Di Balik Tragedi Charlie Hebdo

Sabtu, 10 Januari 2015 - 13:48 WIB
Di Balik Tragedi Charlie...
Di Balik Tragedi Charlie Hebdo
A A A
Tragedi penyerangan majalah satir Charlie Hebdo membuat muslim di Prancis pada kondisi yang semakin sulit. Penyerangan terhadap majalah tersebut telah menewaskan 12 orang korban.

Apa pun alasannya, penyerangan tersebut tak bisa diterima karena dilakukan secara anarkistis dan melahirkan efek sosial yang sangat dirasakan oleh muslim di Prancis. Di Prancis satu nyawa hilang siasia dianggap sebagai kecelakaan besar. Apalagi hingga menewaskan 12 orang sekaligus. Ironisnya, hilangnya nyawa sia-sia tersebut dilakukan atas nama Islam untuk membela Nabi Muhammad.

Aksi brutal tersebut juga dikecam oleh Asosiasi Muslim Prancis (le Conseil Francais du Culte Musulman) yang mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan serangan terhadap demokrasi. Berbagai asosiasi muslim di kota-kota Prancis lain juga mengeluarkan pernyataan sikap mengecam tindakan biadab tersebut. Pernyataan sikap tersebut diunggah di website resminya.

Cara ini dianggap sebagai upaya meredakan suasana dan memberikan jaminan keamanan bagi muslim di wilayahnya karena asosiasi tersebut memiliki pengaruh dan menjadi rujukan bagi muslim-muslim di daerah tersebut. Saya kira kecaman serupa juga dilakukan muslim-muslim lain di Prancis yang berpikir jernih bahwa tragedi tersebut memberikan dampak jangka panjang bagi kehidupan mereka.

Hari-hari ini dipastikan tayangan televisi, media on line, hingga koran menayangkan pemberitaan tragedi Charlie Hebdo. Saya bisa memastikan keluarga-keluarga muslim di Prancis, khususnya muslimah Indonesia yang menikah dengan muslim Prancis, memantau terus perkembangan kasus ini di media televisi.

Siapa yang dirugikan? Tentu saja muslim di Prancis. Saat ini sulit untuk tidak mengatakan bahwa publik Prancis menjadikan Islam sebagai “musuh bersama” pascatragedi ini. Inilah perjuangan terberat bagi muslim Prancis yang harus dirasakan saat ini.

Efek Sosial Jangka Panjang

Kondisi itu juga kemudian menyebabkan wajah Islam di Prancis semakin akrab dengan kekerasan dan anarkistis. Akibat itu, ruang gerak warga muslim di Prancis semakin terbatas dan membuat mereka berada di bawah tekanan publik yang anti- Islam. Saya bisa merasakan ketakutandankegelisahanmuslimmuslim di Prancis pascatragedi tersebut.

Pengalaman studi dan menetap di Prancis selama 3,5 tahun memberikan suasana kebatinan tersendiri ketika berinteraksi dengan sesama muslim Prancis maupun warga nonmuslim. Selama tinggal di Prancis, saya membawa keluarga. Istri saya berhijab dan anak saya sekolah. Jika keluarga saya masih tinggal di Prancis dalam kondisi mencekam seperti saat ini, pasti secara langsung akan merasakan dampaknya.

Pengalaman tersebut yang membuat saya merasa bahwa tragedi Charlie Hebdo adalah tindakan bodoh dan konyol yang dampaknya dirasakan oleh muslim lain. Selama interaksi dengan warga muslim maupun nonmuslim, saya berusaha meyakinkan bahwa Islam (khususnya Islam Indonesia) adalah agama yang rahmatan lil amin yang menyampaikan pesan-pesan damai dan menghindari kekerasan.

Meski begitu, faktanya, tragedi Charlie Hebdo semakin melegitimasi bahwa kekerasan selalu berkaitan dengan Islam. Tafsir inilah yang kemudian semakin melekat dalam ruang kognitif warga Prancis dan Eropa. Sebagai negara Eropa yang memiliki komunitas muslim terbanyak, wajar jika muslim di Prancis menjadi referensi muslim di Eropa. Suasana hari-hari ini sulit membayangkan bagaimana muslim di Prancis bisa beraktivitas di ruang publik.

Apalagi mereka yang berhijab maupun menggunakan atribut-atribut lain. Gairah Islam yang terjadi di masjid-masjid Prancis dipastikan akan lebih sepi dan berada di bawah bayang-bayang ancaman yang mencoba “balas dendam” dari penyerangan Charlie Hebdo. Di Lyon, misalnya, tempat saya pernah studi, banyak masjid-masjid yang menggelar salat Jumat hingga jalan raya karena kapasitas jamaah tak bisa tertampung di dalam masjid.

Pascatragedi tersebut, fenomena tersebut akan berkurang jamaahnya. Beberapa masjid di beberapa kota dikabarkan diancam teror oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan penyerangan Charlie Hebdo. Bagi warga Indonesia di Paris dan beberapa kota-kota lain, mereka sudah dianjurkan oleh KBRI Paris maupun KJRI Marseille untuk tetap waspada dari ancaman-ancaman yang bisa memberikan bahaya bagi keselamatan dirinya.

Mereka dianjurkan tidak keluar rumah jika dianggap tak memiliki keperluan mendesak. Bagi warga Indonesia, khususnya mahasiswi yang berhijab, memang lebih berisiko jika berada di ruang publik karena mereka seringkali menjadi sorotan dari beberapa pihak yang dikenal Islamophobia.

Saya mengikuti berbagai perkembangan di beberapa media sosial seperti Facebook dan Twitter, imbauan dari beberapa teman yang sedang studi maupun warga Indonesia yang tinggal di Prancis untuk mengabarkan berbagai perkembangan terbaru pascatragedi tersebut.

Meski pusat lokasinya terjadi di Paris, dampaknya terasa juga di berbagai kota lain. Di Lyon, Kamis (08/01), terjadi aksi besar-besaran untuk mengecam aksi brutal tersebut. Aksi tersebut berlangsung di Place de Terraaux yang merupakan salah satu ruang publik di Lyon.

Teror Publik

Dalam suasana seperti ini, tentu keselamatan warga Indonesia khususnya dan warga Prancis secara umum harus diprioritaskan oleh Pemerintah Prancis maupun otoritas Pemerintah Indonesia di Prancis. Nyawa mereka tanggung jawab pemerintah yang harus dijamin kepastiannya. Tragedi ini refleksi dari perjuangan muslim Eropa untuk menebarkan wajah Islam yang damai dan antikekerasan.

Tidak mudah memang melakukan ini di negaranegara Barat di mana Islam menjadi minoritas. Apalagi dengan gerakan Islamophobia yang tak pernah surut. Saya mencatat ada dua hal penting yang harus menjadi perhatian dari tragedi ini. Pertama, kasus ini bisa menjadi titik balik dari Islam Eropa yang sebenarnya semakin hari perkembangannya semakin dinamis dan menggairahkan di berbagai negara Eropa.

Titik balik karena tragedi ini juga memberikan pengaruh bagi muslim-muslim lain di Eropa seperti Jerman, Belanda, atau Inggris yang dikenal memiliki komunitas muslim banyak. Termasuk di dalamnya warga muslim Indonesia yang sedang studi, bekerja, atau menetap di negaranegara tersebut. Serangan balik terhadap komunitas muslim sangat mungkin terjadi dan dialami oleh pihak-pihak yang tak berdosa seperti muslimah maupun anak-anak.

Karena itu, otoritas keamanan di Eropa khususnya bagi komunitas muslim menjadi keniscayaan untuk lebih waspada dari ancaman-ancaman teror sebagai bentuk simpati terhadap korban Charlie Hebdo . Di beberapa negara Eropa terdapat sekolah muslim dan masjid yang tersebar di berbagai kota. Tempat-tempat inilah yang harus mendapatkan perhatian ekstra dari otoritas setempat.

Kedua, kasus ini membawa muslim Prancis khususnya dan Eropa umumnya untuk semakin terjal menghadapi perjuangan mereka menghadapi gerakan-gerakan Islamophobia. Inilah fase terjadi rekonsolidasi Islamophobia di berbagai pelosok Prancis untuk mengecam Islam dan perlahan-perlahan meminggirkannya dalam peran sosial-ekonomi.

Bukti nyatanya akan dirasakan oleh keluargakeluarga yang anak-anaknya dibullying di sekolah oleh warga asli Prancis atau mereka dipersulit urusan-urusan administrasi, catatansipil, hinggaurusanurusan publik lain. Apalagi di Prancis saat ini masih dililit krisis finansial yang sangat terasa semakin sulitnya kehidupan.

Sementara muslim di Prancis sebagian besar adalah imigran dari negara-negara Maghribi seperti Aljazair, Maroko, maupun Tunisia. Ini akan menyebabkan mereka semakin sulit menjalani hari-harinya. Dalam konteks yang lebih luas adalah semakin buruknya citra Islam di Prancis. Wajah Islam di Prancis berada pada titik nadir terendah. Kita tak bisa membiarkan kasus ini semakin berkepanjangan.

Sambil menunggu penyelesaian dari pihak Kepolisian Prancis, muslim di Indonesia harus memberikan dukungan moral kepada muslim Prancis untuk berada pada barisan terdepan yang mengampanyekan Islam yang damai, ramah, dan jauh dari perilaku barbar. Selain tentunya mengecam perilaku agresif tersebut.

Dukungan moral inilah, meski jauh dipisahkan benua, menjadi suntikan moril dari negara seperti Indonesia yang mayoritas muslim agar muslim di Prancis bisa menjalani hari-harinya yang saat ini berada pada ancaman ketakutan. Satu hal yang pasti, tragedi Charlie Hebdo bisa terjadi di mana pun saja. Karena itu, kita harus semakin waspada kepada pihakpihak yang akrab dengan teror publik atas nama memperjuangkan Islam.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0697 seconds (0.1#10.140)