Menusuk Jantung Kemelut Gula Rafinasi
A
A
A
KHUDORI
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula”
Kementerian Perdagangan mengubah pola distribusi gula kristal rafinasi (GKR). Lewat Surat Mendag No 1300/M-DAG/50/12/ 2014, 18 Desember 2014, produsen GKR harus menyalurkan sendiri ke industri makanan minuman dan farmasi, tidak boleh lagi melalui distributor/ subdistributor.
Untuk industri kecil dan menengah makananminuman (IKM) disalurkan lewat distributor terdaftar dan koperasi. Dibandingkan aturan lama, No 111/M-DAG/2/2009, perbedaan ada pada tidak adanya jalur produsen GKR ke IKM, tidak ada lagi keterlibatan subdistributor, dan masuknya koperasi sebagai pelaku baru.
Apakah perubahan ini bisa menghentikan, atau paling tidak menekan, perembesan GKR ke pasar gula kristal putih (GKP)? Hampir bisa dipastikan mekanisme baru ini tidak akan mengubah perembesan GKR ke pasar GKP yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Distribusi adalah soal teknis. Perubahan ini sama sekali tak menyentuh jantung masalah.
Titik krusial pabrik gula rafinasi terletak pada izinnya yang tidak terkontrol. Izin pabrik gula rafinasi di BKPM, sedangkan izin industri makanan-minuman pengguna GKR ada di Kementerian Perindustrian. Akibat obral izin kapasitas pabrik gula rafinasi melampaui kebutuhan industri. Sejak diinisiasi tahun 2000, kini ada 11 pabrik gula rafinasi berkapasitas sekitar 5 juta ton.
Seiring itu, impor gula mentah (raw sugar), bahan baku pabrik gula rafinasi, terus melonjak: dari kurang 1 juta ton pada 2006 jadi lebih 2 juta ton sejak 2009. Sejak 2007 ada indikasi kuat izin impor GKR untuk industri dan gula mentah untuk pabrik gula rafinasi berlebihan (Sawit, 2010). Sebenarnya ada survei kebutuhan GKR industri. Sucofindo ditunjuk Kemendag, dan Surveyor Indonesia oleh Kemenperin.
Masalahnya, hasil kedua survei berbeda mencolok: 0,5 juta ton/tahun. Ada indikasi, izin impor memakai hasil survei angka besar. Sesuai hukum besi supplydemand, ketika kebutuhan GKP tidak sepenuhnya bisa dipenuhi produksi domestik, kelebihan produksi GKR akan mengalir mencari pasar.
Proteksi harga oleh pemerintah lewat harga patokan petani (HPP) membuat insentif ekonomi merembeskan GKR ke pasar GKP amat menggiurkan. Pengawasan yang lemah dan penegakan hukum bagi pelanggar distribusi yang tidak memberi efek jera membuat sekat pasar GKR untuk industri (makanan, minuman, dan farmasi) dan GKP untuk pasar konsumsi langsung tidak berarti apa-apa.
Sekat itu bukan tembok yang kedap rembesan. Logis dan seolah wajar, kelebihan produksi GKR akhirnya menginvasi pasar ritel. Diperkirakan, dalam lima tahun (2006- 2011) rata-rata tahunan GKR yang merembes berkisar 185.104 ton hingga 678.818 ton atau 8,03% hingga 29,44% dari pasokan GKR.
Ini bukan jumlah yang kecil. Impor gula mentah dan GKR yang hanya oleh investor besar kian menambah sifat asimetri pasar. Ini semua menambah ketidakpastian pasar. Ini tak bisa dibiarkan. Ada alasan kuat pasar GKR dan GKP dipisahkan, seperti diatur Kepmenperindag No 527/2004 tentang Ketentuan Niaga Impor Gula.
Ini dilakukan karena medan persaingan tak imbang. Investasi industri GKP tiga kali lipat dari industri GKR. Dengan bahan baku gula mentah impor murah, pabrik GKR bisa beroperasi sepanjang tahun. Pabrik gula rafinasi hanya mempekerjakan 3.515 orang. Dengan risiko minimal, pabrik gula rafinasi tergolong investasi yang cepat balik modal: hanya 2-3 tahun (Colosewoko, 2010).
Sebaliknya, investasi pabrik GKP berisiko karena musti membuka kebun, dan menyiapkan petani. Operasional giling hanya 160- 180 hari karena bahan baku tergantung iklim dan cuaca. Dengan tingkat bunga 14%, investasi pabrik GKP baru balik modal 12-15 tahun.
Namun, industri GKP melibatkan 800 ribu rumah tangga di on-farm. Bila sektor off-farmdihitung, serapan tenaga kerja mencapai 1,3 juta. Jika pasar GKR bisa masuk pasar GKP, bukan hanya tidak adil, tetapi industri GKP nasional bakal habis. Selama ini pabrik GKP tergantung pasokan tebu petani.
Petani memasok sekitar 90% kebutuhan tebu. Saat ini ada 62 GKP dan 80% ada di Pulau Jawa. Invasi GKR ke pasar ritel akan membuat harga GKP yang dihasilkan petani anjlok. Dampak penurunan harga GKP sebagian besar ditanggung petani. Menurut perhitungan, komposisi biaya dalam industri gula 60- 70% ada di kebun. Artinya share petani 60-70%.
Penghasilan petani selama ini diperoleh dari bagi hasil gula dari tebu yang digiling: 66% petani dan 34% pabrik gula. Kalau pabrik gula tak efisien dan merugi, 60-70% inefisiensi dan kerugian dipikul petani tebu. Demikian pula jika harga jual GKP anjlok, petani pula yang paling terpukul.
Anjloknya harga GKP membuat insentif ekonomi petani untuk menanam tebu menurun. Lahan tebu petani akan dialihkan untuk tanaman lain. Ini berdampak pada dua hal. Pertama, pabrik gula akan tutup giling karena tidak mendapatkan pasokan bahan baku.
Padahal, industri gula merupakan aset ekonomi sekaligus aset sosial maha penting. Industri gula menjadi mata rantai ekonomi yang penting negeri ini, yang tidak saja paling komplet tetapi juga memiliki sejarah lebih empat abad. Jika gelombang penutupan pabrik gula terjadi, aset ekonomi-sosial itu akan sia-sia.
Kedua, jika banyak pabrik gula tutup, dipastikan impor gula meledak, devisa melayang, dan cita-cita swasembada gula bakal menguap. Indonesia punya potensi besar berswasembada gula, seperti era 1930-an. Iklim, cuaca, plasma nutfah, dan lahan cocok untuk tebu.
Namun, potensi dan aset itu akan sirna jika kebijakan ad hoc. Titik kritis industri gula ada pada banyaknya pabrik gula absolete, dan tidak efisien. Dari 62 pabrik gula, 68% berumur di atas 80 tahun. Akibat tua, mesin bocor, dan tak maksimal. Secara teoritis kita mampu mencapai rendemen 14–15%, tapi karena pabrik gula sudah renta rendemen hanya 6–7%, jauh ketimbang rendemen era 1930-an: 11–13%.
Namun, pabrik gula tua dan tak efisien ini tetap hidup karena proteksi pemerintah. Proteksi itu membuat mereka tidak dipaksa harus melakukan efisiensi. Proteksi ini tentu tidak adil. Adakah jurus untuk menuntaskan masalah ini? Ada. Pertama- tama, karena medan persaingan saat ini tidak imbang tentu tidak adil mencampur pasar GKP-GKR.
Namun, pemisahan pasar GKP-GKR tak bisa dilestarikan terus-menerus. Secara alamiah, sulit mengawasi produk yang nyaris sama tetapi pasarnya berbeda. Karena itu, perlu masa transisi, lima tahun misalnya. Dalam masa transisi itu bisa dibuat dua kebijakan penting.
Pertama, agar medan persaingan seimbang pabrik gula rafinasi harus membangun kebun tebu sebagai sumber bahan baku. Kedua, revitalisasi pabrik GKP lewat konsolidasi agar terjadi efisiensi di segala lini: on-farm, off-farmdan pengolahan.
Jika dalam rentang lima tahun itu revitalisasi tak tuntas, pabrik gula yang tidak efisien harus ditutup. Dua kebijakan itu harus dikaitkan dengan pencapaian swasembada gula. Ini bisa jadi solusi kemelut GKR.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula”
Kementerian Perdagangan mengubah pola distribusi gula kristal rafinasi (GKR). Lewat Surat Mendag No 1300/M-DAG/50/12/ 2014, 18 Desember 2014, produsen GKR harus menyalurkan sendiri ke industri makanan minuman dan farmasi, tidak boleh lagi melalui distributor/ subdistributor.
Untuk industri kecil dan menengah makananminuman (IKM) disalurkan lewat distributor terdaftar dan koperasi. Dibandingkan aturan lama, No 111/M-DAG/2/2009, perbedaan ada pada tidak adanya jalur produsen GKR ke IKM, tidak ada lagi keterlibatan subdistributor, dan masuknya koperasi sebagai pelaku baru.
Apakah perubahan ini bisa menghentikan, atau paling tidak menekan, perembesan GKR ke pasar gula kristal putih (GKP)? Hampir bisa dipastikan mekanisme baru ini tidak akan mengubah perembesan GKR ke pasar GKP yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Distribusi adalah soal teknis. Perubahan ini sama sekali tak menyentuh jantung masalah.
Titik krusial pabrik gula rafinasi terletak pada izinnya yang tidak terkontrol. Izin pabrik gula rafinasi di BKPM, sedangkan izin industri makanan-minuman pengguna GKR ada di Kementerian Perindustrian. Akibat obral izin kapasitas pabrik gula rafinasi melampaui kebutuhan industri. Sejak diinisiasi tahun 2000, kini ada 11 pabrik gula rafinasi berkapasitas sekitar 5 juta ton.
Seiring itu, impor gula mentah (raw sugar), bahan baku pabrik gula rafinasi, terus melonjak: dari kurang 1 juta ton pada 2006 jadi lebih 2 juta ton sejak 2009. Sejak 2007 ada indikasi kuat izin impor GKR untuk industri dan gula mentah untuk pabrik gula rafinasi berlebihan (Sawit, 2010). Sebenarnya ada survei kebutuhan GKR industri. Sucofindo ditunjuk Kemendag, dan Surveyor Indonesia oleh Kemenperin.
Masalahnya, hasil kedua survei berbeda mencolok: 0,5 juta ton/tahun. Ada indikasi, izin impor memakai hasil survei angka besar. Sesuai hukum besi supplydemand, ketika kebutuhan GKP tidak sepenuhnya bisa dipenuhi produksi domestik, kelebihan produksi GKR akan mengalir mencari pasar.
Proteksi harga oleh pemerintah lewat harga patokan petani (HPP) membuat insentif ekonomi merembeskan GKR ke pasar GKP amat menggiurkan. Pengawasan yang lemah dan penegakan hukum bagi pelanggar distribusi yang tidak memberi efek jera membuat sekat pasar GKR untuk industri (makanan, minuman, dan farmasi) dan GKP untuk pasar konsumsi langsung tidak berarti apa-apa.
Sekat itu bukan tembok yang kedap rembesan. Logis dan seolah wajar, kelebihan produksi GKR akhirnya menginvasi pasar ritel. Diperkirakan, dalam lima tahun (2006- 2011) rata-rata tahunan GKR yang merembes berkisar 185.104 ton hingga 678.818 ton atau 8,03% hingga 29,44% dari pasokan GKR.
Ini bukan jumlah yang kecil. Impor gula mentah dan GKR yang hanya oleh investor besar kian menambah sifat asimetri pasar. Ini semua menambah ketidakpastian pasar. Ini tak bisa dibiarkan. Ada alasan kuat pasar GKR dan GKP dipisahkan, seperti diatur Kepmenperindag No 527/2004 tentang Ketentuan Niaga Impor Gula.
Ini dilakukan karena medan persaingan tak imbang. Investasi industri GKP tiga kali lipat dari industri GKR. Dengan bahan baku gula mentah impor murah, pabrik GKR bisa beroperasi sepanjang tahun. Pabrik gula rafinasi hanya mempekerjakan 3.515 orang. Dengan risiko minimal, pabrik gula rafinasi tergolong investasi yang cepat balik modal: hanya 2-3 tahun (Colosewoko, 2010).
Sebaliknya, investasi pabrik GKP berisiko karena musti membuka kebun, dan menyiapkan petani. Operasional giling hanya 160- 180 hari karena bahan baku tergantung iklim dan cuaca. Dengan tingkat bunga 14%, investasi pabrik GKP baru balik modal 12-15 tahun.
Namun, industri GKP melibatkan 800 ribu rumah tangga di on-farm. Bila sektor off-farmdihitung, serapan tenaga kerja mencapai 1,3 juta. Jika pasar GKR bisa masuk pasar GKP, bukan hanya tidak adil, tetapi industri GKP nasional bakal habis. Selama ini pabrik GKP tergantung pasokan tebu petani.
Petani memasok sekitar 90% kebutuhan tebu. Saat ini ada 62 GKP dan 80% ada di Pulau Jawa. Invasi GKR ke pasar ritel akan membuat harga GKP yang dihasilkan petani anjlok. Dampak penurunan harga GKP sebagian besar ditanggung petani. Menurut perhitungan, komposisi biaya dalam industri gula 60- 70% ada di kebun. Artinya share petani 60-70%.
Penghasilan petani selama ini diperoleh dari bagi hasil gula dari tebu yang digiling: 66% petani dan 34% pabrik gula. Kalau pabrik gula tak efisien dan merugi, 60-70% inefisiensi dan kerugian dipikul petani tebu. Demikian pula jika harga jual GKP anjlok, petani pula yang paling terpukul.
Anjloknya harga GKP membuat insentif ekonomi petani untuk menanam tebu menurun. Lahan tebu petani akan dialihkan untuk tanaman lain. Ini berdampak pada dua hal. Pertama, pabrik gula akan tutup giling karena tidak mendapatkan pasokan bahan baku.
Padahal, industri gula merupakan aset ekonomi sekaligus aset sosial maha penting. Industri gula menjadi mata rantai ekonomi yang penting negeri ini, yang tidak saja paling komplet tetapi juga memiliki sejarah lebih empat abad. Jika gelombang penutupan pabrik gula terjadi, aset ekonomi-sosial itu akan sia-sia.
Kedua, jika banyak pabrik gula tutup, dipastikan impor gula meledak, devisa melayang, dan cita-cita swasembada gula bakal menguap. Indonesia punya potensi besar berswasembada gula, seperti era 1930-an. Iklim, cuaca, plasma nutfah, dan lahan cocok untuk tebu.
Namun, potensi dan aset itu akan sirna jika kebijakan ad hoc. Titik kritis industri gula ada pada banyaknya pabrik gula absolete, dan tidak efisien. Dari 62 pabrik gula, 68% berumur di atas 80 tahun. Akibat tua, mesin bocor, dan tak maksimal. Secara teoritis kita mampu mencapai rendemen 14–15%, tapi karena pabrik gula sudah renta rendemen hanya 6–7%, jauh ketimbang rendemen era 1930-an: 11–13%.
Namun, pabrik gula tua dan tak efisien ini tetap hidup karena proteksi pemerintah. Proteksi itu membuat mereka tidak dipaksa harus melakukan efisiensi. Proteksi ini tentu tidak adil. Adakah jurus untuk menuntaskan masalah ini? Ada. Pertama- tama, karena medan persaingan saat ini tidak imbang tentu tidak adil mencampur pasar GKP-GKR.
Namun, pemisahan pasar GKP-GKR tak bisa dilestarikan terus-menerus. Secara alamiah, sulit mengawasi produk yang nyaris sama tetapi pasarnya berbeda. Karena itu, perlu masa transisi, lima tahun misalnya. Dalam masa transisi itu bisa dibuat dua kebijakan penting.
Pertama, agar medan persaingan seimbang pabrik gula rafinasi harus membangun kebun tebu sebagai sumber bahan baku. Kedua, revitalisasi pabrik GKP lewat konsolidasi agar terjadi efisiensi di segala lini: on-farm, off-farmdan pengolahan.
Jika dalam rentang lima tahun itu revitalisasi tak tuntas, pabrik gula yang tidak efisien harus ditutup. Dua kebijakan itu harus dikaitkan dengan pencapaian swasembada gula. Ini bisa jadi solusi kemelut GKR.
(ftr)