orang lain, mungkin perbuatan mereka jauh dari etis (membunuhi orang tak berdosa, tak bersenjata, tak berdaya, mana mungkin etis?), tetapi para pelaku sendiri merasa dirinya sangat mulia karena membela agama dan nabi (sama juga dengan serdadu yang dalam perang membunuh lawan demi membela negara). Di tengah-tengah perdebatan itu, muncullah filsuf Jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804) yang menawarkan teori deontologi dalam etika.

Buat Kant, yang penting dalam etika adalah niat atau maksud dalam seseorang itu melakukan sesuatu. Sesuatu yang baik itu wajib dilakukan (deon berarti wajib atau harus), dalam keadaan apa pun, kapan pun oleh siapa pun (dalam istilah Kant, “kategori imperatif”). Jadi yang penting bukan dampaknya, melainkan niatnya (dalam ungkapan umat Islam: nawaitu, aku berniat...). Perbuatan etis itu universal, kata Kant. Contohnya adalah tindakan Wali Kota Risma di atas. Dalam situasi apa pun, ditinjau dari sudut mana pun, perbuatan Wali Kota yang didasari oleh niat baik itu ya baik. Titik.

Dalam teori tentang manusia modern Alex Inkeles menyebutkan salah ciri manusia modern (ciri ketujuh) adalah menghargai harkat hidup manusia lain. Konsekuensi dari ciri ini adalah manusia modern mendahulukan kewajibannya sendiri (artinya mendahulukan hak orang lain) ketimbang hak dirinya sendiri (artinya menomor duakan hak orang lain).

Dengan demikian, mudah-mudahan kita dapat menilai, mana yang bisa dijadikan contoh sebagai perilaku yang etis dan modern: perilaku buruh pendemo, teroris di Paris, atau Ibu Wali Kota Surabaya
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5490 seconds (0.1#10.140)