Silang Sengkarut Tata Kelola Desa
A
A
A
Caswiyono Rusydie CW MIP
Pemerhati Kebijakan dan Masalah Perdesaan, Ketua Yayasan Nusahada
Polemik perebutan kewenangan pengurusan desa telah berakhir. Jalan tengah yang diambil Presiden adalah membagi kewenangan atas desa ke dalam dua kementerian.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertugas mengurus ihwal yang berkaitan dengan pemerintahan desa. Sedangkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bertugas menangani ihwal yang berkaitan dengan pembangunan perdesaan, yang meliputi perencanaan pembangunan desa, pengawasan pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Secara politik kompromi itu mungkin merupakan ”jalan tengah” yang cukup elegan untuk mencapai win-win solution. Namun, penataan kewenangan dan pengelolaan urusan desa semestinya tidak cukup diambil dengan pertimbangan politik, melainkan harus dipertimbangkan sisi ideal dan teknokratisnya. Kentalnya aspek politik dalam mengatur tata kelola desa dapat menjebak desa semakin menjadi komoditas politik.
Pemerintahan Jokowi-JK yang dalam visi-misinya menempatkan desa sebagai pilar negara dan lokus penting dalam pembangunan nasional justru menghadapi ironi tata kelola desa. Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi sebenarnya telah mengatur pengurusan desa di dalam desain arsitektur pemerintahannya.
Dalam arsitektur baru pemerintahan itu, Presiden Jokowi membentuk Kementerian Desa yang digabung dengan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Arsitektur pemerintahan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Dalam keppres tersebut kewenangan urusan desa digeser dari Kemendagri ke Kemendesa PDTT.
Dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa Kemendesa PDTT bertugas melaksanakan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa. Pergeseran itu juga dalam rangka menyambut dan melaksanakan regulasi baru mengenai desa yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan desa menjadi kewenangan menteri khusus yang menangani desa (Pasal 1 angka 16).
Kewenangan mengurus desa, menurut undang-undang tersebut, meliputi pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Namun, desain ideal pemerintahan tersebut ternyata tak sejalan dengan ”aspek” politiknya. Meski menurut arsitektur pemerintahan baru itu desa diurus oleh Kemendesa PDTT, Kemendagri ”diberi” wewenang untuk tetap mengurus pemerintahan desa.
Silang Sengkarut
Dengan pembagian kewenangan tersebut, pengurus desa dilakukan oleh dua kementerian yang berbeda dengan memisahkan aspek pemerintahan dan pembangunan. Aspek administrasi pemerintahan menjadi kewenangan Kemendagri dan aspek pembangunan menjadi kewenangan Kemendesa PDTT.
Dalam perspektif politik, pembagian ini menjadi salah satu solusi polemik yang berkepanjangan akibat persebutan wewenang. Namun, di sisi lain, pemisahan ini menimbulkan kejanggalan dan menjadikan silang sengkarut tata kelola desa. Silang sengkarut itu setidaknya dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama, dari sisi paradigma, pengelolaan urusan desa dengan mempertahankan urusan pemerintahan desa dalam kewenangan Kemendagri berarti telah mengalahi paradigma baru desa sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Desa (Pasal 1). Undang-undang itu telah menggeser paradigma desa yang sebelumnya dipandang sebagai ”unit pemerintahan terbawah” menjadi ”kesatuan masyarakat hukum”.
Dengan pergeseran ini, menempatkan desa -termasuk pemerintahan desa- di bawah mendagri sama saja dengan menempatkan desa sebagai unit pemerintahan di bawah pemerintahan daerah. Kedua, pengurusan desa menjadi semakin tidak efektif dan efisien.
Pembentukan Kementerian Desa yang bertugas mengurus desa sebagai amanat undang-undang menjadi tidak bermakna signifikan karena toh akhirnya urusan desa tetap terdistribusi ke kementerian lain. Kementerian Desa tidak diberi wewenang penuh untuk mengurus desa dalam semua aspeknya.
Di samping tidak efektif dan efisien, pemisahan urusan desa ini juga dipastikan akan membuat tata kelola desa yang tumpang tindih dan menyulitkan desa. Ini karena pada kenyataannya, urusan administrasi pemerintahan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, keputusan membagi tata kelola desa ke dalam dua kementerian juga tidak konsisten dengan nomenklatur kementerian yang telah ditetapkan melalui Keppres Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019 dan Perpres Nomor 165 Tahun 2014.
Nomenklatur ”Kementerian Desa” menunjukkan bahwa kementerian tersebut bertugas dan memiliki kewenangan untuk mengelola urusan desa dalam semua aspeknya, mulai dari pemerintahan, pembangunan, hingga pemberdayaan masyarakatnya. Ini berbeda jika kementerian tersebut diberi nama ”Kementerian Pembangunan Desa”.
Dengan berbagai silang sengkarut itu, sulit untuk tak mengatakan bahwa pemisahan ini lebih bermakna politis ketimbang perbaikan tata kelola desa yang ideal. Pertimbangan politik itu dipilih agar partai penguasa tak kehilangan ”ruang politik” desa.
Dalam konteks ini, tentu masalahnya bukan sekadar hak prerogatif Presiden dan kewenangan Presiden untuk mengatur tata kerja kabinetnya. Sebagai kabinet politik, begitu banyak intervensi yang tak terbendung karena kepentingan politik untuk mendapatkan ”ruang” penguasaan desa sangat kental.
Di sinilah ketegasan dan konsistensi Presiden sedang diuji untuk memulai merealisasikan visi besarnya tentang desa. Dengan kentalnya perhitungan politik, visi besar pembangunan perdesaan yang menjadi agenda prioritas pemerintahan Jokowi bisa tersandera oleh kepentingan politik. Situasi ini akan dapat melahirkan ironi tata kelola desa.
Desa dan Tata Kelola Baru
Agenda prioritas pembangunan perdesaan membutuhkan tata kelola yang memadai dari level pusat hingga level desa. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan Presiden untuk memperbarui tata kelola pembangunan desa. Pertama, meninjau kembali kebijakan pemisahan kewenangan pengurusan desa ke dalam dua kementerian.
Dalam konteks ini Presiden seharusnya konsisten dengan pembentukan Kemendesa PDTT yang diproyeksikan menjadi ”leading sector” pengelolaan urusan desa dan pembangunan perdesaan. Ini diperlukan untuk menghindari inefisiensi, inefektivitas, dan overlapping dalam tata kelola desa.
Urusan administrasi pemerintahan desa dengan pelaksanaan pembangunannya adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dipisah. Kedua, memperkuat dan melakukan reorientasi terhadap pemerintahan daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk memastikan pelaksanaan Undang- Undang Desa secara konsisten dan terukur.
Dalam konteks ini pemerintah daerah bukan lagi berperan sebagai ”atasan” pemerintahan desa yang dapat semudahnya mengintervensi pengelolaan desa yang mandiri dan berdaulat, melainkan menjadi fasilitator, katalisator, dan akselerator bagi pelaksanaan tata kelola desa dan pembangunan perdesaan.
Untuk itu, pemda harus memiliki visi dan persepsi yang sama dengan pemerintah pusat tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU Desa. Ketiga, memperkuat tata kelola di level desa. Terakhir ini merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan perdesaan. Sebagai subjek pembangunan, desa tidak lagi bisa bergantung terhadap pemerintah pusat maupun daerah, melainkan harus bisa mengurus dirinya sendiri secara mandiri dan berdaulat.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat melalui Kemendesa PDTT bertugas melakukan penguatan tata kelola desa, mulai dari pengembangan sistem pemerintahan dan administrasi desa, peningkatan kapasitas aparatur desa, pendampingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa, penguatan partisipasi masyarakat, hingga pengawasan pelaksanaan pembangunan dan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Tiga hal di atas merupakan langkah kunci dan mendesak untuk memastikan pelaksanaan Undang-Undang Desa dan visi pemerintahan Jokowi-JK yang akan membangun Indonesia dari desa.
Tanpa pembaruan tata kelola yang konsisten dan akuntabel, pembangunan desa hanya akan menjadi dongeng sebelum tidur. Masyarakat tentu berharap pemerintahan Presiden Jokowi tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan dapat melakukan perubahan Indonesia mulai dari desa.
Pemerhati Kebijakan dan Masalah Perdesaan, Ketua Yayasan Nusahada
Polemik perebutan kewenangan pengurusan desa telah berakhir. Jalan tengah yang diambil Presiden adalah membagi kewenangan atas desa ke dalam dua kementerian.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertugas mengurus ihwal yang berkaitan dengan pemerintahan desa. Sedangkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bertugas menangani ihwal yang berkaitan dengan pembangunan perdesaan, yang meliputi perencanaan pembangunan desa, pengawasan pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Secara politik kompromi itu mungkin merupakan ”jalan tengah” yang cukup elegan untuk mencapai win-win solution. Namun, penataan kewenangan dan pengelolaan urusan desa semestinya tidak cukup diambil dengan pertimbangan politik, melainkan harus dipertimbangkan sisi ideal dan teknokratisnya. Kentalnya aspek politik dalam mengatur tata kelola desa dapat menjebak desa semakin menjadi komoditas politik.
Pemerintahan Jokowi-JK yang dalam visi-misinya menempatkan desa sebagai pilar negara dan lokus penting dalam pembangunan nasional justru menghadapi ironi tata kelola desa. Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi sebenarnya telah mengatur pengurusan desa di dalam desain arsitektur pemerintahannya.
Dalam arsitektur baru pemerintahan itu, Presiden Jokowi membentuk Kementerian Desa yang digabung dengan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Arsitektur pemerintahan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Dalam keppres tersebut kewenangan urusan desa digeser dari Kemendagri ke Kemendesa PDTT.
Dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa Kemendesa PDTT bertugas melaksanakan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa. Pergeseran itu juga dalam rangka menyambut dan melaksanakan regulasi baru mengenai desa yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan desa menjadi kewenangan menteri khusus yang menangani desa (Pasal 1 angka 16).
Kewenangan mengurus desa, menurut undang-undang tersebut, meliputi pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Namun, desain ideal pemerintahan tersebut ternyata tak sejalan dengan ”aspek” politiknya. Meski menurut arsitektur pemerintahan baru itu desa diurus oleh Kemendesa PDTT, Kemendagri ”diberi” wewenang untuk tetap mengurus pemerintahan desa.
Silang Sengkarut
Dengan pembagian kewenangan tersebut, pengurus desa dilakukan oleh dua kementerian yang berbeda dengan memisahkan aspek pemerintahan dan pembangunan. Aspek administrasi pemerintahan menjadi kewenangan Kemendagri dan aspek pembangunan menjadi kewenangan Kemendesa PDTT.
Dalam perspektif politik, pembagian ini menjadi salah satu solusi polemik yang berkepanjangan akibat persebutan wewenang. Namun, di sisi lain, pemisahan ini menimbulkan kejanggalan dan menjadikan silang sengkarut tata kelola desa. Silang sengkarut itu setidaknya dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama, dari sisi paradigma, pengelolaan urusan desa dengan mempertahankan urusan pemerintahan desa dalam kewenangan Kemendagri berarti telah mengalahi paradigma baru desa sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Desa (Pasal 1). Undang-undang itu telah menggeser paradigma desa yang sebelumnya dipandang sebagai ”unit pemerintahan terbawah” menjadi ”kesatuan masyarakat hukum”.
Dengan pergeseran ini, menempatkan desa -termasuk pemerintahan desa- di bawah mendagri sama saja dengan menempatkan desa sebagai unit pemerintahan di bawah pemerintahan daerah. Kedua, pengurusan desa menjadi semakin tidak efektif dan efisien.
Pembentukan Kementerian Desa yang bertugas mengurus desa sebagai amanat undang-undang menjadi tidak bermakna signifikan karena toh akhirnya urusan desa tetap terdistribusi ke kementerian lain. Kementerian Desa tidak diberi wewenang penuh untuk mengurus desa dalam semua aspeknya.
Di samping tidak efektif dan efisien, pemisahan urusan desa ini juga dipastikan akan membuat tata kelola desa yang tumpang tindih dan menyulitkan desa. Ini karena pada kenyataannya, urusan administrasi pemerintahan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, keputusan membagi tata kelola desa ke dalam dua kementerian juga tidak konsisten dengan nomenklatur kementerian yang telah ditetapkan melalui Keppres Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019 dan Perpres Nomor 165 Tahun 2014.
Nomenklatur ”Kementerian Desa” menunjukkan bahwa kementerian tersebut bertugas dan memiliki kewenangan untuk mengelola urusan desa dalam semua aspeknya, mulai dari pemerintahan, pembangunan, hingga pemberdayaan masyarakatnya. Ini berbeda jika kementerian tersebut diberi nama ”Kementerian Pembangunan Desa”.
Dengan berbagai silang sengkarut itu, sulit untuk tak mengatakan bahwa pemisahan ini lebih bermakna politis ketimbang perbaikan tata kelola desa yang ideal. Pertimbangan politik itu dipilih agar partai penguasa tak kehilangan ”ruang politik” desa.
Dalam konteks ini, tentu masalahnya bukan sekadar hak prerogatif Presiden dan kewenangan Presiden untuk mengatur tata kerja kabinetnya. Sebagai kabinet politik, begitu banyak intervensi yang tak terbendung karena kepentingan politik untuk mendapatkan ”ruang” penguasaan desa sangat kental.
Di sinilah ketegasan dan konsistensi Presiden sedang diuji untuk memulai merealisasikan visi besarnya tentang desa. Dengan kentalnya perhitungan politik, visi besar pembangunan perdesaan yang menjadi agenda prioritas pemerintahan Jokowi bisa tersandera oleh kepentingan politik. Situasi ini akan dapat melahirkan ironi tata kelola desa.
Desa dan Tata Kelola Baru
Agenda prioritas pembangunan perdesaan membutuhkan tata kelola yang memadai dari level pusat hingga level desa. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan Presiden untuk memperbarui tata kelola pembangunan desa. Pertama, meninjau kembali kebijakan pemisahan kewenangan pengurusan desa ke dalam dua kementerian.
Dalam konteks ini Presiden seharusnya konsisten dengan pembentukan Kemendesa PDTT yang diproyeksikan menjadi ”leading sector” pengelolaan urusan desa dan pembangunan perdesaan. Ini diperlukan untuk menghindari inefisiensi, inefektivitas, dan overlapping dalam tata kelola desa.
Urusan administrasi pemerintahan desa dengan pelaksanaan pembangunannya adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dipisah. Kedua, memperkuat dan melakukan reorientasi terhadap pemerintahan daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk memastikan pelaksanaan Undang- Undang Desa secara konsisten dan terukur.
Dalam konteks ini pemerintah daerah bukan lagi berperan sebagai ”atasan” pemerintahan desa yang dapat semudahnya mengintervensi pengelolaan desa yang mandiri dan berdaulat, melainkan menjadi fasilitator, katalisator, dan akselerator bagi pelaksanaan tata kelola desa dan pembangunan perdesaan.
Untuk itu, pemda harus memiliki visi dan persepsi yang sama dengan pemerintah pusat tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU Desa. Ketiga, memperkuat tata kelola di level desa. Terakhir ini merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan perdesaan. Sebagai subjek pembangunan, desa tidak lagi bisa bergantung terhadap pemerintah pusat maupun daerah, melainkan harus bisa mengurus dirinya sendiri secara mandiri dan berdaulat.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat melalui Kemendesa PDTT bertugas melakukan penguatan tata kelola desa, mulai dari pengembangan sistem pemerintahan dan administrasi desa, peningkatan kapasitas aparatur desa, pendampingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa, penguatan partisipasi masyarakat, hingga pengawasan pelaksanaan pembangunan dan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Tiga hal di atas merupakan langkah kunci dan mendesak untuk memastikan pelaksanaan Undang-Undang Desa dan visi pemerintahan Jokowi-JK yang akan membangun Indonesia dari desa.
Tanpa pembaruan tata kelola yang konsisten dan akuntabel, pembangunan desa hanya akan menjadi dongeng sebelum tidur. Masyarakat tentu berharap pemerintahan Presiden Jokowi tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan dapat melakukan perubahan Indonesia mulai dari desa.
(ars)