Peringkat PTN Kita
A
A
A
Hanya ada tiga universitas di Indonesia yang masuk peringkat ke-500 besar World Rank University. Ini menunjukkan bahwa Kementrian Ristek-Dikti punya pekerjaan rumah (PR) berat untuk memacu mutu pendidikan tinggi di Tanah Air.
Berikut adalah nama-nama perguruan tinggi negeri (PTN) dan peringkatnya: UI (peringkat ke-273), UGM (401-450), ITB (451-500), IPB (601+), Undip (601+), Universitas Brawijaya (601+), ITS (601+), dan Unair (601+). Tampaknya alokasi dana pendidikan 20% APBN belum menunjukkan daya ungkit signifikan bagi perbaikan universitas kita.
Negara tetangga serumpun kita yaitu Malaysia tampaknya telah ada pada jalur yang benar karena tidak tanggung-tanggung menginvestasikan sumber dayanya di bidang pendidikan sehingga berhasil menempatkan universitas-universitasnya jauh lebih baik daripada Indonesia dalam World Rank University.
Posisi tertinggi diraih oleh Universiti Malaya (peringkat ke-156), diikuti oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (261), Universiti Sains Malaysia (326), Universiti Teknologi Malaysia (358), dan Universiti Putra Malaysia (360). Jadi, hanya UI yang kiranya mampu mengejar perguruan tinggi di Malaysia.
Kelemahan banyak perguruan tinggi di Indonesia adalah dalam keberadaan dosen internasional, mahasiswa internasional, dan sitasi dosen (dalam publikasi ilmiah). Alokasi dana penelitian memang dirasakan meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Namun, penelitian yang dibiayai umumnya yang kecil-kecil yaitu dengan budget sekitar Rp100 juta per judul penelitian.
Setelah dipotong pajak, dana penelitian semakin menciut. Tragisnya, karena dana penelitian ini menggunakan dana APBN, pertanggungjawabannya juga sangat ketat. Akibat itu, peneliti disibukkan oleh urusan mempersiapkan tetekbengek bukti penggunaan dana penelitian.
Bahkan sudah lazim kalau sekarang ini peneliti menghasilkan laporan pertanggungjawaban keuangan riset yang jauh lebih tebal dari laporan risetnya. Sebagai seorang dosen dan sekaligus peneliti, saya bermimpi bahwa suatu ketika nanti pertanggungjawaban dana penelitian dilakukan at cost.
Artinya, peneliti menerima honor bulanan resmi dari aktivitas riset yang sedang dilakukannya, sedangkan semua kegiatan untuk mendukung penelitian seperti perjalanan untuk survei, pembelian bahan-bahan kimia laboratorium, pengolahan data, rapat, pembuatan laporan, dan sebagainya. Semua dilakukan at cost sesuai biaya yang dikeluarkan.
Universitas di Indonesia sulit meraih predikat perguruan tinggi internasional karena keberadaan dosen atau mahasiswa internasional memang masih minim. Adakalanya mahasiswa asing yang kuliah di Indonesia harus terlebih dahulu belajar bahasa Indonesia agar dapat mengikuti perkuliahan.
Malaysia, Singapura, atau Filipina lebih berhasil merekrut kedatangan mahasiswa asing karena mereka menawarkan perkuliahan dalam bahasa Inggris. Bagi universitas-universitas yang ingin meraih predikat world class university, penguatan program studi harus dilakukan untuk program pascasarjana dan program sarjana.
Sebaliknya, program diploma ataupun ekstensi perlu ditelaah kembali apakah kedua program ini akan mendukung atau justru mengaburkan visi menuju status universitas internasional. Kampus-kampus terkenal di luar negeri yang dibanjiri mahasiswa asing adalah perguruan tinggi yang memiliki kekuatan dalam tradisi risetnya.
Sebab itu, program pascasarjana menjadi tumpuan utama untuk menjadikannya sebagai world class university. Kita harus mau belajar dari universitas-universitas besar di luar negeri. Universitas Harvard ketika didirikan pada 1636 hanyalah college kecil, yang kemudian pada akhir abad 19 menjadi national university.
Perjalanan panjangnya membuat Universitas Harvard kini menjadi perguruan tinggi internasional terkemuka dengan ribuan mahasiswa asing yang menuntut ilmu di sana. Sebagian perguruan tinggi kita justru meningkatkan daya tampung untuk program diploma dan ekstensi.
Membengkaknya jumlah mahasiswa jalur diploma atau ekstensi secara finansial akan menguntungkan institusi pendidikan tinggi. Dosen-dosen pun mungkin ada yang lebih menyukai mengajar di kedua program ini karena honor mengajarnya lebih besar.
Apabila perhatian akademisi di universitas lebih tercurah pada program diploma dan ekstensi, sesungguhnya kita sedang meninggalkan cita-cita menuju research university dan sebaliknya kita mulai mengarah ke teaching university.
Rasanya sulit mewujudkan world class university kalau orientasi kita justru pada tataran teaching university. Kini sebagian universitas mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk memublikasikan hasil risetnya sebelum yang bersangkutan bisa menempuh ujian akhir. Ini langkah yang positif.
Sayangnya, wahana publikasi yaitu jurnal ilmiah yang berstatus terakreditasi Dikti sampai saat ini masih merupakan barang langka. Kelemahan jurnal ilmiah kita adalah waktu penerbitan yang sulit diprediksi alias tidak tepat waktu. Sebenarnya kewajiban publikasi lebih tepat untuk jalur pascasarjana by research (tanpa perkuliahan) seperti sekolahsekolah pascasarjana di Jepang atau Eropa.
Sementara sistem pendidikan pascasarjana kita banyak yang menganut model pendidikan Amerika yaitu mahasiswa harus menempuh kuliah terlebih dahulu selama 2-3 semester baru kemudian melakukan riset untuk tesis dan disertasinya. Membangun universitas berkelas dunia memang berat. Dosen yang dimiliki harus berkualitas (bergelar magister/ doktor).
Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk mengalokasikan anggaran riset yang signifikan per judul penelitian sehingga terbuka kesempatan bagi dosen-dosen untuk berlomba menyusun proposal penelitian yang bermutu.
Kalau semangat Kementrian Ristek-Dikti dalam alokasi dana penelitian adalah mengacu pada kinerja pemerataan, memang akan sangat banyak dosen yang diberi kesempatan meneliti, namun penelitiannya hanya kelas gurem yang tidak layak dipublikasikan di tingkat internasional karena dananya tidak cukup untuk menghasilkan temuan ilmiah yang spektakuler.
Akhirnya, untuk meraih level perguruantinggi yangmendunia tidak bisa dilakukan dengan langkah-langkah biasa. Kita harusmelakukanlangkahluarbiasa melalui peningkatan mutu dosen, pembiayaan riset, dan perekrutan mahasiswa internasional secara lebih intensif.
Berikut adalah nama-nama perguruan tinggi negeri (PTN) dan peringkatnya: UI (peringkat ke-273), UGM (401-450), ITB (451-500), IPB (601+), Undip (601+), Universitas Brawijaya (601+), ITS (601+), dan Unair (601+). Tampaknya alokasi dana pendidikan 20% APBN belum menunjukkan daya ungkit signifikan bagi perbaikan universitas kita.
Negara tetangga serumpun kita yaitu Malaysia tampaknya telah ada pada jalur yang benar karena tidak tanggung-tanggung menginvestasikan sumber dayanya di bidang pendidikan sehingga berhasil menempatkan universitas-universitasnya jauh lebih baik daripada Indonesia dalam World Rank University.
Posisi tertinggi diraih oleh Universiti Malaya (peringkat ke-156), diikuti oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (261), Universiti Sains Malaysia (326), Universiti Teknologi Malaysia (358), dan Universiti Putra Malaysia (360). Jadi, hanya UI yang kiranya mampu mengejar perguruan tinggi di Malaysia.
Kelemahan banyak perguruan tinggi di Indonesia adalah dalam keberadaan dosen internasional, mahasiswa internasional, dan sitasi dosen (dalam publikasi ilmiah). Alokasi dana penelitian memang dirasakan meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Namun, penelitian yang dibiayai umumnya yang kecil-kecil yaitu dengan budget sekitar Rp100 juta per judul penelitian.
Setelah dipotong pajak, dana penelitian semakin menciut. Tragisnya, karena dana penelitian ini menggunakan dana APBN, pertanggungjawabannya juga sangat ketat. Akibat itu, peneliti disibukkan oleh urusan mempersiapkan tetekbengek bukti penggunaan dana penelitian.
Bahkan sudah lazim kalau sekarang ini peneliti menghasilkan laporan pertanggungjawaban keuangan riset yang jauh lebih tebal dari laporan risetnya. Sebagai seorang dosen dan sekaligus peneliti, saya bermimpi bahwa suatu ketika nanti pertanggungjawaban dana penelitian dilakukan at cost.
Artinya, peneliti menerima honor bulanan resmi dari aktivitas riset yang sedang dilakukannya, sedangkan semua kegiatan untuk mendukung penelitian seperti perjalanan untuk survei, pembelian bahan-bahan kimia laboratorium, pengolahan data, rapat, pembuatan laporan, dan sebagainya. Semua dilakukan at cost sesuai biaya yang dikeluarkan.
Universitas di Indonesia sulit meraih predikat perguruan tinggi internasional karena keberadaan dosen atau mahasiswa internasional memang masih minim. Adakalanya mahasiswa asing yang kuliah di Indonesia harus terlebih dahulu belajar bahasa Indonesia agar dapat mengikuti perkuliahan.
Malaysia, Singapura, atau Filipina lebih berhasil merekrut kedatangan mahasiswa asing karena mereka menawarkan perkuliahan dalam bahasa Inggris. Bagi universitas-universitas yang ingin meraih predikat world class university, penguatan program studi harus dilakukan untuk program pascasarjana dan program sarjana.
Sebaliknya, program diploma ataupun ekstensi perlu ditelaah kembali apakah kedua program ini akan mendukung atau justru mengaburkan visi menuju status universitas internasional. Kampus-kampus terkenal di luar negeri yang dibanjiri mahasiswa asing adalah perguruan tinggi yang memiliki kekuatan dalam tradisi risetnya.
Sebab itu, program pascasarjana menjadi tumpuan utama untuk menjadikannya sebagai world class university. Kita harus mau belajar dari universitas-universitas besar di luar negeri. Universitas Harvard ketika didirikan pada 1636 hanyalah college kecil, yang kemudian pada akhir abad 19 menjadi national university.
Perjalanan panjangnya membuat Universitas Harvard kini menjadi perguruan tinggi internasional terkemuka dengan ribuan mahasiswa asing yang menuntut ilmu di sana. Sebagian perguruan tinggi kita justru meningkatkan daya tampung untuk program diploma dan ekstensi.
Membengkaknya jumlah mahasiswa jalur diploma atau ekstensi secara finansial akan menguntungkan institusi pendidikan tinggi. Dosen-dosen pun mungkin ada yang lebih menyukai mengajar di kedua program ini karena honor mengajarnya lebih besar.
Apabila perhatian akademisi di universitas lebih tercurah pada program diploma dan ekstensi, sesungguhnya kita sedang meninggalkan cita-cita menuju research university dan sebaliknya kita mulai mengarah ke teaching university.
Rasanya sulit mewujudkan world class university kalau orientasi kita justru pada tataran teaching university. Kini sebagian universitas mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk memublikasikan hasil risetnya sebelum yang bersangkutan bisa menempuh ujian akhir. Ini langkah yang positif.
Sayangnya, wahana publikasi yaitu jurnal ilmiah yang berstatus terakreditasi Dikti sampai saat ini masih merupakan barang langka. Kelemahan jurnal ilmiah kita adalah waktu penerbitan yang sulit diprediksi alias tidak tepat waktu. Sebenarnya kewajiban publikasi lebih tepat untuk jalur pascasarjana by research (tanpa perkuliahan) seperti sekolahsekolah pascasarjana di Jepang atau Eropa.
Sementara sistem pendidikan pascasarjana kita banyak yang menganut model pendidikan Amerika yaitu mahasiswa harus menempuh kuliah terlebih dahulu selama 2-3 semester baru kemudian melakukan riset untuk tesis dan disertasinya. Membangun universitas berkelas dunia memang berat. Dosen yang dimiliki harus berkualitas (bergelar magister/ doktor).
Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk mengalokasikan anggaran riset yang signifikan per judul penelitian sehingga terbuka kesempatan bagi dosen-dosen untuk berlomba menyusun proposal penelitian yang bermutu.
Kalau semangat Kementrian Ristek-Dikti dalam alokasi dana penelitian adalah mengacu pada kinerja pemerataan, memang akan sangat banyak dosen yang diberi kesempatan meneliti, namun penelitiannya hanya kelas gurem yang tidak layak dipublikasikan di tingkat internasional karena dananya tidak cukup untuk menghasilkan temuan ilmiah yang spektakuler.
Akhirnya, untuk meraih level perguruantinggi yangmendunia tidak bisa dilakukan dengan langkah-langkah biasa. Kita harusmelakukanlangkahluarbiasa melalui peningkatan mutu dosen, pembiayaan riset, dan perekrutan mahasiswa internasional secara lebih intensif.
(bbg)